3. Past and Future

1828 Words
Juni 2028 San Jose, California, USA Barbara memakaikan jaket menutupi kaos putih Leo sambil merapikan rambut bocah itu dengan sisir. “Rambutmu tebal sekali, Leo. Tapi kaku dan susah diatur. Persis dengan rambut dan watak ayahmu. Kaku dan susah diatur,” oceh wanita itu, kini mengoleskan gel rambut ke atas kepala anaknya dan menatanya hingga klimis. “Siapa yang kau panggil kaku dan susah diatur?” Ken tiba-tiba muncul masuk ke ruang tengah sambil membawa sebuah jas di lengannya. “Tentu saja dirimu! Siapa lagi?” timpal Barbara dengan bibir mengerucut. Ken tertawa mendengar omelan istrinya yang memang adalah salah satu hoby wanita itu. Jika tidak sedang mengoceh, bisa di pastikan wanita itu mungkin sedang sakit atau sedang tidur. Oh… atau bisa jadi mungkin sedang mengunyah. Tapi Ken selalu menikmati omelan Barbara. Baginya, rumah terasa sepi tanpa adanya ocehan wanita itu, terutama di pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Hal itulah yang menjadikan Ken jatuh cinta pada Barbara. Dirinya yang pendiam dan kikuk, berbanding terbalik oleh sifat Barbara yang ceria, dan terbuka. Wanita itu memiliki pembawaan yang bisa membuat siapapun langsung merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Menjadikan Barbara pasangan yang serasi, paling tidak bagi seorang Ken Dalton. “Okay, selesai!” seru Barbara kepada Leo. “Sekarang pakai sepatumu, Boy! Kau juga, Mister!” Leo dan Ken bertukar pandang sambil tertawa kecil mendengar perintah Barbara. “Bagaimana Logan?” tanya wanita itu tidak sadar bahwa Ken dan Leo sedang menertawakannya. “Sudah di rumah temannya. Oh… Ibu Charlie, Janice mengucapkan terima kasih atas kue yang kau berikan beberapa hari yang lalu. Ia bilang itu kue terenak yang pernah di makannya, dan ia berharap kau mau membagi resep dengannya.” Barbara berdecak mendengar ucapan Ken tentang ibu dari teman anaknya itu, “Ck… Selama aku mengenalnya belum pernah aku melihatnya mengggunakan dapur yang ada di rumahnya. Paling wanita itu hanya berbasa basi agar aku memberinya kue lagi. Dasar!” Ken ikut tertawa dan menimpali, “Janice tidak salah. Kue buatanmu memang enak, Dear.” Pria itu mengecup dahi istrinya lalu melanjutkan, “Dan kau terlihat cantik sekali malam ini.” Ucapan Ken membuat Barbara tersipu malu. Ia mengayunkan tangannya memukul lengan Ken sambil tertawa. “Dirimu tidak banyak berbicara, tapi begitu membuka mulut, benar-benar membuatku kehilangan kata-kata, Ken.” “Aku hanya mengatakan kebenaran, dan dirimu memang adalah wanita tercantik yang pernah kutemui selama, ini. Happy anniversary, Dear.” Ken meraih pinggang istrinya dan mengecup bibirnya yang sudah berlipstik merah. “EEWWW! Kalian sungguh memalukan!” seru Leo sambil menutup matanya dengan kedua tangannya. “Bisakah kita berangkat? Aku sudah lapar!” Protes dari Leo membuat keduanya tertawa dan melepaskan pelukan mereka. “Kau perlu belajar cara memperlakukan wanita, Leo,” ucap Ken masih sambil tertawa. “Kelak kau akan menemukan gadis yang bisa membuat otak cerdasmu berhenti bekerja, dan kau perlu tahu bagaimana caranya mempertahankan orang yang penting itu di dalam hidupmu.” Leo mengerutkan bibirnya mendengar ucapan ayahnya, “Mengapa aku ingin mempertahankan orang yang akan bisa membekukan otak ku? Tidak masuk akal. Ayah ada-ada saja.” “Well… Cinta memang adalah hal yang rumit, Son. Dan tidak bisa dijelaskan dengan logika. Kurasa, kau akan mengalaminya sendiri kelak,” sahut Ken. “Ugh! Tidak akan!” balas Leo masih dengan wajah cemberut. Ken makin tertawa terbahak-bahak melihat tingkah anaknya yang menolak untuk jatuh cinta. “Okay… okay… Baiklah. Ayo kita berangkat kalau begitu, sebelum make up ibumu meleleh,” bisik Ken ketelinga Leo, kembali membuat bocah itu tertawa. “Hei! Aku bisa mendengar bisikan kalian dengan jelas!” seru Barbara sambil meraih tas tangannya dan melangkah keluar mengikuti suami dan anaknya. Sepanjang perjalanan dihabiskan oleh Leo untuk mengamati keluar jendela. Duduk di kursi belakang, anak itu menempelkan wajahnya ke kaca jendela sementara kedua orang tuanya berbincang ringan tentang hal-hal yang tidak menarik baginya. Sambil menatap ke arah pepohonan dan lampu-lampu yang bergerak menyamping, samar Leo mendengar ibunya bertanya pada ayahnya. “Bagaimana pekerjaan di universitas?” “Hm… Tim kami membuat kemajuan dalam memecah susunan genetik dari ubur-ubur sisir dan menggabungkannya dengan genetik dari tikus yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya…” “Ubur-ubur sisir?” “Ya. Salah satu karakteristik ubur-ubur sisir adalah kemampuan regenerasi mereka yang sangat cepat. Dengan memasukkan karakteristik tersebut ke dalam tikus yang baru saja kehilangan anggota tubuhnya, harapan dari tim kami adalah pembentukan anggota tubuh yang baru. Bayangkan penerapan yang bisa dilakukan jika riset kami berhasil. Kita bisa menggunakannya untuk tentara yang kehilangan anggota tubuh mereka dalam peperangan, atlet, atau siapapun yang membutuhkannya.” “Selama pemerintah tidak menggunakannya untuk hal yang merugikan kemanusiaan,” sela Barbara. “Bukankah mereka dikenal sebagai pengguna teknologi bukan untuk kemajuan melainkan semata-mata agar bisa mengontrol rakyatnya? Aku baca di sosial media beberapa hari yang lalu, kudengar pemerintah sudah melakukan serangkaian percobaan yang tidak beretika kepada manusia. Memang belum ada bukti nyata dan semua ini hanyalah desas desus belaka, tapi kau benerja di bidang ini, Ken. Apakah kau tidak mendengar sesuatu tentang proyek yang dilakukan pemerintah?” Ken terdiam tidak menjawab pertanyaan istrinya. Tentu saja ia sudah mendengar tentang berita dan desas desus itu. Tentang Proyek yang dilakukan pemerintah di pangkalan militer rahasia yang, sekali lagi menurut isu, berlokasi tidak jauh dari kota tempat tinggal mereka. Bahkan beberapa tahun sebelumnya, sebagai salah satu ilmuwan Genetic Engineering top di negara itu, Ken sempat mendapat tawaran untuk bekerja bagi pemerintahan. Entah untuk proyek apa, Ken tidak tahu, karena ia tidak berniat menggunakan penemuan dan kepandaiannya untuk membantu pihak yang hanya akan mengubah apapun yang ditemukannya sebagai senjata. Tawaran akhirnya jatuh pada salah satu koleganya, seorang doktor dengan ambisi besar dan kecerdasan yang mungkin tidak jauh berbeda dengan Ken Dalton. Susan O'brian, seorang wanita yang bergelut di bidang yang sama dengan Ken. Sudah beberapa tahun berlalu, dan Ken sama sekali tidak mendengar kabar dari wanita itu. Atau apa sebenarnya yang sedang dikerjakan oleh mereka. Leo masih tidak sadar bahwa percakapan kedua orang tuanya malam itu, akan menjadi memori pertamanya tentang Susan O'brian. Nama yang akan terus mengikutinya kemanapun ia melangkah. *** Juli 2046 Markas Bawah Tanah Titanium di Antartic Leo melemparkan topeng putih titaniumnya kembali ke dalam laci mejanya sebelum kemudian melepaskan kancing jas yang di pakainya dan berjalan menuju sofa kulit berwarna hitam di sudut ruangan. Ia menghempaskan tubuhnya terlentang diatas sofa empuk itu dan mulai memejamkan matanya. Dengan dua tangan terlipat di atas perut, Leo mulai berpikir. Sudah setahun S.O.U.L tidak menemukan apapun. Ia sudah mengira bahwa semua mutan yang terlepas sudah ditangkapnya. Kenapa mendadak setelah sekian lama, kini muncul jenis mutan baru? Mutan yang jauh lebih kuat dan berbahaya. Dihari yang sama dengan rencananya? Kebetulan? Cih! Tidak mungkin semua ini kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua hanyalah sebuah sekuensi dari sebab dan akibat. Pikir Leo. Sebuah suara mendadak terdengar di sebelahnya, mengagetkan Leo. “Jadi?” Leo membuka matanya dan mendapati kakaknya berdiri di sebelah sofa dengan pandangan terarah padanya. “Apakah dirimu lupa cara mengetuk pintu?” tanya Leo kesal oleh interupsi dari kakaknya. “Kau tidak menutup pintumu. Semua ruangan di fasilitas ini kau pasangi alat pengenal dan retina scan kecuali kantormu.” “Tidak ada yang penting di ruangan ini. Oh kecuali senapan Pemecah Pertikel di laci mejaku. Hm… Mungkin aku perlu menghubungkan ruangan ini dengan S.O.U.L. Ah tapi aku tidak ingin setiap masuk harus melakukan scan retina,” jawab Leo menyembunyikan alasan sebenarnya. Logan tertawa mendengar jawaban adiknya. Tentu saja ia tahu bahwa Leo berbohong. Tapi ia tidak berniat untuk membongkar alasan Leo menjadikan kantornya terlihat kuno adalah karena keinginan adiknya untuk memiliki kantor yang sama seperti kantor ayah mereka. Ia bahkan menghabiskan waktu berjam-jam di pasar rongsok untuk mendapatkan model sofa dan meja yang sama dengan yang digunakan ayah mereka untuk kantor nya. Bahkan koleksi buku yang dimiliki Leo pun, semua adalah koleksi buku-buku yang pernah dimiliki ayah mereka. Beberapa kali Logan menemukan Leo dengan mata memerah seolah habis menangis ketika berada di ruangan itu. Hal yang tidak sehat tentu saja, terus menerus menyimpan dendam atas kematian kedua orang tuanya. Tapi Logan paham akan kemarahan Leo, karena ia pun memiliki kemarahan yang sama. Bukan hanya itu, ia juga memiliki rasa bersalah. Kepada kedua orang tuanya dan kepada adiknya. Jika saja ia tidak menginap di rumah teman nya malam itu. Mungkin kedua orang tua mereka masih hidup. Mungkin Leo tidak akan menderita seperti ini. Mungkin semuanya akan berakhir berbeda bagi mereka berdua. Semakin banyak kemungkinan yang hanya membuatnya merasa tidak berdaya. Karenanya, sejak malam itu, Logan bertekat, apapun yang terjadi padanya, ia tidak peduli lagi. Selama Leo dalam keadaan aman. Ia akan melakukannya. “Jadi?” ulangnya ketika Leo mulai memejamkan matanya lagi. Adiknya itu mendengus kesal dan bangkit duduk. Percuma untuk berpikir dengan gangguan terus menerus dari Logan. “Tidak ada kerusakan pada S.O.U.L. Semua bekerja dengan semestinya. Bukan eror, bukan virus, artinya, S.O.U.L memang menemukan sebuah mutan baru,” jawab Leo. Logan menatap wajah adiknya beberapa saat sebelum kemudian memalingkan wajahnya. Sudah berkali-kalipun, ia tidak pernah bisa menatap wajah Leo yang rusak tanpa perasaan bersalah. “Setelah sekian lama tidak muncul mutan baru?” tanya Logan berusaha menutupi kegundahannya dengan menggaruk tengkuknya. Leo mengangguk, “Dan yang lebih membingungkan, tebak dimana lokasi beradanya mutan itu.” Logan mengerutkan keningnya kebingungan dengan pertanyaan adiknya. “Dimana memang?” tanyanya. “San Jose. Rumah lama kita,” jawab Leo. “Apa?!” seru Logan menoleh kembali ke arah adiknya. “Apa yang akan kau lakukan? Kita bisa mengirimkan pasukan untuk mencoba menangkapnya.” Leo bangkit dari duduknya dan mengancingkan kembali jas yang di pakainya. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke arah meja kerjanya. Menarik lacinya terbuka, meraih topeng putih dari dalamnya dan menempelkannya ke wajahnya. Begitu melekat sempurna, Leo mengeluarkan sebuah kotak hitam berukuran 30x30 cm dari dalam laci dan membukanya. Didalamnya, tegeletak sebuahh pistol. Jika kebanyakan Senapan Pemecah Partikel yang beredar di pasaran memiliki ukuran besar, senjata Leo berukuran kecil. Tidak lebih besar dari telapak tangan pria itu tapi memiliki kemampuan yang sama dengan yang berukuran besar. Satu-satunya senapan terkuat yang beredar saat ini dan mampu menghancurkan semua benda dengan susunan atom, mutan termasuk. Ia  menyelipkan benda itu ke pinggangnya sebelum kemudian menepuk lengan kakaknya. “Masih ada banyak waktu hingga besok. Bagaimana kalau kita bernostalgia, Kak?” “Maksudmu?” “Sudah lama kita tidak pulang. Sekalian kita jemput mutan terbaru kita.” ===== Note: Selamat ketemu lagi disini. Okeh... mari kita mulai dengan balada Leo dan Logan Dalton. Cerita ini akan maju mundur cantik dari 2028 dan 2046. Dan karena genrenya yang beda dari yang kebanyakan di innovel, wajar aja kalau agak bingung. Otornya aja yang nulis pusing kok. kebayang kalian yang baca. Semoga gak ikutan pusing. Sekali lagi dengan cerita macam ini, tetep harus keep an open mind ya. Dan silahkan komentar kalau ada yang kurang jelas atau ceritanya mulai memabokkan. Sejauh ini bagaimana? Seperti biasa visual aku nanti akan aku up di story sosmed ku. Yang penasaran boleh add fb: deef e Ig: dragonflyeternal xoxo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD