Dua - Suicide

1622 Words
Tidak ada satu pun istri yang baik-baik saja di dunia ini ketika suaminya berselingkuh, apa pun alasannya, termasuk Elleana, ia belum pernah merasakan sesakit ini sebelumnya. Pria yang ia anggap benar-benar setia bisa mengkhianatinya sesakit ini, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada seorang suami menghamili wanita lain. Elleana benar-benar tidak tahu harus bertahan atau harus mengakhiri pernikahan ini. Ia ingin bertahan, tetapi ia sadar ada perempuan yang jauh lebih membutuhkan Kerl, ada seorang anak yang membutuhkan seorang bapak, tetapi jauh di lubuk hatinya ia juga membenci pengkhianatan dan perceraian. Kalau tahu pernikahannya bakal sesakit ini, ia akan berpikir dua kali untuk menikah dengan Kerl. Suasana tegang menyelimuti kamar suami dan istri itu, berkali-kali Kerl meminta maaf atas salah dan khilafnya, tetapi ia tidak menggubrisnya. Bagi Elleana, seorang laki-laki yang berselingkuh susah untuk dimaafkan, karena sekali berselingkuh akan tetap berselingkuh, tidak ada alasannya untuk mempertahankan pernikahan yang berada di ujung tanduk ini. Lagipula di antara mereka belum memiliki anak. Elleana menarik napas panjang, lalu menatap suaminya. "Kerl, aku sudah memutuskan langkah selanjutnya, lebih baik kita berpisah, tidak ada alasan untuk mempertankan pernikah yang sudah tidak memiliki pondasi yang kokoh. Pondasi dalam suatu pernikahan adalah kepercayaan, dan kamu sudah mengkhianati kepercayaanku. Lagipula Re jauh lebih membutuhkan kamu, kamu punya anak yang membutuhkan seorang ayah. Jadilah pria yang bertanggung jawab atas kesalahan yang kamu lakukan, jangan mau enaknya saja sedangkan Re jadi korban. Terlepas dari perasaanku yang masih sangat mencintai kamu, aku ingin kita berpisah. Menikahlah dengan Re, aku bukan wanita yang kuat dimadu, jadi tinggalkan aku dan menikahlah dengan perempuan yang kamu hamii." Kerl menggeleng, ia menolak, ia tidak menginginkan sebuah perpisahan yang menyakitkan. Setahun yang lalu ia menikahi Elleana karena atas dasar cinta, ia tidak ingin berpisah dengan wanita itu, ia tahu dirinya salah karena telah berkhianat, tetapi ia berjanji tidam akan mengulangi kesalaham itu. Pernikahan mereka masih bisa diperbaiki dan dipertahankan, perpisahan bukanlah solusi yang terbaik, apalagi untuk hati yang masih saling mencintai. "Aku tidak mau berpisah, kita masih saling mencintai, El, aku akui aku salah, saat itu aku khilaf karena aku sedang stres dan butuh pelampiasan sedangkan kamu sedang tidak di Jakarta, saat itu hanya Re yang ada di sampingku. Aku bisa bertanggung jawab, tapi bukan dengan jalan aku perpisahan lalu menikah dengan Re, aku bisa menfkahi anak yang di kandungannya setiap bulan, itu sudah lebih dari cukup, aku tidak bisa menikahi perempuan yang tidak aku cintai, aku hanya mencintaimu, Elle." Dalam sebuah pernikahan, cinta tidak saja cukup, tetapi kejujuran dan kesetiaan jauh lebih penting, percuma cinta kalau ada pengkhianatan dalam pernikahan itu, tidak, tidak ada wanita mana pun yang baik-baik saja ketika suaminya melakukan hal bodoh yang menyakitkan seperti itu. "Dan aku juga tidak bisa menjadi wanita yang egois untuk tetap mempertahankan seorang pria yang dibutuhka oleh wanita lain, lagipula pondasi pernikahan kita sudah tidak kuat, kepercayaanku telah kamu khianati, dan aku sangat sulit untuk mempercayai kamu lagi, kamu tahu kan, aku benci pengkhianatan. Aku tidak bisa lagi hidup bersama pria yang telah mengkhianati kepercayaanku." "Elle, perceraian bukan pilihan yang tepat, aku tidak mau berpisah sama kamu." Rasanya dunia Kerl akan hancur kalau sampai itu terjadi, rasa cintanya kepada Elleana sangat besar sehingga membuat ia bertahan sampai sekarang, meskipun di antara belum ada anak. Wanita itu langsing beranjak dari kasur, dan mengemasi barang-barangnya ke dalam koper besar. Melihat hal itu membuat Kerl langsung bertanya. "Kamu mau ke mana, El? Ini adalah rumah kamu, tempat kita menua bersama. Tolong jangan tinggalin aku, aku sangat mencintai kamu." Pria yang sangat berwibawa pun akan terlihat bodoh jika sudah dihadapkan dengan cinta. Elleana tetap melakukan aktivitasnya. "Tidak ada rasa cinta yang berujung pengkhianatan, aku benci hal itu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku, kamu tunggu saja surat dari pengadilan." "Elleana Grissham! Aku tidak akan menandatangani surat perceraian, aku tidak mau berpisah." Kerl sangat frustasi memikirkan jika mereka benar-benar bercerai nantinya, andai saja bisa mengulang kembali waktu, ia tidak akan mau melakukan hal itu, ia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa merusak pernikahannya dengan Elleana, mereka menikah karena saling mencintai, dan sekarang harus berpisah karena sebuah pengkhianatan yang memang itu kesalahannya. Setelah selesai mengemasi barang-barangnya, ia menatap Kerl. "Elleana Grissham? Mulai sekarang Grissham namaku lagi, aku sudah tidak sudi menjadi bagian dari hidup lagi. Sampai jumpa di pengadilan, permisi." Elleana langsung menggeret koper besar itu keluar kamar mewah itu, seberapa pun Kerl mengejar dan mencegahnya, tidak akan mampu mengubah keputusan Elleana, Kerl tahu bahwa istrinya itu adalah wanita yang mempunyai pendirian yang kuat, saat ia sudah memutuskan sesuatu, tidak akan mudah digoyahkan oleh siapa pun. Kini Elleana sudah menghilang bersama sebuah taksi yang membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Kerl membanting semua barang yang ada di hadapannya, membuat beberapa asisten rumah tangga terkejut. Pasalnya, ini adalah pertama kali mereka melihat tuannya seperti itu, biasanya Kerl adalah orang yang selalu bersikap tenang dan berwibawa, tetapi sekarang pria itu dalam keadaan hancur. Sebagai asisten rumah tangga, mereka hanya bisa menatap dari kejauhan dan menerka-nerka sebenarnya apa yang tengah melanda rumah tangga majikannya itu. Tak lama kemudian, Kerl keluar rumah megahnya itu, ia akan mendatangi apartemen Re, rasa amarahnya kepada wanita itu sudah memuncak, seharusnya Kerl tidak hanya menyalahkan Re dalam kejadian Re, tetapi dirinyalah yang jauh lebih bersalah karena yang menghamili Re adalah dirinya. *** Sedari tadi Re hanya menangis di pojokan kamarnya, ia tidak tahu harus menceritakan hal ini kepada siapa, tidak mungkin ia menceritakan hal ini kepada orang tuanya yang ada di kampung bisa-bisa mereka sangat kecewa dan sedih, mau cerita ke teman, Re tidak memiliki teman dekat untuk berbagi keluh kesah. Ia memukul-mukul perutnya dengan tangisan yang tak berhenti, ia tidak bisa membayangkan kelak perutnya ini bertambah besar, pasti ia akan menjadi bulan-bulanan masyarakat, ditambah ketika anak ini lahir pasti ia akan bertanya siapa dan kemana ayahnya, ia tidak sanggup menghadapi kenyataan saat anaknya tumbuh besar ia akan menjadi korban bullying, dunia Re terasa hancur, andai saja ia bisa mengulang kembali waktu ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Re bisa saja menggugurkan kandungannya, tetapi ia tidak ingin menambah dosa dengan membunuh anak yang tidak bersalah, anaknya berhak hidup dan menatap dunia. Namun, terkadang hal picik seperti itu terlintas dalam pikirannya. Ia pikir masalahnya akan selesai jika anak itu digugurkan, rumah tangga Kerl dan Elleana akan baik-baik saja, dan kehidupannya kembali berjalan normal. Tak lama kemudian, terdengar suara bel dari pintu depan, ia segera menyeka air matanya dan merapikan penampilannya untuk melihat siapa yang datang. Setelah pintu terbuka terlihat Kerl yang berdiri dengan tatapan murka, ia langsung masuk tanpa permisi. Dan melemparkan cek bank senilai satu miliar di hadapan Re. "Itu kan yang kamu mau? Kamu mau uang saya, kan? Lebih baik kamu pergi dari kota ini, menghilang bersama bayi itu, karena kehadiran kamu hidup saya jadi berantakan, istri saya minta cerai gara-gara anak sialan di perut kamu. Kamu hanya b***h, wanita l***e yang merusak kehidupan saya." Re terkekeh pelan, sekarang Kerl marah-marah, seakan dirinya yang paling di rugikan dalam hal ini. "Maaf saya tidak sudi lagi memanggil kamu Bapak, kamu sudah tidak pantas dihormati, mulut kamu jauh lebih berpendidikan orang yang tidak sekolah di luaran sana. Pertama, anak yang kamu bilang sialan tadi adalah darah daging kamu, dan kamu lupa siapa yang menggoda saya terlebih dahulu? Dengan lancangnya kamu menyalahkan saya sepenuhnya, kalau ada orang yang benar-benar harus disalahkan dalam hal ini adalah kamu, kamu yang menghamili saya. Kamu tidak ada bekasnya, sedangkan saya harus siap untuk dihujat seluruh dunia." Re menyeka air mata yang tiba-tiba keluar. Namun, ia langsung menepisnya karena ia tidak ingin terlihat lemah. Kerl membuang napas kasar. "Otak kamu benar-benar b*****t, kalau saja saya tahu maksud dan tujuan kamu menjadi sekretaris saya, pasti sudah lebih dulu saya menendang kamu dari perusahaan saya. Kamu itu hanya pelakor, yang membuat rumah tangga saya hancur, tadi sebelum ke sini, saya berdebat dulu dengan istri saya, dia minta cerai dan dan menyuruh saya menikahi kamu. Kamu pikir saya mau?" Kerl pun langsung menceritakan perdebatannya dengan Elleana tadi. "Kamu tahu kan, betapa saya mencintai istri saya, kamu itu tidak pantas hidup, Re, lebih baik kamu mati bersama anak itu, agar hidup saya berjalan dengan tenang. Rumah tangga saya berjalan dengan normal, kamu itu tidak lebih seperti wanita murah di luaran sana, yang menukar tubuh hanya dengan uang. Lebih baik kamu mati. Paham?" Ucapan Kerl membuat Re merasakan kehancuran yang mendalam, benar kata orang, yang paling mematikan bukanlah pisau atau benda tajam lainnya, tetapi adalah lidah. Mati? Mungkin itu memang jalan terbaik yang harus ia ambil karena ia hidup hanya akan membuat kehidupan orang lain jadi hancur. "Mati? Kamu mau saya mati, kan? Biar tidak ada orang lain yang mengganggu hidup kamu, kan?" Re pun langsung ke dapur untuk mengambil pisau, lalu ia kembali di hadapan Kerl. "Baiklah saya akan menuruti kemauan kamu, lagipula saya tidak sekuat itu menghadapi ini semua sendirian, di saat saya membutuhkan sandaran yang menguatkan saya, kamu justru datang dengan cacian dan celaan yang membuat saya semakin rapuh. Kamu tidak tahu kan, bagaimana susah payahnya saya tetap berdiri di atas masalah-masalah ini dan kamu datang-datang menyurug saya mati. Baiklah, mungkin itu memang yang terbaik." Re langsun menyanyat di area nadinya dengan pisau itu, yang membuat tubuh Re ambruk ke lantai dan darah segar pun mengalir. Kerl yang melihat hal itu jadi panik. "Berengsek, dasar bodoh!" Ia langsung melepaskan kemejanya yang tersisa hanya kaos dalam yang melekat di tubuhnya. Ia langsung mengikat kemeja itu ke tangan Re, berharap daranya berhenti mengalir, ia pun langsung menggendong Re untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. "Dasar bodoh, kenapa kamu nekat, hah?" Bisanya bikin panik saja." Ia berlari dengan tergesa-gesa seraya menggendong tubuh mungil yang semakin pucat itu. Kerl tidak sadar diri, padahal dirinya yang menginginkan Re untuk mati, dan sekarang Re benar-benar melakukannya ia lebih panik, jadi siapa yang lebih bodoh? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD