Part 5

1329 Words
Di dalam mobil perjalanan selama lima belas menit ke sekolah terasa lama sekali. Hanya hening, musik pun tak dihidupkan. Duh, tau tadi mending aku naik sepeda. Walaupun panas-panasan paling tidak aku bisa berdendang dengan lagu-lagu yang ku suka. Walaupun suara ku cempreng banget. "Hm ... Om kenapa tiba-tiba jemput Alya?" ucapku memecah keheningan "Memang kamu gak ingat apa yang di bilang Mama kemaren?" tanyanya tanpa melihat ke arahku. "Memang Buk Aj...eh, Mama bilang apa ya?" tanyaku polos. "Ckckck ... masih muda, udah pelupa," ucapnya selalu dingin, kali ini ia melihatku dengan tatapan mata yang tajam. Ough ... pengenku geplak juga kepala si Oom. Sabar Alya .. sabar Alya. Semoga Om gunung es bisa mencair. Yach ... Om gunung es. Ku ketok palu dalam hatiku. Mulai hari ini itu panggilannya dariku. "Maaf Om, Alya gak inget," ucapku menunduk walupun hatiku mendongkol ke ubun-ubun. "Kan Mama bilang hari ini kita di suruh ngurus berkas untuk penikahan," jawabnya. "Oalah, ia. Maaf Om, Alya lupa, tapi hari ini Alya juga harus ke sekolah. Jadi gimana Om?" ku jawab pertanyaannya sambil menggaruk-garukkan jariku bersamaan. "Ya udah ke sekolah kamu dulu setelah beres baru ke kantor camat dan lain-lainya," perintahnya. "Maaf Om mau tanya? Om emang sengaja jemput Alya?" tanyaku lagi "Ngim..." "Mimpi kamu," ucapku memotong ucapan Om gunung es. "Ya ialah ... Kalo bukan gara-gara Mama, ngapain aku jemput bocah seperti kamu, ngabisin bensin tau," ucapnya ketus Tak lama setelah ia berbicara ketus seperti itu, kami kembali terdiam. Sesampainya di sekolah pun, dia hanya menatapku dingin. Dapat ku bayangkan aku seperti ikan tongkol yang dibekukan di dalam kulkas karena tatapan dan ucapannya. Tubuhku pun menjadi kaku. Kulangkahkan kaki menuju ruang guru, ternyata sudah ramai teman-temanku yang antri. Tanpa sadar ada yang menepuk pundakku. "Oi ... Alya. Sama siapa lu kesini tadi? Naik mobil bagus sekarang? Jadi BMW nya gak kepake lagi donk?" Ucap Airin mengejutkanku "Hm ..." Jujur, bingung sekali menjawab pertanyaan Airin. Mau jujur takut diketawain, mau bohong tapi kami sudah sahabatan sejak kelas satu SMA dan dia lah tempatku berkeluh kesah. "Oik ... oik ... malahan bengong,"ucap Airin membuyarkan lamunanku. "Heh ... ehm ... dia ... calon suamiku,"ucapku berbisik "Aaaapppaaaa?" Ucapnya berteriak yang membuat teman dan guruku melihat ke arah kami. "Husssttt ... jangan keras-keras," ucapku sambil mendekap mulut Airin. "Sumpah demi apa lo..?" Ucapnya berbisik ke telingaku. Sambil menunggu antrian kami duduk di bangku tak jauh dari ruang guru. Aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku. Aku tak ingin ada rahasia diantara kami. Walau aku tak menjamin, apa Airin dapat menutup mulutnya dan tak membicarakan masalah ini dengan teman yang lain. Semoga saja Airin dapat ku percaya. "Trus, Kak Sari gimana?" tanyanya. "Aku gak tau juga Rin, semenjak aku menelfon waktu itu telfon kami gak pernah diangkat." " Rencananya kalau udah nikah mau tinggal di mana? Di sini atau tempat si Om gunung es?" Ucap Airin, bahkan aku pun memberi tahu panggilanku terhadap Om Arfan kepada Airin "Gak taulah. Kemaren yang ku dengar aku akan di bawa ke Padang, kebetulan si Om kan tugas di Padang," ucapku sambil mengangkat kedua bahuku. " Wadidau ... Padang," ucap Airin dengan membesarkan kedua bola matanya. "Ia ... Padang, kenapa emangnya?" tanyaku. " Ya elah, lu gak inget atau sengaja melupakan?" ucap Airin sambil menujuk ke arah keningku. "Emangnya ada apa?" Ucapku penasaran. "Lah Kak Bram, first love mu itu kan kuliah di Padang. Kalo gak salah, kan kamu udah ada janji ama dia. Inget gak?" tanyanya. "Ya Allah, aku lupa Rin, kalo Kak Bram kan juga di Padang," ucapku sambil menepuk jidatku. "Hm ... inget gak, selama ini kamu selalu malu-malu ketemu Kak Bram. Selalu curi-curi pandang selama satu tahun. Sampai akhirnya Kak Bram bilang;" Alya, aku mau kuliah di Padang. Aku tau kamu selama ini sering merhatiin aku. Aku gak mau pacaran. Jika kamu bersedia, tunggu aku sampai selesai kuliah dan akan ku jemput kamu," ucap Airin menirukan ucapan Kak Bram. Tak terasa air mata keluar dari sudut mataku. Aku terpaksa mengingkari janji itu. Ketika kelas satu SMA aku menyukai seniorku yang pada saat itu dia kelas tiga SMA. Aku tak berani menyapanya, hanya berani mencuri pandang. Hingga suatu hari setelah pengumuman kelulusan kelas tiga SMA dia menghampiriku dan mengatakan hal itu. Hati ku perih, janji itu tak bisa ku pertahankan. Maafkan aku, kak... ucap batin ku. "Sabar Alya," ucap Airin sambil memelukku. Aku menangis di pelukan Airin. Mungkin bagi sebagian orang itu hanya janji anak bau kencur. Tapi tidak bagiku, janji itu harus ku tepati. Tapi apa daya.. Kapalku telah penuh, nahkodaku telah berganti. Kak Bram, maafkan aku. Semoga kau mendapat jodoh yang lebih baik dariku. "Sudah ... cup ... cup ... kalo lu masih nangis ntar gue panggilin si Om lho," ucapnya berusaha membujukku. "Ia ... ini udah selesai kok," ucapku sambil mengusap air mata dan hidungku. "Be te we, nih ... nama Om gunung es siapa? Kita stalking media sosialnya, mulai dari inst*gram, facebo*k nya dan lain-lain," ucap Airin keika mengeluarkan gawai dari tasnya. "Abbasya Arfan, b nya double," ucapku. Ketika Airin baru ingin mengetik di gawainya. "Rin, Ya di panggil Bu Santi, giliran kalian berdua," ucap Dodi, teman sekelasku. "Eh, ya Dodoy thanks y," ucap Airin dan aku berbarengan Kami pun segera berdiri dan langsung ke ruang guru. Setelah membubuhkan tiga cap jari, kami segera keluar dari ruang guru. "Eh, siapa nama si Oom. Senapsaran akoh," ucap Airin mengingatkanku. "Senapsaran, senapsaran ... penasaran keleus. HUFT ... ABBASYA ARFAN," ucapku berteriak di telinga Airin. Kulihat Airin bergegas mengetik nama tersebut. "Ohmaygosh ... gosh ... gosh ... demi apa ini? Aku gak yakin, gua gak percaya. Kamu pasti bohong, halu atau kamu ketiban durian runtuh Alya?" ucap Airin berteriak. "Pa an sih rin, ngomong apa sih rin?" ucapku bingung. "Kalo hasil pencarian di IG akoh gak salah, suuummmmpah ni cowok makhluk tuhan paling sempurna, paling sexseh," ucap Airin semangat. " Sini, pinjem dulu hp kamu. Baru aku bisa pastiin," ucapku sambil berusaha mengambil gawai Airin. "Tapi aku gak rela Alya. Aku yakin bukan dia, plisss jangan dia Alya. Soalnya dia guuuuantengnya kebangetan," ucap Airin menyembunyikan gawainya di belakang punggungnya. "Ish...ya udah kalo gak mo lihatin. Biar aku langsung pulang sama Om gunung es," ucap ku sambil berjalan. "Ia ... ia ... ni handphoneku," ucap Airin menyerahkan gawainya tak rela. "Masya Allah, calon imamku, calon Ayah dari anak-anakku. Ganteng pake banget...hi ... hi ... hi," ucapku cengengesan sambil mengelus foto wajah Om gunung es "Jadi beneran dia, hiks ... hiks ... patah hati deh. Beruntung banget kamu Alya. Atau kalo gak kita tukeran orang tua aja. Akoh ikhlas Alya, sueeeeerrrr!" Ucap Airin. "Makanya jadi anak solehah donk biar disayang Allah," ucapku sambil memeluk tubuhku sendiri "Cih...suombuong banget kamu! Ya Tuhan mulai hari ini aku akan jadi anak yang baik, menuruti kedua orang tua ku, gak akan jahat lagi sama adik-adikku dan akan jadi anak yang soleh. Dan tolong sisakan satu lagi seperti ini ya Tuhan. Aamiin ... woi aminin dong!" ucap Airin dengan mentowel pundakku. "Ha ... ha ... ha ... ia ... ia ... aamiin," ucap ku. Sepanjang perjalanan dari ruang guru, kami terus membicarakan si Om gunung es. Aku yakin dia sedang kesedakkan di dalam mobil. Ketika sedang asyik berbicara. Teett! teeett! Klakson dari mobil si Om gunung es berbunyi menandakan ia ingin aku segera bergegas menuju ke arahnya. Aku pun mengatakan pada Airin bahwa aku harus pulang sekarang untuk mengurus berkas pernikahan kami. Awalnya ku ajak Airin untuk pulang, karena kebetulan jalan kami searah. Tapi tentu saja Airin menolak, karena ketika ia melihat wajah si Om gunung es. "Gile dingin bener tatapan mata si Om gunung es, nyesel gue bilang dia tampan. Amsyong, males gua ngikut. Ngeri cuy, takuut tapi tetep ganteng," celetuk Airin sambil menampilkan ekspresi menahan kengerian yang di tampilkan Om Arfan. " Hm ... ya udah kalo gitu. Aku duluan ya," ucapku sambil berjalan masuk ke dalam mobil. Akhirnya aku dan Om gunung es pergi duluan meninggalkan Airin. Di dalam mobil hanya suara musik yang terdengar. Sungguh ini membosankan. "Kamu tadi ngomongin saya ya?" Ucapnya memecah keheningan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD