Part 2 Kesepakatan

1312 Words
Sudah satu minggu sejak kejadian, aku tak terlalu bersapa dengan Mamak dan Abak. Aku hanya diam seribu bahasa, dan mengerjakan apa yang diperintah saja. Kedua orang tuaku pun tak pernah mengungkit. Aku hanya merasa kecewa, kecewa pada semuanya. Ingin bercerita, tapi pada siapa. Bagiku ini aib, cukuplah saja bahwa teman- teman di sekolah sudah tau aku siswa yang hanya mengandalkan beasiswa walaupun tak terlalu pintar. Selama satu minggu ini pun aku hanya menyibukkan diriku dengan kegiatan membersihkan rumah, latihan karate tiga kali seminggu yang ku geluti dari SMP dan kebetulan aku juga ditunjuk menjadi asisten senpai di tempat ku berlatih, sesekali juga aku main kerumah teman untuk mencari tau tentang lapangan pekerjaan. Ya, aku berniat bekerja untuk ku tabung agar bisa kuliah. Kebetulan aku dapat kabar dari temanku, bahwa toko alfam*rt d depan kompleknya membutuhkan kasir. Aku bergegas mengayuh sepeda ku selama lima belas menit menuju alfam*art. Alhamdulillah, aku diterima dan dalam masa percobaan. Mulai besok aku sudah mulai berkerja. Ok, langkah pertama sudahku tempuh. Aku yakin Mamak dan Abak takkan memaksaku kembali. Keesokan harinya. Hari pertama aku bekerja, tak lupa sebelum berangkat bekerja aku tetap berpamitan pada kedua orang tuaku. Walaupun hati ku masih kesal tapi bukan berarti aku harus menjadi durhaka. Hari pertama bekerja, semua berjalan lancar. Hingga di jam istirahatku, ku beranikan pinjam gawai temaku untuk menelpon Kak Sari. "Halo, Assalamu'alaikum, " suara di seberang sana. "Wa'alaikumsalam, Kak, " jawab ku. "Ini siapa ya?" Jawab Kakakku. "Ini Alya, Kak. Tadi pinjam handphone teman, " jawabku. "Ooo ... kamu Dek. Ada apa Dek?" "Kak ... kuliahnya sudah libur?" "Hm ... belumlah ini masih mau ujian, kenapa sih? Tumben banget nanya Kakak sudah libur atau belum?" jawabnya mulai ketus. "Oooo ... gak apa-apa kok Kak. Alya hanya bertanya Kak. Kakak sudah dapat kabar dari Mamak dan Abak belum?" "Kabar apa? Kalo gak penting gak usah nelfon deh, ganggu orang aja, " ucap Kak Sari di seberang sana yang kurasa Kak Sari agak marah dengan pertanyaanku. "Masalah hutang dan masalah pernikahan Kak." Tak ada jawaban dari seberang sana, hanya hening yang ku dengar. "Kak...masih di sana?" Masih hening. "Alya, Kak mohon turuti keinginan Amak dan Abak. Kakak belum ingin menikah, lagi pula Kakak pun sudah menjalin kasih dengan seseorang di sini. Kakak masih ingin berkarir Alya." Terdengar seperti suara seperti menahan tangis di seberang sana. "Tapi Kak, Alya baru mau tamat SMA. Apakah tidak egois Kakak bersikap seperti itu? Aku tak tau dengan siapa akan menikah? Kenapa harus aku yang berkorban? Lalu jika Kakak ingin berkarir, bukankah aku juga berhak?kenapa kalian mengahalangi jalanku dan mempupuskan harapan ku?" "Alya, kakak harap kau dapat mengerti perasaanku Alya. Sudah lah tak perlu ku jelaskan. Jika kau tak ingin maka semuanya terserah kau. Aku tak kan mau menikah dan tolong jangan hubungi aku lagi jika kau masih ingin membahas ma..." "Aku pun tidak ingin, kenapa Kakak mesti mara.." ku potong ucapan Kakak, tapi hanya bunyi suara tuuut yang ku dengar, yah...panggilan telphoneku telah di putus oleh Kakak. Kembali aku menangis untuk kesekian kali. Apakah aku harus menyerah? Ucap batinku.. Hari beranjak sore ketika aku menyelesaikan pekerjaanku. Ketika sampai di rumah aku melihat hanya Abak yang duduk di kursi kayu teras rumah. Aku melihat wajah Abak yang tampak kuyu seperti menahan sakit. "Assalamu'alaikum, Alya pulang bak." Kucium tangan beliau, nampak teduh walaupun banyak guratan dan keriput di wajahnya, wajah dan raganya telah tampak lemah semenjak aku menginjak kelas 1 SMA, ketika Abak di vonis menderita penyakit jantung dan struk ringan. Dan hal inilah yang membuat Mamakku dan aku bergantian menjaga toko baju anak-anak yang di berikan oleh Bu Haji Asnah. Ah...ya Bu Haji Asnah, kenapa dia menginginkan pernikahan keluarga kami dengan anaknya. Bukan kah dia orang berada, kenapa harus keluarga kami, ucapku dalam batin. Wa'alaikum salam, Alya." Aku pun masuk ke rumah, hanya terlihat Redo dan Febri yang sedang asyik menonton tv. Kemudian aku menyuruh mereka mandi dan membersihkan rumah. "Kak, Redo mau telur mata sapi ya kak. Redo lapar, Febri juga mau kan? Banyakin bawang goreng nya ya Kak." ucap Redo ketika aku membuka tudung saji dan di balas anggukan oleh Febri, karena aku memang berniat untuk masak, untuk makan nanti malam. Makanan yang ku masak hanya masakan sederhana, hanya telur ceplok dan ikan asin sepat di tambah cabe yang di rebus lalu di ulek...hm...aku mulai lapar dan jangan lupa pucuk ubi atau daun singkong rebus. Alhamdulillah, nikmat mana lagi yang kau dustakan. Masakan selesai, magrib pun segera datang. Aku bergegas mandi dan menyelesaikan sholat magrib. Kemudian kami berempat makan bersama. Setelah selesai makan, aku begegas pergi ke tempatku latihan karate sambil membawa makan malam untuk Mamak di pasar. Ku kayuh sepedaku,ketika sampai tak lupa aku mencium tangan mamak dahulu, dan memberikan makanan mamak, kemudian aku pamit. Aku memang selalu latihan karate di malam hari, ini salah satu cita-citaku, menjadi pelatih karate. Waktu menunjukkan jam 21:30 WIB. Aku bergegas pulang, dari tempat latihanku hanya lima menit ku tempuh menggunakan sepedaku. Sampai di rumah, ketika aku membuka pintu. "Assalamu'alaikum, abaaaaaaaakkk!" ku lihat abak tertelungkup di lantai papan rumah kami. Sedangkan dua Adikku, aku yakin kereka sudah terbang ke alam mimpi tanpa tau apa yang terjadi dengan Abak. Ku guncang tubuh beliau tapi tak bangun. Aku pun berinisiatif memanggil tetangga sebelah rumah ku.. "Assalamu'alaikum, Bang Irham! Kak Laela!"  teriakku sambil menggedor pintu rumah mereka. Kemudian Bang Irham dan Kak Laela pun membuka pintu. "Wa'alaikumsalam Alya, ada apa?" Terlihat wajah baru bangun tidur mereka. "Bang, Kak, tolong Abak Alya, Abak Alya pingsan, " ucapku menangis dan penuh ketakutan, ya .. aku tak sanggup jika kehilangan Abak, sosok yang kukagumi. "Ayo, mana Abak alya, " ucap Bang irham yang langsung berlari ke rumahku. "Sepertinya Abak Alya pingsan, ayo kita bawa Abak Alya ke rumah sakit, kita naik motor becak Bang Irham, " ucap Bang Irham sambil aku dan Bang Irham memegang bahu Abak untuk mendirikan Abak, dan memasukkan Abak ke dalam becak. "Kak, tolong nanti kasih tau Mamak ya. Tolong titip Redo dan Febri, " ucapku pada Kak Laela dibalas anggukan oleh Kak Laela. Sampai di rumah sakit, ternyata Abak mengalami serangan jantung mendadak dan jantung Abak harus di pasang ring jantung. "Kalau bisa malam ini harus langsung di pasang, karena mengingat dan menimbang kondisi pasien," ucap dokter yang menangani Abak. Kakiku terasa melemah, lunglai. Belum selesai masalah perjodohan  dan sekarang kondisi Abakpun mengkhawatirkan, aku tak sanggup menerima kenyataan ini sehingga membuatku hampir terjatuh ke lantai. Untung ada Bang Irham yang memegang pundakku. Aku hanya bisa menangis, kenapa cobaan ini tak berhenti ya Tuhan, ucapku membatin. Tak lama Mamak pun datang, dokter kembali menjelaskan. Ku lihat wajah Mamak menegang dan mulai menahan tangis. Aku bingung dari mana harus mendapatkan uang untuk operasi Abak. Mamak hanya bisa menangis, dan aku pun tak sanggup melihat hal ini. Ku pegang pundak Mamak, "Mak, sekarang kita ke rumah Bu Haji Asnah." "Kenapa Alya, ini sudah malam," jawab Mamak dengan matanya yang sudah mulai membengkak dikarenakan menangis. Sudah jam 10.30 ku lirik jam di rumah sakit. "Ayo! cepat mak!  Biar Bang Irham yang temani Abak dulu," ajakku pada Mamak. Ku pandang Bang Irham dan Bang Irham pun mengangguk tanda menyetujui. " Baiklah, "ucap Mamak dengan wajah kebingungan. Ku tahan dinginnya angin malam demi memacu motor Ast*a butut, motor satu-satunya keluargaku yang selalu di pakai Mamak ketika berjualan di pasar. Sesampai di rumah Bu Haji Asnah, kami disambut ramah dan disuruh masuk, walaupun kami tau ini sungguh tak sopan karena bertamu malam-malam. "Ada apa ya? Kenapa datang malam-malam?" ucap Bu Haji Asnah mempersilahkan kami untuk duduk. "Buk aji, apa benar Buk Aji menginginkan pernikahan antara anak Buk Aji dan Alya?" ucapku tanpa basa-basi walaupun tidak sopan tapi aku harus berani mengambil keputusan. "Ia, bagaimana? Apakah sudah setuju?" tanyanya. "Baiklah, tapi Alya punya syarat," ucapku dan Mamak hanya menatapku terdiam kebingungan. "Apa syaratmu Alya?" ucapnya sambil mendekap kedua tangannya. "Tolong bantu, operasi Abak malam ini," jawabku tegas. "Baiklah," ucapnya tersenyum tanpa berfikir untuk mempertimbangkan kembali syarat ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD