Chap 8. Tes DNA

1084 Words
“Murahan, p*****r,” umpat Aeron. “Kamu butuh pekerjaan ini, bukan? Bagaimana kalau aku memecatmu?” “Pecat saja. Aku akan keluar dari kantor ini dengan senang hati.” “Wah. Kamu meragukanku?” tanya Aeron. “Pria mana lagi yang memberikan pangkuannya untuk kamu duduki? Pria mana yang melihat tubuhmu? Pria mana yang menghamilimu? Pria mana yang sudah memberikan segalanya kepadamu?” Nata memalingkan wajahnya, lalu menyeka airmatanya buru-buru, sakit sekali mendengar pertanyaan itu dari pria yang ia cintai, perasaannya sangat sakit. Nata tahu ia yang sudah membuat Aeron membencinya, ia yang menanamkan kebencian itu di hati Aeron. Ia harus menerima nasibnya. “PRIA MANA?” tanya Aeron masih menggenggam kuat dagu Nata. “Kamu punya anak, ‘kan? Siapa yang menghamilimu? Anak siapa yang sedang bersamamu?” tanyanya lagi. “Lepaskan aku,” lirih Nata. “Tidak akan aku lepaskan, sebelum aku mendengar jawabanmu.” “Pria manapun yang menghamiliku, itu bukan urusanmu. Jadi, lepaskan aku, jangan terlihat seperti pria yang belum move on,” ujar Nata membuat Aeron membulatkan mata. “MURAHAN!” teriak Aeron lalu menghempaskan tubuh Nata hingga jatuh ke samping. Nata bangkit dari duduknya, ia tidak ingin terlihat lemah didepan Aeron. Aeron seperti ingin meremas mulut Nata, menyakitinya dan perlu melukainya, namun perasaan sayang dan cintanya menghalanginya, seberapa besarpun kebencian Aeron, itu tidak membuat Aeron main tangan. “Kamu memang murahan, kamu wanita yang tidak akan pernah bisa bahagia, seberapa besar pun orang mencintai kamu, kamu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang kamu inginkan,” tutur Aeron membuat Nata mengangguk. “Aku hidup didunia ini memang bukan untuk dicintai, yang penting bagi aku adalah anakku hidup dengan baik,” jawab Nata membuat Aeron terdiam. “Jangan meremehkanku, aku memang bukan siapa-siapa, aku miskin, tapi aku tidak hidup untuk membebani seseorang.” “Mudah sekali kamu mengatakan itu,” ucap Aeron. “Setelah meninggalkanku dan selingkuh, kamu masih mau hidup dengan bebas tanpa beban? Begitu? Kamu tidak membebani seseorang namun bisa menjual diri, begitu? Bahkan mungkin kamu bisa menjual anakmu demi uang.” Plak. Tamparan yang spontan mendarat di pipi Aeron, membuat Nata menatapnya penuh dengan emosi, ia tidak masalah jika diperlakukan tak baik, tapi ia tidak terima jika ia dikatai menjual diri. Rasanya seperti satu peluru masuk sampai ke jantungnya. “Jangan pernah mengatakan sesuatu seperti itu. Kamu tidak tahu apa yang aku lakukan diluar sana. Kamu tidak berhak mengatakan itu apalagi membawa anakku dalam hal ini. Sekali lagi kamu katakan itu, aku tidak akan pernah menerimanya.” Nata lalu melangkah pergi meninggalkan Aeron, Nata melihat tangan kanannya yang menampar Aeron tadi. Nata begitu berani melakukannya. “p*****r!” teriak Aeron. Nata menitihkan airmatanya, lalu menyekanya. Ia kembali bekerja dengan senyuman diwajahnya, walau sulit ia melakukan itu sekarang. Nata hendak duduk di kursi kerjanya, namun salah satu seniornya menubruknya dengan segelas kopi ditangannya, membuat dokumen diatas meja kena tumpahan kopi. “Ah dokumenku,” ucap Nata. “Kamu sih kenapa nggak lihat lihat sih jalannya.” “Aku udah mau duduk loh, kenapa kamu menubrukku?” “Mana aku tahu, aku kan nggak sengaja. Kerjain lagi ya.” Tawa mengejek terdengar. Nata tahu semua ini kesengajaan. Karena tak ada yang suka kepadanya. Nata berusaha tenang, ia tidak mau tersulut emosi, karena di sini ia bekerja, jika ia melawan seniornya, ia bisa kena pecat bahkan gajinya bisa dipotong, ia bersusah payah untuk menjaga perasaan para seniornya, agar ia bisa mendapatkan gaji full. *** Malam menunjukkan pukul 7, Aeron tengah di ruangannya, seraya mengelus puncak kepalanya, memutar kursi kebesarannya dan melihat tumpukan dokumen diatas meja besar didepannya. Aeron terus membayangkan raut wajah Nata ketika Nata menamparnya. Aeron tak terima mendapatkan tamparan Nata, namun tak tega dengan ekspresi wajah Nata. Semuanya serba salah. Sementara itu, Jeri datang, ia langsung menaiki tangga. Dan, bertemu Fifian yang hendak masuk lift. “Jeri?” tanya Fifian. “Iya, Bu,” ucap Jeri. “Kenapa kamu buru-buru? Ada apa? Ada masalah?” “Tidak ada masalah apa pun, Bu,” jawab Jeri meremas amplop coklat yang besar ditangannya. “Itu apa?” “Itu surat apa? Jangan bilang itu surat cerai, ya,” kata Fifian. “Bukan, ini bukan surat cerai, Bu,” jawab Jeri masih meremas kuat dokumen itu. “Jer, kamu jangan bohong, ya,” kata Fifian. “Bukan, Bu, lihat ini dari rumah sakit.” Jeri tidak memperlihatkan sepenuhnya dan masih menarik ulur dokumen yang ia genggam. “Dari rumah sakit? Apa penyakit Aeron kambuh? Atau makin parah?” Fifian begitu penasaran. “Saya belum membukanya, akan saya berikan ke Pak Bos.” “Baiklah. Yang penting itu bukan surat cerai, pergi lah.” Fifian melanjutkan. Baru saja Jeri melangkah. “Eh tunggu.” Jeri membulatkan mata lalu kembali berbalik. “Iya, Bu?” “Bos kamu lagi di ruang kerjanya.” “Baik, Bu,” angguk Jeri. “Pergi lah.” Seolah napas Jeri lega setelah mendengar Fifian menyuruhnya pergi. Jeri langsung pergi, masih dengan ia remas ujung dokumen itu, menjaga jika Fifian merebutnya. Jeri langsung masuk ke ruang kerja bosnya, sesekali melihat ke arah belakangnya, semoga saja Fifian tidak menyadarinya. Jeri pun mengelus dadanya. “Jer, ada apa denganmu? Kamu masuk tanpa mengetuk.” “Ini darurat, Bos,” kata Jeri menghampirinya. “Darurat apa? Sampai kamu masuk tanpa mengetuk.” “Hampir saja Bu Fifian melihat dokumen ini,” ucap Jeri. “Memangnya itu dokumen apa? Kenapa kamu takut jika Fifian melihatnya?” tanya Aeron menautkan alis. “Sebelumnya saya minta maaf, Bos, karena melakukan ini tanpa sepengetahuan Bos.” “Ada apa sih?” “Pak Bos harus lihat ini, Anda akan terkejut,” kata Jeri memberikan dokumen ini kepada Aeron. “Jika Anda mau marah setelah melihatnya silahkan. Saya siap dipecat.” Aeron menautkan alis dan melihat isi dokumen yang sudah kusut itu. Aeron membulatkan mata melihat apa yang tertulis di atas kertas putih itu, ia melihat lembar keduanya. Ternyata yang Jeri bawa adalah tes DNA antara dirinya dengan Ken, 99% kecocokan dalam darah. Sungguh, ini mengejutkan. Aeron bangkit dari duduknya dan meremas kuat ujung dokumen itu, Aeron melihat Jeri yang saat ini menundukkan kepala. “Tuan, maafkan saya, saya melakukan ini setelah mendengar bahwa darah yang dimiliki Ken adalah Rh-negatif, persis dengan Anda. Saya pun melakukan tes DNA dengan darah Anda di rumah sakit, saya juga meminta izin kepada dokter Anda untuk mengambil sampel darah Anda. Tolong maafkan saya,” ucap Jeri menundukkan kepala siap dengan konsekuensinya. “Jadi, Ken adalah anakku?” tanya Aeron. “Seperti yang tertulis di dokumen itu,” jawab Jeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD