ADA APA DENGAN MEREKA?

1086 Words
“Apaan sih, gua kaga bisa napaass ...!” teriak Karmila sambil mengurai dekapan Nadio. “Lu tau, gua marah karena apa?” tanya Nadio sambil mendorong kursi roda ke arah sofa. Kemudian, Nadio mengunci kursi roda dan duduk tepat di hadapan Karmila. Pandangan pria ini mengintimidasi tepat ke manik mata Karmila. Rasa sakit pada kaki dalam balutan gips, terkalahkan kejengkelan hati Karmila atas kelakuan Nadio sedari pagi. Wanita ini benar-benar dalam posisi siap meledak. Bagai magma gunung berapi aktif yang siap meletus. Itu tergambar jelas bagai ikan berenang dalam aquarium. Ekspresi wajah Karmila tak main-main soal ini. Nadio bukan tak menyadari hal tersebut. Namun, jiwa otoriter pria berparas oriental tersebut bergejolak. Dia harus bisa menguasai Karmila sebagai bawahan dan tak akan biarkan kesenangannya berakhir. Karmila tak boleh resign, dengan cara apa pun. “Stop! Gua resign detik ini juga. Permisi!” Karmila membuka kunci tuas dan segera memutar kursi roda ke arah pintu. ‘’Tiiit ...!” Handle pintu terkunci dengan otomatis. Karmila memutarnya beberapa kali dan tak bisa membuka. Wanita berambut ikal sebahu ini, seketika menoleh ke arah Nadio. “Bukain pintunya!” teriak Karmila dengan muka memerah. Dadanya bergemuruh dan dia siap bermasalah, jika Nadio tak segera menuruti mau dia. “Lu kaga bisa semaunya. Perusahaan punya aturan. Selesaikan tanggung jawab lu dulu, baru gua bisa lepasin lu. Paham!” tegas Nadio dengan tatapan mata menghunjam. “b******n! Apa mau lu? Binatang, lu!” teriak Karmila semakin tak terkendali. Dia dengan emosi yang meluap lalu menggerakkan jemari tangan untuk merogoh ponsel dari dalam tas. Sedangkan Nadio dengan senyum sinis duduk di sofa menikmati kemarahan Karmila. “Ada apa, Mila?” tanya Vivian dari seberang telepon. “Tolongin! Gua terkunci di atas,” pinta Karmila dengan ekspresi jengkel. Nadio dengan tenang melangkah menuju meja kerja. Pria ini kembali tenggelam dengan berkas kembali. Sikap Nadio semakin membuat Karmila kesal. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Raut wajah Karmila seketika semringah. “Permisi, Pak!” Suara Vivian dari balik pintu. ‘’Tiiit ...!” Handle pintu terbuka. Karmila gegas membuka pintu. Vivian tampak kaget mendapati Karmila berada di hadapannya. “Kata lu, terkunci,” ujar Vivian dengan kulit kening berkerut. “Masuk!”perintah Nadio sambil mendongak ke arah dua wanita yang sedang berhadapan. “Baik, Pak,” balas Vivian yang melihat ke arah Karmila dengan tatapan bingung. Kedua kaki kepala divisi advertising tersebut bergeser, memberi ruang untuk kursi roda Karmila. “Lu masuk, gua mau turun,”sahut Karmila yang segera menggeser kursi roda keluar ruangan. Vivian masih terpaku lalu menatap ke arah Nadio. Situasi yang membingungkan bagi Vivian. “Mila, lu tunggu gua di bawah. Kita harus ngobrol,” ucap Vivian sambil mengelus bahu Karmila. Wanita berambut ikal tersebut menganggukkan kepala lalu buru-buru beranjak pergi. “Buruan ke mari!” perintah Nadio dan Vivian melangkah mendekat dengan pikiran tak menentu. “Eh, maaf, Pak. Saya ke sini, bukan bermaksud menghadap. Tadi diminta Mila. Saya sebagai kepala divisi ikut bertanggung jawab, jika ada kesalahan proposal yang dibuat Mila. Itu dibuat dengan persetujuan saya,” jelas Vivian berusaha menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi. Dia tak rela, kalau hanya Karmila yang harus bertanggung jawab. “Okey. Bagus! Memang harus seperti itu. Sekarang sebagai konsekuensinya, Karmila tak bisa resign sebelum mengedit proposal seperti mau saya. Dan ... saya harus bertemu dengan klien penting, suruh Karmila temani saya secara profesional,” ungkap Nadio dengan nada tegas. Vivian yang tak pernah dapat masalah selama bekerja sebagai kepala divisi, jadi grogi juga. “Baik, Pak! Segera saya laksanakan. Tapi ... Mila boleh pulang dulu?” tanya Vivian serba salah. “Ngapain pulang segala? Dia bisa kabur dari tugas. Ada masalah dengan proposal, dia mau resign. Enak betul! Tak profesional,” tegas Nadio yang semakin Vivian merasa tak menentu. “Maaf, Pak. Bukannya tak beretika, Mila menemui klien dengan gaun pesta?” “Nah, itu tahu! Kenapa gak tegur dia? Punya bawahan tak punya attitute,” ucap Nadio dengan nada tinggi. “Ta-tapi ... Pak,” “Ada paket baju untuk Karmila. Bilang itu dari kamu. Suruh mandi dan pake baju itu! Dalam satu jam harus siap!” perintah Nadio dan Vivian terkejut beberapa saat. “Udah buruan!” “Baik, Pak! Permisi.” Vivian segera beranjak setelah dapat anggukan dari bosnya. Vivian berjalan gontai dengan hati yang semakin bingung. Namun, perintah bos harus segera dilaksanakan untuk menebus kesalahan tim. Dia hanya berpikir, ada sesuatu yang ganjil dengan perilaku sang bos dan Karmila. Langkah kaki wanita berpostur gemuk ini memasuki lift. Meski, dia sudah keluar dari tabung tangga tersebut, tak serta merta bisa menjawab tanya dalam hati. Vivian menuju ruangan Karmila dengan pandangan mata takjub. Tampak olehnya di atas meja kerja dan lantai ruangan Karmila ada beberapa paper bag berbagai ukuran dari merk ternama. Pemilik ruangan duduk di kursi roda menatap ke arahnya. Vivian segera tersadar dan harus bisa mengatasi keadaan. “Lu buruan mandi dan berdandan secantik mungkin. Kita harus bisa memperbaiki kesalahan tim. Gua udah sepakat dengan bos. Lu harus temani beliau bertemu klien penting,” urai Vivian untuk memecahkan kebingungan Karmila. “ini, dari mana?” tanya Karmila penasaran. “Dari gua. Demi profesialisme. Lu sadar kaga? Emang pantas, bekerja pake gaun? Mana bau banget. Pantas bos marah,” tegas Vivian dan kali ini, dia yakin bahwa Karmila memang telah mempermalukan divisi dengan keadaannya. “Ya, maaf. Gua cidera, buru-buru ke dokter. Kaga sempat ganti baju. Demi meeting,” ucap Karmila sendu. Beberapa buliran bening segera menetes dari kedua sudut mata. Dia sadar, rasa pengar sisa semalam, telah membuatnya kacau. “Buruan mandi! Ditunggu bos. Lu harus siap dalam sejam,”pinta Vivian masih dengan tatapan takjub ke arah beberapa paper bag. “Baik, Kak! Terima kasih banyak. Tapi gimana gua bisa gantiin harga semuanya? Gaji gua sepuluh tahun pun, belum cukup buat bayarin. Gua pake bajunya doang. Sepatu ini masih bisa dipake. Kaki gua satu digips, jadi kaga masalah dengan sepatu,”kilah Karmila karena keder juga melihat merk-merk yang tercantum. “Kaga bisa! Gua beli semua demi penampilan lu. Biar pantas buat dampingi bos. Itu gratis dari gua,” ucap Vivian terpaksa berbohong demi melancarkan misi. “Wah, makasih, Kak. Ngipi apa gua semalam,”balas Karmila lalu gegas mengeluarkan kotak-kotak item dari paper bag masing-masing. Kemudian, mengeluarkan isinya. Ada tas, mini dress, sepatu, sekotak make up dan satu set perhiasan. Gila bener! Si bos, lengkap betul belinya. Berasa seserahan. Dari ujung kaki sampe kepala, batin Vivian yang semakin merasa aneh. “Bukannya pertemuan dengan klien, ya?” tanya Karmila sambil menenteng mini dress dengan tali spaghetti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD