Part 4 Senyuman itu

1457 Words
Acara lamaran telah selesai. Sekarang aku, Mamak dan tetangga sedang membersihkan rumah. Ketika sedang menyapu karpet tanpa aku sadari aku tersenyum sendiri. Bahkan Kak Laela pun menggodaku. Duh ... malunya. Flashback on Lamaran pun diakhiri sesi pemotretan. Walaupun kaku, kami tetap menurut apa yang dikatakan fotografer. Ketika dia berdiri di sampingku, aku hanya setinggi d**a bidangnya. Wangi parfum wajah tampan itu semerbak sekali mengalahkan taman bunga yang pernah ku kunjungi bersama temanku Airin. Tak ada satupun kata yang terucap dari wajah tampan itu. Seperti seolah-olah hanya dia yang tak menginginkan pernikahan ini. Wajah tampan itu datar, tatapannya dingin. Walapun aku tak ingin di jodohkan tapi aku juga tak bisa menolak bahwa pria tampan didepanku ini sangat menarik. Tak bisa ku pungkiri satu hal itu. Dari tadi aku mencoba mengingat, wajahnya agak mirip aktor korea yang sering ku tonton ketika aku berkunjung ke rumah Airin. Tapi mirip siapa ya? Aku masih mencoba mengingat. "Ah...ya... Song Seong Heon ahjussi," ucapku pelan hampir tak terdengar. "Ya, kenapa? Kamu bilang apa?" ucap nya datar. Batinku menjerit, Ya Allah suara bass itu merdu. Baru sekali mendengar suara itu, wajahku memanas ... aku yakin wajah ku sudah pasti memerah. Tuhan salahkah aku menyukainya? Ini kah yang dinamakan jatuh cinta? "Ga kenapa-kenapa kok Om," ucapku spontan sambil menggaruk tengkukku yang tak gatal "Apaaa Om?" ucapnya pelan sambil mencondongkan wajahnya ke wajahku. Wajahku kembali memanas, aku yakin sekali wajahku sudah teramat merah ... ah ... blushing sekali ... aku sangat yakin seyakin-yakin nya. Malu nya. "Apa saya setua itu, ha ...?" bisiknya. "Bu ... bu ... bukan begitu, kebetulan Om seumuran dengan Om pemilik kedai di depan Mamak jualan. Jadi Alya spontan Om. Om marah ya?" "Sudahlah, terserah kamu saja, " ucapnya masih dengan tatapan dingin itu "Aneh!" ucapku pelan. Tapi tak di dengarnya, karena ku fikir ia akan marah. Sebelum wajah tampan itu kembali menghadap ke depan, seperti mimpi aku melihat wajah itu sedikit tersenyum. Atau aku salah lihat, tapi aku yakin. Ah ... bingung aku. Flashback end "Hooooiii ... ngelamun lagi. Calon pengantin jangan biasain ngelamun. Ingat calon pengantin itu bau nya harum. Ntar kesambet lho, baru tau rasa," ucap Kak Laela menepuk pundakku. "Iiiiihhhh ... Kak Laela apa an sih? Gak jelas, mo nakutin atau ngejek Alya?" bantahku. "Ye ... GR (gede rasa) kamu. Kak Laela cuma ngingetin aja. Pokoknya jangan sering ngelamun, gak bagus dan gak baik di lihat orang," ucap Kak Laela menggulung karpet yang tadi ku sapu. " Ada apa ini? Kok heboh sekali sepertinya?" ucap Mamak yang tiba-tiba datang ketika aku hendak menjawab ucapan Kak Laela. "Ini lho Tek (Kak Laela memanggil Mamakku Etek, Etek ini bisa diartikan Tante atau Bibik) si Alya seperti nya sedang jatuh cintrong sama calonnya. Sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama," ucap Kak Laela sambil tertawa. Aduh, semakin malu aku. Apa wajahku memang tidak bisa berbohong. "Si..siapa bilang? Kakak sembarang menuduh saja," ucapku malu. "Lah, kenapa dari tadi senyum-senyum terus? Udah gak usah bohong, Kakak mah udah tamat kalau urusan masalah yang begituan." ucap Kak Laela sambil menyenggol bahuku. "Aaa ... kk." "Ah, sudah lah tidak apa-apa. Kan dia calon suami mu Nak," ucap Mamak memotong ucapanku. Aku hanya terdiam, aku mati kutu. Tak bisa menjawab. Skakmat. Huft! "Jadi tidak salah mamak menjodohkanmu kan? Tak sia-sia air mata yang sudah kamu keluarkan beberapa hari ini kan? Cobalah belajar untuk mencintainya Anakku. InsyaAllah Mamak tidak salah pilih, ini yang terbaik untukmu," ucap Mamak membelai rambutku. "Jieh ... Alya malu-malu kucing, mukanya merah kayak tomat. Ha ... ha ... ha," ucap Kak Alya. "Huss ... Laela, jangan di ejek juga Alya tu. Kasihan dia, " ucap Mamak. " Ha ... ha ... ia Tekk. Peace Alyaa, tapi serius calon suamimu guantengnya kebangetan. Banyak bersabar ya Alya," ucap Kak Laela sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. "Apaan sih Kak? Udah ayo kerja lagi," aku dan Kak Laela berdiri sambil mengangkat tikar yang sudah kami gulung. "Eh, ia Alya. Apa kamu sudah menghubungi Airin? Tanya apa kamu lulus atau tidak?" ucap Mamak. "Astagfirullahhal adzim, Alya lupa Mak. Mak,Alya izin ke rumah Airin dulu ya," langkahku terhenti karena mendengar ucapan Mamak. "Tapi ini sudah mau magrib Alya, tak baik. Sekarang kamu itu sudah jadi calon pengantin. Besok pagi saja kesana nya, sebelum mengurus surat-surat untuk keperluan pernikahanmu," ucap Mamak. "Ia, Alya pamali kata orang dulu, kita letakkan dulu karpet ini ke sudut sana Al! berat nih!" ajak Kak Laela. "Ia Mak, tapi pinjam handphone nya ya Mak. Paling tidak Alya bisa langsung menelfon Airin," jawabku sambil melangkah ke sudut ruanganan untuk meletakkan karpet. "Ia, ambil saja di atas lemari dapur," ucap Mamak menunjuk dapur. Selasai meletakkan karpet segera aku mengambil gawai Mamak dan langsung menelfon Airin. Sambungan telpon itu berbunyi dan pada dering ketiga baru Airin menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum," suara Airin di seberang sana. "Wa'alaikumsalam. Rin ini Alya," jawabku. "Ia, ya ada apa? Kenapa tadi gak dateng ke sekolah sih? Kita semua satu sekolah sujud syukur bareng, makan bareng dan foto bareng tadi. Ah ... kamu sih." "Itu Rin. Tadi di rumah aku ada acara pengajian, jadi gak bisa dateng." "Masa sih gak bisa dateng sebentar? Be te we nih kenapa nelfon?" "Hm...itu Rin. Aku lulus gak ya? "Lah, jadi kamu belum tau? Kamu kan bisa lihat di internet, di situ kan ada pengumumannya. Lihat aja di situs sekolah." "Ia sih, tapi handphone Mamakku kan gak bisa internetan. Biasanya kalo aku mau internetan selalu ke warnet kalau gak, ya minta tolong sama kamu," jawabku cengengesan. "Ha ... ha ... ia lupa, kamu kan fakir pulsa internetan. Jangan marah ya, cuma bercanda lo. Kalo marah aku pecat jadi teman." Airin memang seperti itu, mulutnya ceplas-ceplos tapi hatinya baik. Dia mau berteman dengan siapapun. Padahal Airin termasuk dalam golongan orang yang mampu, tapi tak sedikitpun dia angkuh dan sombong. "Ya, gak mungkinlah kanjeng ratu. Aku mah udah hapal bagaimana sifatmu. Jadi bagaimana, aku lulus gak?" "Hm ... kasih tau gak ya?" "Ih ... Airin. Jangan bikin aku cemas donk." "Hm ... lulus ...gak ... lulus ... gak ... yeeee ... selamat kamu lulus Alya. Kita semua lulus 100 persen. Yeeeee!" "Alhamdulillah ya Allah, terimakasih ya Allah, " ucapku sambil menangis. "Yach ... yach ... jangan nangis donk Alya sayang, entar Emak lu, nyangka gue yang nyakiti elu lagi. Cup ... cup ... anak Emak jangan nangis ... anak Emak jangan nangis, anak pinter ... uluu ... ulluu, " ucap Airin di seberang sana menghiburku. "He ... he ...ia, makasih banyak ya rin." "Ia, sama-sama cintaku." "Ya udah, aku mau kasih kabar ini sama Mamak." "Wokeh, boooos koooeee." "Assalamu'alaikum, Rin." "Wa'alaikumsalam, Alya." Segera ku berlari ke ruang tamu mencari Mamak dan Abak. "Maakkk ... baaakkk ... Alya lulus. Alya lulus Mak, bak," teriakku memeluk Mamak dan Abak "Alhamdulillah," ucap Mamak dan Abak. Keesokan harinya. Hari ini aku akan berangkat ke sekolah menggunakan sepedaku untuk memberikan cap jari pada ijazahku. Ketika hendak mengayuh sepeda. Teeeet! teett! Aku pun memandang ke sumber suara. Si empu yang punya mobil menurunkan kaca jendela mobil. "Kamu mau kemana?" ucapnya dingin. "Mau ke sekolah Om, mau nge cap ijazah," icapku sambil mengangkat jari telunjuk, jari tengah dan jari manisku. "Ya udah bareng sama saya. Abak mana?" ucapnya sambil melihat kearah pintu yang terkunci. " Tapi apa gak ngeropotin Om? Hm ... Abak tadi pagi sama Mamak ke pasar. Abak bosan di rumah katanya. " Gak pa-pa kok. Udah, ayo masuk," ucapnya ketus. Duh ... sabar Alya, sabar Alya. Untung si Om ganteng, kalo gak udah melayang ni kaki aku ke wajah gantengnya. Belum tau apa, kalo aku nih atlet karate. Ucapku membatin. Teet...teeet.. Bunyi klakson itu membuyarkan lamunanku. "Iii ... ia Om. Tunggu Alya kunci BMW Alya dulu ya," ucap ku sambil meletakkan kembali sepedaku dan menguncinya. "BMW?" ucapnya heran. "Ia, Beisikel Merah Warna, " ucapku sambil menepuk bangku sepedaku. Oh ... tidak sekilas ku lihat lagi senyuman itu. Aku yakin itu bukan mimpi, aku yakin aku tidak salah lihat. Duh ... gantengnya mak oi, ucap batinku. "Om, senyum ya?" tanyaku spontan. "Kamu mimpi? Ayo cepetan masuk." ucapnya dingin. Aku pun masuk kedalan mobilnya. Duh ... empuknya kursinya, ucapku membatin. Egheemmm... Dehemannya lagi-lagi membuyarkan lamunanku. "Om, apa merk mobil Om ni? Kursinya empuk banget, " astaga, apa sih yang ku ucapkan. "Gak da pertanyaan lain?" masih dengan dinginnya. "Gak boleh tau ya Om? Ya udah nanti aku baca sendiri." "Fort*ner," ucapnya "Oooo ... itu tipe apanya Ava*za Om?" "Maksudnya?" ucapnya "Ia, kan Ava*za banyak tipenya ada In*ova, ada R*sh." Lagi-lagi ku lihat, senyum itu walaupun tipiiis sekali tapi aku yakin melihat dia tersenyum. "Om ... Om ... senyum lagi kan? Jangan bohong, Alya yakin dan ini yang ketiga kalinya." "Yang pertama, senyum kamu bilang. Mimpi. Yang ke dua gak semua mobil itu mobil Ava*za. Kamu kan pelajar cari tau lah jenis-jenis mobil!" jawabnya ketus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD