“Ma, tadi Ken main sama Paman Baik,” seru Ken menceritakan pertemuannya dengan Aeron.
“Benarkah? Paman Baik itu siapa? Bukankah Paman baik itu hanya Paman Petir?”
“Hehe. Ada lagi yang baik.”
“Siapa?”
“Nanti Ken kenalkan mama sama paman baik itu,” seru Ken.
“Ya sudah. Sekarang Ken makan dulu, ya. Mama suapin, habis itu minum obat dan mulai tidur,” kata Nata.
Ken mengangguk.
Nata kasihan pada putranya. Karena putranya itu harus merasakan sakit seperti ini, seharusnya diusia saat ini Ken bisa menikmati waktu bermain, menikmati Pelajaran sekolah, menikmati ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok atau perjalanan bersama teman-temannya. Namun, di usia Ken harus merasakan sakit yang tidak semua orang merasakannya. Sebagai Ibu, Nata merasa ia gagal membahagiakan putranya.
Sejak usia awal lahir sampai saat ini, Ken terus berbaring diatas ranjang pasien, ia hanya sebentar melihat dunia luar, lalu kembali dirawat di rumah sakit.
Tak ada seorang Ibu yang menginginkan hal itu. Namun takdir sudah berkata seperti itu.
Nata juga bersyukur jika ada orang baik didekat putranya, seperti yang dikatakan Ken barusan.
“Ken, maafkan mama, ya,” ucap Nata.
“Mama minta maaf sama Ken? Buat apa? Yang ada Ken yang harusnya minta maaf sama Mama.”
Nata menggeleng. “Kamu tidak salah apa-apa, Nak. Mama bersyukur sekali memiliki Ken di dunia ini.”
Ken tersenyum lalu memeluk sang Mama, Nata menitihkan airmata lalu cepat-cepat menyekanya, ia tidak mau membenani Ken.
“Ma, kalau Ken di operasi, Ken akan baik-baik saja, bukan?” tanya Ken.
“Tentu saja. Ken akan baik-baik saja dan Ken bisa sekolah.”
“Benarkah?”
Nata mengangguk.
“Yey, semoga cepat dapat pendonor ya, Ma. Supaya Ken bisa sembuh dan jagain Mama kalau Ken dewasa nanti.”
***
Aeron baru keluar dari ruang pemeriksaan dokter, ia juga sedang memeriksa kondisinya karena selama 6 tahun ini ia kurang tidur, dan tidurnya tidak pernah nyenyak. Ia insomnia berat, jika tertidur sejenak, ia akan mimpi buruk dan terbangun tanpa tidur lagi.
Aeron juga rajin check up di rumah sakit ini, karena dengan obat dokter yang ia konsumsi, bisa membuatnya lebih tenang.
Aeron bertemu Petir yang baru keluar dari lift.
“Petir?”
“Hei, Bro.” Petir memeluk Aeron. “Apa kabar kamu? Kamu masih checkup?”
“Iya.” Aeron mengangguk. “Kalau kamu? Kenapa kamu di sini? Kamu sakit?”
“Tidak. Hanya anak kenalan yang sakit,” jawab Petir. “Aku mau menemuinya.”
“Benarkah? Ya sudah. Kamu bisa melanjutkan perjalanan.”
“Bagaimana kabar Kakek?” tanya Petir.
“Kakek baik-baik saja, Kakek lebih baik dari sebelumnya. Dan, kondisinya juga sudah mulai pulih, walau sudah kakek-kakek tapi tetap jiwa mudanya masih terpancar,” seru Aeron.
“Benarkah? Kakek memang tidak pernah berubah.”
“Paman dan Bibi bagaimana kabarnya?”
“Kalau Papi baik-baik saja, kalau Mami seperti biasa kondisinya tetap sama, diabetesnya semakin parah. Dan, sekarang harus rajin checkup dan juga mulai cuci darah.” Petir menjelaskan. “Sampaikan salamku pada Kakek, ya. Beritahu kakek, aku akan membawa calon istriku menemuinya.”
“Iya. Akan aku sampaikan. Kalau begitu lanjutkan perjalananmu.”
Petir mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan Aeron. Petir berjalan melalui Lorong dan akhirnya bertemu dengan kamar perawatan Ken.
Petir adalah sepupunya, namun Petir tidak ada hubungan darah dengan keluarga Austin, hanya saja Petir di asuh dari kecil oleh Paman dan bibinya, karena bibinya mandul. Jadi, mereka memilih jalan untuk mengadopsi Petir di panti asuhan dan membuat Petir menjadi cucu pertama keluarga Austin.
Petir lah yang selama ini menjadi lawannya, lawan untuk mendapatkan kekayaan itu. Hanya saja pendukung Aeron lebih hebat, dibelakangnya ada pemilik sesungguhnya, sementara Petir hanya memiliki ibu dan ayahnya yang menjadi pendukungnya.
Walau mereka tidak pernah terang-terangan bersaing, namun keduanya selalu bersaing diam-diam. Apa pun yang sedang diinginkan Aeron, akan di rebut oleh Petir, begitupun sebaliknya.
***
“Bagaimana kondisi Anda, Bos?” tanya Jeri membuka pintu mobil untuk bosnya.
“Besok aku harus konsultasi lagi,” jawab Aeron.
“Baik.”
“Apalagi yang terjadi pada wanita itu?”
“Siapa, Bos? Bu Nata? Mama Ken?”
“Ya. Siapa lagi wanita yang sering aku tanyakan.”
“Oh maaf, Bos, saya sudah menyelidikinya. Kondisi Ken saat ini sedang tidak baik-baik saja, seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, satu-satunya harapan Ken saat ini mendapatkan pendonor yang tepat, jika tidak mendapatkan dalam waktu yang sudah dokter berikan, kemungkinan akan bahaya bagi nyawa Ken. Dan, terkendala biaya juga, Mama Ken bekerja banting tulang, pulang dari kantor menemani Ken dulu, lalu kembali bekerja di kafe dan menjadi tukang cuci juga.” Jeri menjelaskan.
“Terus?”
“Jika Mama Ken tidak membayar biaya perawatan, terpaksa Ken harus keluar dari rumah sakit. Dan, jika Ken keluar dari rumah sakit, kondisinya tidak akan pernah bisa baik-baik saja.” Jeri melanjutkan.
Ternyata Nasib Nata begitu memperihatinkan. Malang sekali nasibnya.
“Apa yang terjadi pada keluarganya?” tanya Aeron.
“Kedua orangtuanya meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan, Ken adalah anak dari hasil hubungan gelap Mama Ken dengan pria lain, lalu kakaknya juga membawa kabur semua harta yang ditinggalkan orangtuanya untuk Mama Ken.”
“Pria lain? Jadi, demi bertahan hidup dia memiliki anak dari pria lain? Menjadi simpanan? Murahan sekali,” umpat Aeron.
***
Nata berjalan perlahan ketika melihat punggung seorang pria tengah berdiri memunggunginya, Nata menunduk karena ada ketakutan dan juga ada rasa rindu yang mengganggu pikirannya, ia ingin memeluk pria itu dari belakang. Namun, ia tidak bisa melakukan itu lagi.
Nata berdeham, lalu tangannya ditarik oleh Aeron, menyandarkan Nata ke pagar pembatas.
“Kenapa kamu memilih Perusahaan ini? Kenapa?” tanya Aeron.
“Lepaskan aku. Aku tahu kamu membenciku, tapi jangan seperti ini.”
“Kenapa kamu tampakkan wajahmu didepanku?”
“Aku bekerja di sini karena nggak tahu kamu kerja di sini.”
“BOHONG!” bentak Aeron meremas dagu Nata.
“Lepaskan aku.”
“Aku akan membunuhmu.” Aeron mengancam.
“Ya. Bunuh saja aku jika itu akan membuatmu lebih tenang. Aku nggak apa-apa kalau kamu bunuh.” Nata pasrah pada apa yang terjadi saat ini. Walau didalam pikirannya ia hanya memikirkan bagaimana kesembuhan Ken. Bagaimana Ken jika tanpa dirinya.