Pesan Bapak

1104 Words
Mayra memainkan ujung selimut dengan jemarinya. Resah, masih belum bisa memejamkan mata barang semenit pun. Peristiwa sehari ini belum bisa ia terima dengan ikhlas. Berkali-kali memandang jam dinding, memperhatikan jarum bergerak lambat. Mayra menutup wajah sendiri. Masih menyesali takdir yang tidak berpihak baik kepadanya. Ia merasa sangat dipermalukan oleh Dipo, lelaki yang mengaku siap menikahinya atas permintaan Fandi. Seharusnya ia sudah sah menyandang status sebagai istri dari pemuda yang ia kagumi, Dipo Yanuar. Dua bulan lalu, Hartanto mengunjungi kediaman Eryawan Afandi. Lelaki paruh baya itu menceritakan kesulitan yang ia alami selama setahun terakhir ini. Hartanto adalah sahabat almarhum papanya Fandi. Kedua keluarga sudah sangat akrab. Mendiang papa Fandi berpesan agar membantu setiap kesulitan Hartanto. Jadi, setiap kedatangannya selalu di sambut baik oleh Fandi. Hartanto terlilit hutang pada sejumlah rentenir. Sawah dan ladang sudah tergadaikan, termasuk rumah yang ia tempati bersama anak dan istri. Hartanto memberanikan diri meminjam sejumlah uang kepada Fandi. Dan Fandi sendiri mau membantu melunasi semua hutang dan membebaskan hutang padanya dengan satu syarat, agar Hartanto menyerahkan putri semata wayangnya untuk di nikahkan dengan Dipo, keponakan Fandi. Fandi sudah mengenal Mayra sebelumnya. Dari lima tahun yang lalu. Mayra adalah sosok gadis yang periang dan sabar. Ia yakin, bersama Mayra, Dipo bisa berubah menjadi lebih baik. Dipo suka menghambur-hamburkan uang tanpa mau bekerja. Padahal usianya sudah menginjak dua puluh lima. Tetapi tidak satupun yang bisa di pandang membanggakan di mata Fandi. Awalnya Dipo menolak perjodohan itu. Namun berubah pikiran setelah mengenal Mayra. Dipo tertarik dan bersedia menikahi Mayra. Pun sama dengan Dipo, Mayra diam-diam juga mengagumi Dipo. Segala sesuatu sudah di persiapkan. Tamu undangan sudah berdatangan. Bahkan penghulu sudah menunggu dan Mayra sudah duduk cantik di sebelah sang bapak. Sayangnya, Dipo yang ditungu-tunggu tidak muncul juga. Hingga harus diundur beberapa jam untuk menunggu kedatangan mempelai laki-laki itu. Nihil. Nyatanya Dipo tak pernah menampakkan diri. Fandi berusaha menghubungi siapa saja yang bisa di mintai informasi tentang keberadaan Dipo, tapi tak seorangpun yang tau. Bahkan kepamitannya untuk berangkat dari rumah Oma pun tidak diketahui dengan jelas. Terakhir, malam tadi Omanya mengizinkan Dipo keluar rumah untuk bertemu dengan teman-temannya untuk terakhir kali sebelum menikah. Hingga saat pagi menjelang, Dipo tak pernah kembali. Akad pun tetap dilaksanakan, Hartanto menjabat tangan Fandi sebagai ganti mempelai laki-laki. Akhirnya, Fandi lah yang menyandang status suami sah Mayra Azzalia. Memaki Dipo, sudah berkali-kali Mayra lakukan. Tentunya cuma di dalam hati. Apa yang bisa ia lakukan selain pasrah. Matanya kembali menatap jam dinding. "Kenapa malam ini lama sekali?" rutukku dalam hati. Sesekali mata menatap sosok lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Mayra bergidik, merasa ngeri. Sebab, lelaki yang kerap ia panggil Om Fandi itu kini menjadi suaminya. "Kenapa?" Tiba-tiba Fandi yang terlihat memejam itu berbicara. Mayra menoleh. Fandi pun sama. Mereka saling menatap sejenak. Mayra jadi teringat saat tadi Fandi memintanya untuk segera tidur. Ia malah salah mengartikan ajakan pria itu. Malu sendiri jadinya. "Kenapa belum tidur?" ulangnya, baru Mayra percaya kalau Fandi tidak sedang mengigau. "Eh, nggak pa-pa, Om," jawab Mayra gugup. Ia menarik selimut hingga menyisakan bagian kepala. "Nggak usah takut, May. Om nggak akan berbuat macam-macam." Fandi menoleh ke arah Mayra yang sedang mencermati ucapan Fandi. Mayra buru-buru mengalihkan pandangan, lurus ke depan, menatap langit-langit kamar. "Nggak takut, kok," ucap Mayra menentang ucapan Fandi. "Berarti berani dong, ya?" goda Fandi. "Apaan, sih, Om? Nggak jelas." Mayra merasa kesal dengan ucapan Fandi yang menurutnya menjurus ke hal-hal sensitif. Fandi tertawa lepas melihat kelakuan istrinya yang cemberut kemudian merancau entah apa yang dikeluhkan. "Jangan keras-keras ketawanya, Om. Nggak enak didengar bapak sama ibu." "Lucu kamu, May." Fandi masih saja melepas tawanya. "Om Fandi nggak bisa di bilangin." Mayra kembali cemberut. "Oke deh! Sekarang tidurlah. Besok, kita harus berangkat pagi-pagi sekali." "Kemana, Om?" "Bulan madu," jawab Fandi asal. "Om Fandi, ish!" "Pulang ke rumahlah, May. Kamu 'kan istrinya Om sekarang." "Pulang ke rumah Om Fandi?" "Iya, Mayra," jawab Fandi dengan suara sekeras mungkin. "Pelan-pelan, Om." "Apanya pelan-pelan? Om 'kan nggak ngapa-ngapain?" "Suaranya itu, loh!" "Ooow, kirain-" "Om Fandi mah, mikirnya ke arah situ terus." "Ke mana?" "Tau, ah!" Fandi kembali tertawa, kali ini ia tutup dengan guling supaya tawanya tidak terlepas seluruhnya. Seperti tadi, Mayra akan cemberut dibuatnya. "Mayra," tiba-tiba Fandi menatap Mayra dengan tatapan serius. "Ya, Om. Ada apa?" "Walaupun kamu istri sah Om, tetapi Om tidak akan berbuat macam-macam sama kamu. Jadi, jangan takut atau berpikiran Om akan melakukan tindakan bodoh." "Iya, Om. Tapi bapak-" "Om akan bicara dengan bapakmu bagaimana baiknya nanti. Om akan menceraikan kamu setelah keluargamu dan orang-orang di sini melupakan peristiwa kemarin. Tunggu dua atau tiga bulan lagi. Yang jelas sekarang, kita jalani dulu kehidupan kita masing-masing. Kita sama-sama sepakati tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing." "Iya, Om. Mayra nggak keberatan." "Tapi ingat, May!" "Iya ...." "Walaupun hubungan ini palsu alias bohong, aku tidak ingin keluarga kita tau hal yang sebenarnya. Terlebih Om punya nama. Jadi, kamu harus bisa menjaga sikap di depan keluarga dan relasi bisnis Om. Bagaimana?" "Siap, Om." "Ya sudah, tidurlah. Besok tidak perlu banyak membawa pakaian. Kapan-kapan kalau ada waktu senggang Om temani kamu belanja." "Iya, Om." Mayra hanya bisa mengiyakan setiap usulan Fandi. Terlebih semua usulan itu baik untuknya dan tidak merugikan pihaknya. *** POV Mayra Pagi hari, aku sudah selesai berbenah. Satu ransel pakaian yang kupersiapkan, sesuai anjuran Om Fandi. "May, bapak mau bicara, tuh!" Ibu berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan berdiri di sana, aku yang melamun tadi tak menyadari kedatangan ibu. "Iya, Bu." Aku mengikuti langkah ibu. Di ruang tamu, bapak sedang berbicara dengan Om Fandi. Sepertinya, mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Terlihat saat kedatanganku, bapak dan Om Fandi menghentikan perbincangannya. "Duduk, Nduk. Sana dekat suamimu." Aku menuruti perintah bapak, duduk di sebelah Om Fandi. "Begini, Nduk. Bapak tadi sudah berbicara dengan suamimu." Bapak mulai menjelaskan. "Soal apa, Pak?" tanyaku penasaran. "Soal kejelasan status kalian." "Maksud bapak?" tanyaku sangat penasaran. Ini adalah momen yang kutakutkan. Jangan-jangan bapak punya rencana sendiri. "Bapak sudah meminta pada Nak Fandi." Bapak memanggil Om Fandi dengan sebutan Nak. Padahal biasanya memanggil Pak Fandi. Ada apa ini? "Bapak menitipkan kamu padanya." "Maksud bapak?" Aku masih tak mengerti tetapi merasa ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai rencana. "Walaupun pernikahan kalian hanya kebetulan, kebetulan ada Nak Fandi yang mau menggantikan Dipo mengucapkan ijab qobul, tapi bapak menginginkan pernikahan kalian langgeng. Tetaplah menjadi istri Nak Fandi seumur hidupmu, karena bapak sangat yakin Nak Fandi bisa membimbing dan menjagamu dengan baik." "Pak-" "Bapak sudah sepuh, Nduk. Bapak ingin kamu bahagia dan mendapatkan suami yang bertanggung jawab. Dan bapak percaya Nak Fandi orangnya." Aku tidak bisa berbicara apa-apa. Pun sama dengan Om Fandi. Kami sama-sama saling pandang, tak tau harus berkata apa untuk menanggapi permintaan bapak. Next
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD