Part 3 Dia

1319 Words
Bu Haji Asnah dan Mamak pun berangkat ke rumah sakit naik mobil, sedangkan aku mengekori mereka naik motor butut. Awalnya aku sudah ditawari naik mobil, berhubung aku malas mesti bolak-balik menjemput motor maka akupun memberanikan diri untuk kembali melawan angin malam menggunakan motor yang ketika itu aku masih menggunakan seragam latihan karate ku. Sesampainya di rumah sakit, Bu Haji Asnah langsung menemui dokter yang menangani Abak di rumah sakit. Bu Haji Asnah termasuk saudagar kaya yang disegani di kampungku. Setelah berbicara dengan dokter, Abak langsung masuk ruang operasi untuk pemasangan ring jantung. Aku, Mamak, dan Bu Haji Asnah yang menunggu di rumah sakit sedangkan Bang Irham sudah kami suruh pulang sambil kami minta tolong untuk menjaga Redo dan Febri. Keesokan harinya, aku masih menemani Abak yang masih belum sadar selepas operasi. Mamak dan Bu Haji Asnah sudah pulang, aku meminta Mamak pulang untuk istirahat biar bisa gantian nanti siang denganku. Hari ini aku terpaksa tidak masuk kerja, padahal hari ini baru hari kedua masa percobaanku. Tapi, ya sudah lah. Abak lebih penting, biarlah nantinya aku akan menerima resiko dari bos ku. Tak terasa air mata jatuh dari pelupuk mataku ketika mengingat kejadian di rumah Bu Haji Asnah. Flashback on "Apa yang sudah kau ucapkan Alya, maka tak bisa kau tarik kembali," ucap Buk haji Asnah. "Baiklah, InsyaAllah saya siap. Apapun akan saya lakukan demi Abak, " ucapku sambil menangis, menangisi keadaan ku. Habis sudah impianku. Aku hancur, masa depanku pupus. Bekerja di kantoran, mengubah nasib. Hilang ... hilang sudah. Tuhan, apakah ini jalan terbaik untuk kami semua? Kenapa aku yang harus berkorban? Masih adakah kebahagiaan untukku. Aku lelah.. "Anakku seorang dokter di Kota Padang, ia berumur tiga puluh dua tahun. Tapi juga mempunyai bisnis properti di sana. Untuk hidup mu, tak usah kau risaukan. Aku dan anak ku akan menjaga mu." "A- aappa ti- ti-tiga puluh dua tahun," ucapku terkejut, di karenakan umurku saja baru empat bulan yang lalu memasuki umur tujuh belas tahun. Tiga puluh dua tahun adalah usia yang sangat jauh terpaut denganku. Berarti dia lebih tua lima belas tahun denganku. Jika jadi menikah, dengan panggilan apa yang pantas untuk nya? " Ya, tiga puluh dua tahun. Dia anak sulungku, sampai sekarang ia belum menikah. Tak perlu ku sebutkan kenapa ia belum menikah, nanti kau akan tau sendiri. Bagaimana Alya?" Ya Tuhan, apa yang harusku jawab. Aku sudah terlanjur menyetujui, mau tak mau terpaksa ku jawab ia kembali. "Hm ....." Ku tarik napas panjang dan dalam. "Bismillahhirahmanirrahim. InsyaAllah saya siap. Asal Abak bisa segera di operasi. Flasback end. Aku menangis sambil memegang tangan Abak. "Alya ikhlas Bak, asal Abak bisa sehat kembali. Alya tak sanggup jika kehilangan Abak dan Mamak, biarlah sekali ini Alya berkorban untuk kebahagiaan kita semua. Semoga akan ada kebahagiaan untuk Alya nantinya." Ku cium penuh haru tangan Abak. Selamat tinggal impianku, semoga kau berlabuh kepada orang yang mempunyai cita-cita yang sama denganku. Dua minggu setelah Abak operasi, kondisi Abak sudah mulai agak membaik dan abak juga sudah di rumah bersama kami. Aku pun merasa senang, walaupun aku tak tahu sampai kapan kebahagiaanku ini. "Hari ini dan besok Mamak tak jualan Alya, " ucap Mamak sambil mendirikan sapu yang terjatuh. "Kenapa tak jualan Mak?" Mamak hanya terdiam, seperti ragu untuk menjawab. " Alya ... Mamak tak tau apakah ini kabar baik atau buruk, tapi besok siang Bu Haji Asnah akan datang untuk melamarmu." Prankkkk! gelas yang ku pegang terjatuh. "Tapi, besok siang pengumuman kelulusan Alya Mak!" bantahku. "Bersihkan dulu, yang kamu jatuhkan itu Nak!" perintah Mamak sambil menunjuk gelas yang ku jatuhkan, sembari berjalan menuju ruang tamu. Segera aku bergegas membersihkan gelas yang tak sengaja ku pecahkan tadi, ku lap kembali tumpahan air bekas gelas minumku tadi. Setelah itu ku susul Mamak ke ruang tamu. "Kenapa mesti besok Mak? Besok Alya mesti ke sekolah Mak, Alya harus lihat apakah Alya lulus atau tidak. Tolonglah Mak, " ucapku memohon. "Kamu harus menerimanya Nak, bukankah kamu yang menyetujui?" ucap Mamak sembari membentangkan karpet di ruang tamu "Ya, tapi bukan berarti besokkan," bantahku sambil menolong Mamak. "Kita tidak bisa menolak Nak, nanti tanya saja sama temanmu Airin. Sudah jangan membantah lagi." Sekali lagi aku hanya bisa menangis, meratapi nasibku. Ingin marah, ingin berteriak, ingin ku keluarkan semua kekesalan di hatiku. Tapi apa daya aku telah berjanji, aku telah terikat. Aku menyerah. Hari ini aku dan Mamak membersihkan rumah dan mulai memasak rendang untuk acara besok dengan hati yang sulit untuk aku ungkapkan. Keesokan harinya setelah sholat Ashar hatiku mulai cemas, jantungku berdebar kencang seolah aku sedang dalam acara lari marathon. Seperti apakah kehidupanku kedepannya? Seperti apa wajah calon suamiku? Seperti apa perilakunya? Tapi kemudian aku ingat, oh, ya dia dokter ... dia dokter ... jangan lupa dia dokter. Ucapku dalam batin sambil meremas jari- jari ku. Hari ini aku hanya tampil sederhana dengan gamis dongker motif bunga kecil marna merah muda dan jilbab warna merah muda. Kebetulan Mamak memintaku untuk memakai hijab dan gamis supaya lebih sopan. Padahal keseharianku aku belum memakai hijab. Tak lama kemudian tiga buah mobil datang kerumah kami, yang aku yakin tidak akan mungkin seluruh tamu bisa masuk kerumah kami karena rumah kami seperti rumah type 36. Aku langsung berlari dan masuk ke kamar, hanya do'a yang selalu ku panjatkan. Ingin ku do'akan saja pernikahan ini batal, tapi aku mengingat janji ku. "Tuuuuuuhhaaaannnn tolong aku, tolong tunjukkan kuasa dan kasih sayang mu ke padaku!"  ucap batinku sambil memeluk Ori, boneka Tedy Bearku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Assalamu'alaikum!" terdengar suara dari pintu luar. "Wa'alaikumsalam! silahkan masuk," jawab Abak dengan ramah, suara yang ku dengar dengan posisiku masih di dalam kamar. Aku takut, aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan di luar. Aku menutup mataku dan menutup telingaku dengan bantal serta ku peluk Ori dengan erat. Tak terasa sudah sekitar empat puluh lima menit pembicaraan di luar, tiba-tiba pintu kamarku di ketuk dan di buka. Cekleeekk! "Alya, ayo keluar, " ucap Mamak yang berdiri di depan pintu kamar "Iii...ia Mak. " ucapku sambil memperbaiki jilbabku. Aku hanya menundukkan wajahku ketika keluar dari kamar, yang kulihat sudah banyak orang dan sebagian tamu duduk di luar. "Alya duduklah di samping Abak!" pinta Abak sambil menepuk tempat kosong di sampingnya. Aku pun menuruti permintaan Abakku, aku duduk di samping Abak masih dalam keadaan menunduk tanpa memperhatikan wajah orang-orang di sekitarku. Aku takut. "Ini kenal kan Arfan calon suami mu Nak, " ucap Abak. Dengan ragu-ragu aku mengangkat wajahku. Tanpa ku sadari mulutku sedikit menganga, ya Tuhaaaann.. Wajahnya ganteng, berwibawa kulitnya sawo matang. Tak tampak ia tua, malah ku rasa ... ah ... aku terpesona. "Alya," Ucap Abak memegang pundakku. "Egheemmm..." suara deheman wajah tampan di depanku. "Iiiii .. ia bak," jawabku terbata-bata. "Angkat tangan kanan mu, Nak Arfan akan memasangkan cincin pada jari manismu, "ucap Abak. Iiiiii...ia Bak!" kembali aku salah tingkah. Demi apa pun, hari ini aku terlihat bagai orang bodoh yang kehilangan kata-kata. Tuhan memang adil, ucap batinku. Terimakasih Tuhan, aku maauuuuu. Tanpa kusadari aku pun mengembangkan senyumku sambil mengangkat tangan kananku. Tapi wajah yang duduk di depanku hanya memasang wajah yang kaku. Apa dia tak ingin menikah denganku? Apa dia tak bisa tersenyum? Kenapa wajahnya datar? Aku yakin dia juga dipaksa kedua orang tuanya untuk menikah dengan ku. Huft.... "Sekarang giliran mu Alya, pasangkan cicncin di jari manis Nak Arfan, "ucap Buk Haji Asnah. Aku pun memasangkan cincin padanya. Ketika aku memasangkan cicncin yang kurasa tangan itu tegang, seolah tak menerima. Berbeda sekali denganku. tangannya halus, berbeda denganku. Beruntungnya ia, pikirku. "Nah, acara lamaran sudah selesai. Maka dua minggu lagi kita akan melangsungkan acara pernikahan ini. Mulai besok kedua calon pengantin harus mengurus segala macam surat-surat yang akan di perlukan untuk pernikahan," ucap Bu Haji Asnah yang berada di belakang pria tampan itu. "Du...du...dua minggu lagi Buk Aji?" ucapku yang mulai kehilangan kata-kata. "Ia Nak Alya. Dan satu lagi jangan panggil saya Buk aji lagi, mulai sekarang panggil saya Mama," ucapnya sambil tersenyum. " Ia Buk, a ... eh ... Mama!" ucapku kikuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD