“Ini gang rumah Bu Nata, Bos,” kata Jeri yang saat ini duduk dikursi depan.
“Apa? Ini gang rumahnya? Bukankah di sini kita menemukan anak kecil bernama Ken itu? Dan, gang tempatnya tinggal berhadapan dengan kompleks tempat tinggalku.” Semuanya terasa kebetulan.
“Dan, anak kecil bernama Ken itu adalah putra kandung Bu Nata.”
“Apa?”
“Iya. Anak kecil yang saya katakan mirip dengan Bos.”
“Apa ini kebetulan? Tapi, tidak mungkin.” Sekuat tenaga Aeron membuang jauh pikirannya.
“Boleh saya bertanya, Bos? Kenapa bos penasaran pada Bu Nata?”
“Kamu tidak perlu mengetahuinya.”
“Jika bos memiliki hubungan masa lalu dengan Bu Nata, bukankah Ken bisa saja anak Anda?” tanya Jeri.
Aeron tidak membantah hal itu, kemungkinan saja apa yang Jeri katakan benar. Tapi, itu akan sangat mengecewakan jika malah terbukti Ken bukan anaknya. Aeron juga merasakan ada kedekatan antara dirinya dengan Ken, namun ia tidak bisa menjelaskan kedekatan seperti apa yang ia rasakan.
“Tuan mau saya lakukan tes DNA? Kebetulan Ken masih di rumah sakit.”
“Tidak perlu. Jangan ganggu hidup anak itu lagi. Bahay ajika Fifian tahu, Fifian bisa membuat anak itu terluka.”
“Baik.”
“Antarkan saya pulang,” titah Aeron. “Tapi, sakit apa anak kecil itu?”
“Ken sakit bawaan lahir, Tuan. Ada kebocoran jantung dan sulit dalam pernapasan.”
Mobil mewah milik Aeron masuk ke pelataran parkir rumahnya. Aeron keluar dari mobil dan disambut hangat oleh sang Kakek yang sudah sepuh.
Kakek yang membawanya pulang, kakek yang memberikan kehidupan mewah kepadanya.
Aeron adalah cucu Tunggal dari keluarga Austin, banyak yang tidak suka keberadaannya, satu-satunya yang menyukainya dan sayang kepadanya adalah sang Kakek—Zeus Austin—pria tua dengan kekayaan yang tiada habisnya.
Dulu, ketika usia Aeron masih 5 tahun, Aeron dibuang oleh keluarganya sendiri karena dianggap sebagai penghalang memiliki semuanya. Bahkan membuangnya jauh dari Jakarta, namun tuhan menakdirkannya bertemu dengan kakeknya lagi.
Aeron adalah yatim piatu, setelah kehilangan ibu dan ayahnya, bibi dan pamannya berusaha membuangnya agar ia tidak mendapatkan satu sen pun dari keluarga Austin, namun tetap saja takdir tak bisa dihalau, sang Kakek masih terus mencari Aeron dan akhirnya mereka bertemu kembali. Semua milik Ibu dan ayah Aeron, menjadi milik Aeron saat ini.
“Aeron, kamu sudah bertemu dengan Fifian?” tanya Zeus menatap cucunya dan jalan berdampingan dengannya masuk ke dalam rumah.
“Sudah, Kek, dia sudah ke kantor.”
“Kamu berikan uang kepadanya?”
“Iya, Kek,” jawab Zeus.
“Kenapa selalu saja kamu berikan uang? Istrimu itu akan memanfaatkanmu. Kakek harap kamu menceraikannya,” kata Zeus duduk dikursi kebesarannya. “Kakek mengira menikah dengan Fifian, kamu akan mendapatkan ahli waris, tapi sudah dua tahun menikah, dia tidak kunjung memberikan anak untukmu, malah dia menjadi liar.”
“Aku memang hendak menceraikan Fifian,” ucap Aeron.
“Cari istri yang lebih baik, Aeron,” ucap Zeus.
Aeron tak memiliki niat sedikit pun untuk memiliki istri, karena ia tidak percaya pada cinta, ia sudah memberikan seluruh cintanya kepada Nata, menggantungkan hidupnya pada Nata, namun alih-alih hidup bersama, Nata malah membuatnya kehilangan kepercayaan.
“Kamu masih memikirkan gadis itu?” tanya Zeus.
“Aku tidak mau membahasnya, Kek,” jawab Aeron.
Tak lama kemudian, Fifian datang, ia membawa banyak totebag dan paperbag ditangannya, menandakan ia habis belanja besar, Fifian menoleh sesaat melihat Zeus yang memang selalu menegurnya keras agar lebih memperhatikan Aeron di rumah, bukan malah menghambur-hamburkan uang.
“Masuk kamu,” titah Aeron karena Aeron tahu kalau sang Kakek akan memarahi Fifian lagi.
Fifian mengangguk lalu melangkah melintasi Zeus yang masih duduk.
“Lihat dia terus menghambur-hamburkan uang,” geleng Zeus.
“Biarkan saja, Kek,” jawab Aeron.
“Kamu tidak mau menceraikan Fifian?”
“Aku mau istirahat, Kek, malam ini aku ada rapat,” kata Aeron bangkit dari duduknya. “kakek juga istirahat.”
Zeus menggeleng karena sikap cucu sematawayangnya tersebut.
***
Nata membelai rambut Ken seraya menyuapinya, Nata tersenyum walau menyimpan rasa sedih yang begitu dalam, hanya dia yang tahu betapa hancurnya hatinya saat ini, Ken membutuhkan pendonor, namun sampai saat ini rumah sakit belum mendapatkan pendonor yang cocok untuk Ken. Dan, satu-satunya cara yang dapat ia tempuh adalah menemui Aeron dan meminta Aeron untuk mendonorkan darahnya.
Nata menunduk sesaat karena airmatanya hampir saja luruh, bahaya jika Ken melihatnya dan menyadarinya.
“Ma, kalau Ken tidak ada, Mama harus bahagia, ya. Mama jangan sedih terus, Ken tidak akan pernah tenang jika Mama terus menangis,” lirih Ken menatap sang Mama.
“Ken kok ngomong gitu? Mama jadi sedih kalau Ken ngomong kayak gitu. Perasaan Mama sakit, Nak,” lirih Nata.
“Mama jangan terlalu kerja keras, Mama harus sehat dan Mama harus kuat.”
“Ken, Mama minta sama Ken satu hal, untuk menjadi anak yang baik dan jangan pernah mengatakan hal yang akan membuat Mama sedih, Ken kan tahu Mama nggak bisa hidup tanpa Ken, jadi Ken harus sembuh dan Ken harus kuat agar bisa sembuh.”
Ken menatap sang Mama yang saat ini memalingkan wajah dan menyeka airmata, Ken tahu betapa hancurnya hati Nata ketika mendengar tentang penyakitnya.
“Udah ahh, ayo makan, ken jangan bicara sembarang.” Nata tersenyum menatap putranya, karena Nata tahu yang membuat Ken bisa kuat adalah senyuman darinya.
“Ma, memangnya Mama belum ketemu sama Papa?” tanya Ken.
“Ngomong apa sih, Nak, kenapa Mama mau ketemu sama Papa?”
“Ken dengar kalau Ken akan sembuh kalau Papa mendonorkan darahnya untuk Ken.”
“Ken, kamu masih kecil, Nak, banyak hal yang nggak seharusnya Ken ketahui, Ken harus kuat aja dan sehat terus, itu akan membuat Mama tenang, Nak.”
Ken mengangguk perlahan, ia harus berhenti bicara agar mamanya bisa tenang dan tidak menangis diam-diam.
***
Ken keluar dari kamar perawatannya, ia membagi lollipop ke semua perawat yang berjaga, Ken sudah melepas inpusnya, dan ia bisa berjalan-jalan sekitar rumah sakit, Ken melangkahkan kaki menuju jendela kaca yang besar di depannya, dan melihat pemandangan luar yang terlihat seperti biasanya.
Rumah sakit juga terlihat ramai, artinya banyak yang sakit.
Ken hendak kembali ke kamarnya, namun ia melihat pria dewasa yang beberapa hari yang lalu menolongnya.
“Paman,” sapa Ken.
Aeron berbalik dan melihat Ken mendongak menatapnya.
“Eh kamu pria kecil,” ucap Aeron mencubit kecil hidung mancung Ken.
“Paman lagi apa di sini?”
“Paman mau periksa.”
“Paman sakit?”
“Tidak. Paman tidak sakit,” jawab Aeron. “Tapi tempo hari, kamu memanggil saya dengan sebutan Papa.”
“Maafkan Ken, Paman, karena Ken sudah memanggil Paman dengan sebutan itu. Soalnya Paman mirip dengan Ken,” kekeh Ken. “Paman, mau bermain dengan Ken?”
“Memangnya Mama kamu mana?”
“Mama Ken sedang bekerja, cari uang buat Ken, buat pengobatan Ken.”
Aeron mengelus leher belakangnya dan mengangguk, lalu menggendong Ken, harusnya ia menemui dokter, namun Aeron akan mengutamakan Ken dulu.