Part 6 Pernikahan

1676 Words
Selama satu minggu ini kami berdua sibuk mengurus berkas pernikahan. Selama mengurus semua berkas, jarang dan bahkan sama sekali tak ada yang benar-benar kami bicarakan. selain itu aku juga di berhentikan dari Alfama*t tempatku bekerja. Benar-benar membosankan. Terkadang disela-sela lamunanku penyesalan kembali datang menyapa. Tuhan, sanggup kah aku? Apa tak terlalu mudakah aku menikah? Apakah benar tak ada masa depan untukku? Air mata ku menetes. Apakah aku termasuk tipe wanita plin-plan, entahlah? Yang ku fikirkan sekarang adalah kebahagian, kebahagiaan "Kami" semua. "Apa yang kamu fikirkan Alya? Seperti masih ada penyesalan di hatimu Nak?" tegur Mamak, seakan wajah senduku terbaca oleh Mamak. "Hm...." ucap ku ragu-ragu. "Tak apa, ceritalah Nak. Jika pun Mamak tak bisa memberikan solusi yang tepat, tapi setidaknya beban di hatimu akan berkurang," hibur Mamak membelai lembut puncak kepalaku "Alya takut mak," jawabku. "Takut apa Nak? Yang Mamak lihat beberapa hari ini kamu sudah terlihat agak ceria ketika melihat wajah Nak Arfan? Apa yang kamu cemaskan?" tanya Mamak. "Bisa kah dia menjadi imam yang baik untuk Alya? Bagaimana jika dia pun tak mencintai Alya? Bagaimana jika kami sama-sama tersiksa dengan pernikahan ini? Dari film dan drama yang Alya tonton, serta buku yang Alya baca bahwa pernikahan itu harus berlandaskan cinta. Sedangkan kami?" jawabku dengan mata ku yang mulai berkaca-kaca "Nak, kita tak pernah tau apa yang akan terjadi di depan kita nanti. Tapi ingatlah satu hal, siapa dirimu dimasa depan itulah adalah capaian dirimu di masa lalu. Kita tak boleh mendahului Tuhan. Semua yang kita lalui harus berlandaskan agama. ini semua adalah yang terbaik untuk kalian. Maafkan Mamak ya Nak!" ujar Mamak. Aku yang tak sanggup berbicara hanya bisa menanggapi dengan anggukanku saja. setelah berfikir sejenak, kemudian aku pun bertanya, "bagaimana jika suatu saat kami berdua, atau Alya tidak kuat untuk menjalani biduk rumah tangga ini mak?" tanyaku dengan penuh kecemasan karena aku takut jika menjadi janda di usia yang masih belia. "Semuanya kami serahkan kepada kalian berdua, walaupun umurmu baru tujuh belas tahun, masih bisa dibilang belia tapi kamu sudah tau mana yang baik dan mana yang benar. Jika suatu saat di antara kalian ada yang tak bisa bertahan. Maka bersabarlah, berdo'alah, cerita sama Allah, keluarkan keluh-kesahmu sama Allah. Allah pasti memberikan petunjuk untuk kalian berdua," nasehat Mamak yang akan selalu ku kenang. "Tapi ... bagaimana jika kami berce...rai mak?" jawabku sambil menangis. "Jika semua usaha telah kamu coba, maka berpisahlah baik-baik. Kemaren Mamak pun sudah ketemu sama buk Haji Asnah membicarakan masalah ini. Jika memang tidak ada kecocokan, maka semua tergantung pada kalian berdua. Tapi jika menurut kata hati, cukuplah pernikahan itu sekali seumur hidup. Kecuali Nak Arfan melakukan hal yang tidak pantas dan menyalahi aturan agama. Dan Alya tahukah kamu jika sebenarnya Arfan sedang melakukan tanggung jawabnya," ucap mamak dengan mata mulai berkaca-kaca. "Tanggung jawab apa Mak? Dan Alya masih pengen kuliah, Mak," aku kembali bertanya karena penasaran dengan kalimat yang terakhir di ucapkan Mamak "Tanggung jawab? Hm, tanggung jawab sebagai suami Nak!" ada nada keraguan diucapan Mamak. "Mamak tau nak. Mamak pun tak ingin kalian seperti mamak. Bahujan bapaneh (berhujan berpanas) demi menyekolahkan kalian semua. Mamak pun ingin anak-anak Mamak kerja di ruangan ber AC, memakai baju dinas. Tapi apa mau di kata nasi telah menjadi bubur Nak. Bukan mamak tak sayang Alya, tapi suratan takdir kita yang berbeda. Bukan mamak egois atau mengaharapkan lebih atau tidak tau di untung tapi mamak berdo'a agar Nar Arfan terketuk pintu hatinya untuk menyekolahkan mu nak," harap Mamak dengan memelukku Hangat sekali pelukan mamak, khas aroma harum badan mamak yang akan selalu teringat. Jarang sekali kami dapat berbicara dari hati ke hati, dikarenakan mamak yang sering di pasar. Tak ingin kulepas pelukan mamak. Aku menangis tersedu-sedu sambil makin mengeratkan pelukan ku seolah tak kan ada hari esok. "Alya sayang mamak, Alya sayang abak, Alya sayang kak Sari, Alya sayang Redo, Alya sayang Febri" ucap ku sambil menangis kencang. ****** Tuuuuutt! tuuuut! ttttuuuuuuutt! "Halo, assalamu'alaikum. Kalo gak penting Sari matiin ya Mak," jawaban ketus Kak Sari. "Wa'alaikumsalam Kak, ini Alya bukan Mamak," ucapku. "Ho..oh kamu? Ada apa?" tanyanya. "Maaf sebelumnya Kak. Janganlah Kakak berbicara seperti itu, andaikan tadi Mamak yang menelfon sudah tentulah Mamak akan bersedih mendengar cara Kakak berbicara. Bukankah kita di sekolahkan untuk menambah pengetahuan kita dan mengubah pola fikir kita serta untuk mengeta...." "Mau ceramah? Aku matiin juga ni telfon?kalau gak penting-penting banget gak usah nelfon, sampai di sini paham?" ucap kak Sari memotong ucapanku. "Kaaak! Jika Kakak ingin di hormati, dihargai setidaknya Kakak juga men..." "Aku matiin ya!" ancam kak Sari kembali memotong ucapanku "Hm! Ya Allah. Percuma Alya bicara. Baiklah Alya hanya ingin bilang bahwa tiga hari lagi Alya akan menikah. Menikah hari jum'at ba'da zuhur. Pestanya hari sabtu dan Alya harap kak bisa pulang," ucapku to the point. "Ha ... ha ... ha ... jadi juga kamu nikah sama tua bangkotan itu?" ejeknya. "Hm ... ia Kak. Terserah Kakak mau bilang apa, tapi kami sangat mengharapkan kehadiran kakak di sini." "InsyaAllah, kalau aku gak sibuk. Dan tolong bilang sama Mamak; uang jajanku minggu ini gak usah di kirim duitku udah banyak. Ya udah, Assalamu'alaikum." jawab kak Sari langsung memtikan gawainya tanpa mendengarkan jawaban salam dariku. Kenapa Kak Sari, sosok kakak yang ku kagumi berubah? Apa kesalahan ku? Ucap batinku. ******* Pernikahanku dengan Om gunung es sudah di depan mata, malam ini adalah malam terakhirku sebagai jomblo akut selama tujuh belas tahun. Jomblo akut adalah gelar yang di sematkan oleh Airin kepadaku. Suasana rumah sudah banyak kedatangan tamu, tapi batang hidung Kak Sari tak tampak. Sedih, marah, itu yang kurasakan. Kakakku satu-satunya tidak hadir dengan alasan sedang ujian. Entahlah, apakah ini hanya alasannya saja atau... "Sabar ya Alya, semoga besok lancar. Kalo Kak Sari gak bisa datang kan ada gueeeeh temen ellloh yang pualing baeeeekkk sedunia wale," hibur Airin dengan memelukku. "Aku cuma sedih Rin, bukan nya seharuusnya aku menyerahkan seserahan karena melangkahi Kakakku. Bukannya aku melakukan pernikahan ini salah satunya karena Kak Sari," bantahku dengan menangis. "Salah satunya kak Sari, salah duanya karena si Om gunung es guanteng mirip seung Song Heun ahjussi kan?" goda Airin. "Ah ... Airiiiiinnn! orang lagi serius juga, malah di bikin ketawa," elakku. "Ha ... ha ... ha ... dari pada mewek terus. Bosan tau, sekarang hadapi semuanya dengan senyuman. Ingat no man no cry, no money i will cry," hibur Airin cengengesan. Kami berdua tertawa hingga Mamak mengetuk pintu kamar ku. Airin memang sengaja tidur dirumahku, untuk menemani malam-malam terakhirku sebelum menanggalkan status jomblo akut ku. Airin memang terkadang suka tidur di rumahku. Entahlah, katanya nyaman kalau di rumahku. "Airin, Alya sudah tidur sana. Biar besok seger, jangan tampak kuyu," perintah Mamak. " Baik, nyobes (nyonya besar)," jawab Airin cengegesan. "Ia Mak," jawabku. ****** Hari H itu pun tiba, selepas sholat jum'at aku pun di make up oleh salon pilihan Mama mertuaku. Jarum jam menunjukkan pukul 15.30 Wib. Kami semua melangkahkan kaki menuju mesjid di dekat rumahku. Kami memang akan melakukan akad nikah di mesjid tersebut. Biar lebih sakral kata Mamak dan Abak. Sepanjang perjalanan tak henti- henti para tetangga dan keluarga ku membicarakan ku. Jilbab putih gading di padu padankan dengan gamis burkat warna putih gading ditambah pula make up yang ku rasa pas, mereka semua menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan. Dan ini adalah hal yang paling membuatku semakin tidak percaya diri, apakah aku terlihat cantik atau??? "Ya Allah, kok hari ini kamu canti banget sih ya. Kalo akoh cowok nih, mungkin dah ku culik kamyuh," goda Airin yang sedang berjalan disampingku menuju mesjid. "Serius aku cantik? Aku gak PD Rin," ucapku yang terlihat kikuk, bahkan tanganku sudah berkeringat dingin. "Ya Allah, kapan sih guweh bohong?" sanggahnya. "Sering pake banget! Dan kamu itu labil sebenter aku,akoh gue dan sebagainya," aku sengaja banyak berbicara untuk menutupi kecemasan ku. "Supaya gehooool keleus. Ah ... gue tau, elu pasti cemaskan? Santai aja neng, gue berani jamin ni ya, ntuh Om gunung es kalo ngelihat lu bakalan terpesonaaaah," ia mencubit pinggangku pelan. "Pa an sih?" elakku malu-malu. "Yakin ni ya, kalo lo gak pake make up gue yakin pasti muka lo meeeeerah buanget karena malu." kembali ia menggodaku dengan berbisik padaku. "Udah donk rin, jangan ngetawain aku mulu," jawabku karena memang benar apa yang dikatakan Airin. ****** Perjalanan lima menit jalan kaki, akhirnya rombongan kami memasuki mesjid. Bermacam-macam do'a ku panjatkan agar acara ini berjalan dengan lancar. Bismillahirrahmanirrahiim, aku siap melangkah ke depan. Ya Tuhan berkahilah kami semua. Ucap batinku. Aku duduk di belakang di samping Mamak, sedangkan Abak duduk berhadapan dengan calon imamku. Hatiku berdebar kencang, suara jantungku terdengar kencang seolah-olah bisa terdengar oleh orang-orang disampingku. Hari ini calon imamku memakai baju teluk belanga berwarna putih gading di padu padankan peci yang berwarna senada. Gagah, ucap batin ku. " Saaaaah!!!!" ucap semua orang di dalam masjid. " Bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu. "Saaaahhh!!!" kembali satu kata bahagia itu terdengar oelahku. "Alhamdulillah!" terdengar kembali suara serempak seluruk orang di dalam mesjid. Air mata bahagia ku jatuh, bahkan Airin yang selalu bercanda juga menitikkan air mata bahagia. Kami berpelukan sebelum aku di panggil Pak penghulu ke depan untuk duduk di samping suamiku. "Kepada pengantin wanita,agar duduk di samping pengantin laki-laki," ucap Pak penghulu. Aku pun duduk langsung berhadapan dengan suamiku. Ada tatapan yang tak bisa kuartikan dari tatapan matanya. Dia seperti terdiam sesaat seperti ada sesuatu yang ia pikirkan. Ketika ia mencium keningku, ciuman dari seseorang yang halal untukku, Imamku. Ada rasa gelenyar aneh yang kurasa. Rasa apa ini Tuhan? Setelah itu aku mencium tangan nya, rasa gelenyar itu makin terasa. Aku tak mengeri, aku tak paham, apa yang sedang terjadi pada diriku? Semua berkas sudah selesai kami tanda tangani, sesi pemotretan pun tiba. Kami berdua berdiri kaku tak tau harus seperti apa pose yang pas untuk kami berdua. Mama mertua meminta om Arfan untuk memegang pinggangku. Yah, tak mungkin selamanya aku menyebutnya om gunung es, paling tidak aku harus menghormatinya selayaknya seorang suami. Ketika ia memegang pinggangku, ia pun berbisik kepadaku. " Jika kamu menginginkan aku untuk aku mencintai mu, maka itulah adalah suatu hal yang tak mungkin bisa ku lakukan, karena aku tak akan pernah bisa mencintai mu" ucapnya dingin. ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD