3. WATERFALL

1840 Words
When the time has come. Fate brought two souls together in an unexpected way -VULNERABLE- _________________________ "Minerva!" Panggil seorang perempuan berumur 15 tahun, sebaya dengannya masih memakai seragam sekolah menengah pertama, perempuan itu diikuti oleh 3 anak lainnya di belakangnya. Minerva menoleh bersamaan dengan bahunya yang di rangkul ringan. "Mau ikut bermain? Kamu sudah janji pada kita kalau kamu akan ikut kali ini." kata anak perempuan itu menagih. Perempuan berkuncir kuda dengan rambut berwarna hitam pekat dan berkulit putih. Minerva melepaskan rangkulan anak itu pelan, "Tapi Rein..." Minerva menghela napasnya saat melihat pada anak yang dipanggilnya 'Rein' memasang wajah memohon. "Baiklah! Tapi aku akan langsung pulang jika kalian mengajakku yang aneh-aneh." kata Minerva sambil menatap Rein tajam, memperingati. Rein tertawa, "Memangnya aku pernah mengajakmu yang aneh-aneh?" Rein menoleh kebelakang, memanggil teman-temannya yang lain. "Minerva ikut!!" serunya girang, anak perempuan lainnya yang mengikuti dibelakangpun bersorak senang mendengar seruan Rein. Minerva Haven namanya, gadis cantik, pintar dan lembut. Siapa yang tidak ingin dekat dengan gadis seperti dirinya? Meski begitu, Minerva sulit di dekati ataupun diajak bermain sejak mulai masuk sekolah menengah pertama. Padahal saat masih di sekolah dasar dulu Minerva sangat periang, dan senang membawa temannya bermain di rumahnya. Pemilik iris mata berwarna hazel, rambut berwarna coklat karamel, bibir kecil merah muda, hidung mungil mancung dan kulit seputih s**u. Itulah yang mendeskripsikan kecantikan Minerva, apalagi tubuhnya yang mungil, namun sangat pas dan proposional. Rein merangkul tangan Minerva, lalu menariknya agar mengikuti langkahnya. "Kalau begitu ayo kita pergi!" serunya sambil sedikit berlari sehingga Minerva harus menyamakan langkahnya dengan Rein yang terus menariknya. "Tu-- tunggu Rein!" Pinta Minerva yang kesulitan mengikuti langkah Rein yang berlari cukup cepat. Minerva hanya menatap wajah Rein saat Rein menariknya ke tempat yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Tentu saja Minerva belum pernah mengunjunginya karena ia tidak pernah berkeliling kota meskipun hanya untuk melihat-lihat atau mengunjungi kafe. Minerva hanya tau jalan pulang dan pergi dari rumah ke sekolah saja. Saat langkah kaki Rein melambat, Minerva mulai melihat kesekeliling, saat mereka telah berhenti berlari, tepukan di pundaknya terasa lagi, kini bukan bersal dari Rein, melainkan anak perempuan lain yang mengikuti di belakang. Mereka berada di dalam hutan, bukan hutan yang dalam, hanya beberapa meter dari pemukiman. "Bagaimana?" Minerva mengedarkan pandangannya, menatap pohon besar yang menjulang tinggi, namun bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya namun sebuah rumah pohon yang cukup besar diatasnya. Pupil mata Minerva membesar, mulutnya sedikit terbuka. Matanya berbinar penuh antusias. Minerva menoleh pada Rein. "Bagaimana bisa ada rumah pohon disini?" tanya Minerva tidak bisa menutupi semangatnya. Rein mengangkat bahunya, "Beberapa hari yang lalu kami menemukannya, jadi kami membuat tangga dan menyimpan beberapa barang di dalam." Dercakan kagum keluar dari bibir Minerva. "Mau naik?" tanya Rein, Minerva mengangguk. Rein dan teman yang lain membantu Minerva naik lebih dulu, sebenarnya tangga yang ada sedikit berbahaya karena hanya terbuat dari balok kayu yang di palu di pohon dan di susuh sampai keatas. Tapi tetap saja, meski sedikit berbahaya, Minerva dan teman-temannya yang lain tidak peduli karena mereka sangat ingin sampai keatas. Minerva meringis menahan sakit di telapak tangannya saat ia mencengkram erat ujung balok kayu yang lancip. Meski tangannya memerah dan sakit, Minerva tidak menyerah sampai akhirnya ia sampai di atas rumah pohon itu. Minerva mengusap tangannya ke rok yang ia kenakan berharap nyerinya mereda. Setelah membersihkan tangannya, Minerva mendongak, mulutnya terbuka lebar melihat pemamdangan sekelilingnya, hutan-hutan yang lebat, langit indah yang sedikit mendung serta semilir angin yang menyejukkan. Demi tuhan, Minerva belum pernah melihat pemandangan seindah ini seumur hidupnya. Minerva berbalik, melihat pemandangan di sisi belakangnya. "Astaga..." gumamnya, matanya melebar dengan tangan yang mencengkram erat roknya. Minerva melihat air terjun yang sangat indah, ada kabut tipis disekitar air terjun itu dan pelangi di atasnya. Minerva sama sekali tidak tahu jika ada air terjun di sekitar sini. Kenapa dia baru tau? "Minerva bantu aku!" salah satu temannya menjulurkan tangan, meminta bantuan Minerva untuk naik. Minerva mengalihkan pandangannya langsung mengulurkan tangan membantu teman-temannya yang kesulitan naik. "Rein... Memangnya tidak apa kalau kita berlima diatas pohon? Apa tidak akan roboh?" tanya Minerva sambil melihat kebawah pohon dengan ngeri. Rein menepuk-nepuk tangan dan lututnya yang sedikit kotor terkena noda tanah dan lumut dari pohon dan tanggan. "Sepertinya rumah pohonnya cukup kuat, jadi tidak masalah. Rumah pohon ini terlihat berusia puluhan tahun, jadi kayunya sudah keras." jawab Rein. Minerva mengangguk mengerti, tapi tetap saja dia tidak bisa menghilangkan rasa ngeri saat melihat kebawah. Mungkin jika dia terjatuh, kaki atau tangannya akan patah. Minerva menggelengkan kepalanya cepat, kenapa dia memikirkan hal-hal yang mengerikan seperti itu? Bodoh. Dia tidak akan terjatuh, Rein berkata bahwa rumah pohon ini kuat, itu berarti dia aman, benarkan? Minerva menahan nafasnya, lagi-lagi dia melirik kebawah, padahal jelas dia takut. "Minerva apa yang kamu lakukan? Kemari!" Minerva menoleh saat Rein memanggilnya, Rein dan dua orang temannya yang lain sudah berada di dalam rumah pohon yang pintunya terbuka, mereka duduk di lantai dengan sebuah kain lebar sebagai alas. Minerva mengangguk samar sebelum menghampiri Rein. Rein menepuk tempat kosong di sampingnya, "Duduk disini," Rein berkata seraya melihat Minerva. MInerva mengikuti ucapan Rein. Sementara itu, Minerva memperhatikan Rein dan kedua temannya yang lain yang sedang sibuk mencari sesuatu di dalam tas mereka, "Kalian sedang apa?" Akhirnya Minerva tidak bisa menahan rasa penasarannya dan bertanya. Rein berhenti mencari, dia kembali melihat Minerva yang sedang melihat tangannya yang masuk kedalam tas. "Tidak ada, aku hanya mencari ini," Rein mengeluarkan tangannya dari dalam tas. Minerva terkesiap. Menatap benda-benda di tangan Rein dengan antusias. "Aku membeli ini sudah lama, aku ingin memberikannya pada kalian." Kata Rein sambil memberikan satu persatu kalung yang ada di tangannya. Minerva menerima kalung yang diberikan Rein padanya tanpa pikir panjang. Dia sudah terbius oleh kecantikan kalung itu. Kalung itu berlian berwarna-warni, mulai dari merah, ungu, hijau, dan biru. Minerva mendapat kalung berwarna biru ditengah liontin berbentuk hati. Minerva tersenyum, hatinya terasa hangat saat ia mengenakan kalung pemberian Rein itu, "Ini kalung tanda persahabatan, jangan sampai menghilangkan nya, okay? Kalian harus berjanji akan menjaganya dengan sangat baik!" Kepala mereka mengangguk. "Terimakasih Rein, ini sangat cantik." puji Minerva. Bibir Rein terangkat lebar, "Benarkan? Cantik kan? sayang sekali itu berlian imitasi." Rein menghela napasnya. "Justru akan lebih aneh kalau kamu memberikan kita berlian asli, dasar bodoh!" seru anak perempuan lainnya. Rein terkekeh. Benar juga, darimana anak seumur nya mendapatkan uang untuk membeli kalung-kalung berlian yang harganya luar biasa mahal itu? Meski tahu kalung yang diberikan Rein bukanlah sebuah kalung yang harganya mahal. Mereka sangat senang. Bukan melihat dari harganya, tapi nilai pertemanan dan perasaan Rein saat membeli kalung-kalung itu. Dengan perasaan penuh haru dan kebahagiaan, setetes air mata dari ujung mata Mimerva keluar dari kelopaknya. "Hei.. Kenapa kau menangis?" Minerva menggeleng pelan, buru-buru mengusap air matanya lalu tertawa pelan. "Aku jadi ingat sahabatku di kota tempat tinggalku yang sebelumnya." Rein terkesiap. Mulutnya terbuka membentuk huruf 'O', tanpa aba-aba dia memeluk tubuh Minerva dengan erat. Mengikuti Rein, dua temannya yang lain juga memeluk Minerva, mereka saling berpelukan. Minerva tersenyum, rasanya malu tapi dia juga senang. Mungkin dia bisa memulai persahabatan lagi, padahal awalnya Minerva tidak berencana memiliki teman dekat karena dia mungkin akan pergi lagi seperti biasanya, pekerjaan ayahnya membuat mereka sering pindah-pindah tempat tinggal. Minerva benci perasaan rindu yang menyesakkan. Semakin dia dekat dengan seseorang, semakin dia akan merindukan orang itu saat dia sudah pergi. Tapi sepertinya kali ini Minerva ingin kembali membuka hatinya untuk menerima hubungan pertemanan baru yang dekat. Lagi pula Minerva tidak memiliki alasan untuk menolak berteman dengan gadis se-imut Rein. Rein adalah gadis periang, ramah dan mudah bergaul. Semua orang suka berteman dengan Rein. Rein bukanlah tipe gadis cantik, tapi saat melihat wajah Rein, rasanya hati menjadi tenang. Rein adalah gadis yang memiliki wajah manis dengan senyum yang menyenangkan. Mereka tertawa setelah melepas pelukan. "Sudah-sudah, aku membawa ini!" kata teman perempuan yang lain. Dia mengeluarkan sebuah kotak biskuit rasa coklat yang berukuran cukup besar. "Aku juga!" seru yang lainnya. Dia mengeluarkan sebungkus chiki dari dalam tasnya. Minerva melihat snack-snack yang mereka bawa. Rupanya tadi mereka sedang mencari makanan ringan. "Maaf, aku tidak membawa apapun. Aku tidak tahu." "Tidak masalah. Kita bisa saling berbagi." Minerva tersenyum, "Baiklah, terima kasih. Besok aku akan membawa banyak cemilan untuk kita!" "Asyik!!!" seru mereka berbarengan. *** Hari sudah mau gelap saat mereka baru hendak pulang. Matahari tenggelam hampir saja menghilang, bulan telah muncul. Minerva melihat sekelilingnya yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Hutan jadi sangat menyeramkan saat malam hari. Suara-suara binatang malam mulai terdengar. Minerva menoleh kebelakang, melihat Rein yang tengah membantu temannya yang lain untuk turun. "Harusnya kita pulang sebelum hari mulai gelap." seru Minerva. Tangannya mencengkram tali tasnya dengan erat, tangannya bergetar karena takut. "Aku bahkan belum memberitahu ibu." Minerva menghela napasnya, ia menyesal tidak memberitahu dibunya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk ikut dengan Rein dan teman-teman yang lainnya. Pasti saat ini ibunya tengah khawatir. Habisnya ia tidak membawa ponsel, dan dia lupa meminjam ponsel temannya karena terlalu asyik saling bercerita. Walaupun hari ini Minerva pulang terlambat tanpa kabar, Minerva tahu, ibunya yang terlalu baik itu tidak akan memarahinya untuk kesalahan seperti ini. Sejak dulu, ibunya selalu ingin Minerva memiliki sahabat baru. Sebelumnya ia merasa sangat bersalah karena tidak bisa menepati janji untuk kembali ke kota tempat mereka tinggal sebelumnya. "Minerva, kau sedang lihat apa? Ayo! Sudah mulai malam." suara Rein memecah lamunan Minerva. Minerva menoleh, melihat Rein dan kedua temannya yang sudah berjalan beberapa di depannya. Minerva berlari pelan menghampiri mereka. Mereka berjalan keluar dari hutan. Di tengah perjalanan yang sunyi itu, Minerva membuka suara, "Apa kalian mau ke air terjun di dekat rumah pohon kita? Sepertinya air terjun disana sangat indah " Duk! Minerva menabrak punggung Rein di depannya yang berhenti berjalan secara mendadak. Perlahan Rein berbalik, "Air terjun? Air terjun apa? Dimana?" tanya Rein, keningnya berkerut dalam. "Memangnya ada air terjun di sekitar sini?" "Mungkin maksud Minerva, dia ingin pergi ke air terjun di luar kota sambil jalan-jalan bersama! Iya kan? Kedengarannya seru!" "Ide bagus! Kalau begitu aku akan meminta izin orangtua ku dan meminta uang saku!" Minerva menggeleng-gelengkan kepalnya pelan, alisnya bertaut bingung, "Bukan, aku bicara tentang air terjun di belakang rumah pohon kita!" Rein dan kedua temannya berhenti berbicara, ia menatap Minerva aneh. Rein berjalan beberapa langkah mendekat pada Minerva, tangannya menepuk pundak Minerva pelan. "Berhenti bercanda, Minerva. Ayok kita pulang, sudah sangat malam!" "Apa?" Tangan Minerva mengepal erat. Mereka menganggap Minerva berbohong? Minerva kesal. Padahal air terjun yang dia lihat dari rumah pohon sangat jelas. Tapi kenapa mereka bersikap seperti ini? Minerva melepaskan tangan Rein dari pundaknya dengan kasar. "Sepertinya kalian menganggapku bodoh." Kulit wajah Minerva yang putih berubah merah. Beruntung karena malam hari menyembunyikannya. "Aku pergi!" Minerva berjalan mendahului Rein dan dua teman lainnya yang memaku di tempat. Mereka menatap Minerva aneh, mereka tidak tahu mengapa Minerva marah. Tapi candaan Minerva keterlaluan. "Hey.. Dia tidak seharusnya marah hanya karena kita tidak termakan gurauannya, kan?" Ujar satu temannya. "Yah.. Dia aneh," balas yang lainnya. "Mungkin saja dia hanya lelah," lerai Rein. "Ayo kita kembali, sudah malam." To Be Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD