“Aku mencintaimu,” ucap Aeron menatap senduh Nata yang saat ini tersenyum mengangguk.
“Aku juga cinta sama kamu, Beb,” jawab Nata.
“Jangan pernah tingalkan aku, aku janji akan membuat kamu bahagia. Sekarang aku mungkin pria yang tidak berguna dan tak bisa memberikanmu kekayaan. Tapi, aku janji, aku pasti akan memberikan yang terbaik untuk kamu dan aku akan terus berusaha. Aku tak punya siapa pun selain kamu,” tutur Aeron mengecup telapak tangan Nata.
“Iya, Beb, aku pasti tak akan pernah meninggalkanmu. Jangan dengarkan kata Ibu dan Bapak, mereka tak tahu apa-apa tentang kita,” ucap Nata tersenyum. “Kamu jangan selalu membahas perpisahan, aku tidak mungkin mengkhianati cinta kita.”
Setelah berjanji saat itu, Nata malah ingkar, dan pertemuan saat ini membawa bekas yang amat sakit dihati Aeron.
“Ron?”
“Ada apa? Kamu mengenal saya?” tanya Aeron menatap Nata penuh benci, berusaha tak goyah.
“Kamu CEO di Perusahaan ini? Kok bisa?”
“Kenapa? Kamu berpikir saya tidak bisa? Kamu mengira saya adalah pria yang tidak berguna dan tidak punya uang? Dengan matamu saat ini, kamu melihat apa yang berubah, bukan? Saya bukan Aeron yang dulu. Jadi, katakan kenapa kamu di sini? Perusahaan tidak membutuhkan orang sepertimu.”
“Aeron, syukurlah. Kita bertemu, ada yang mau aku katakan.”
“Kamu bicara yang sopan, lihat dengan siapa kamu berhadapan saat ini.”
“Maaf,” lirih Nata. “Tapi ini penting.”
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan Aeron terbuka.
“Sayang,” ucap seorang wanita dengan tubuh yang indah, wajah yang cantik, rambut berwarna coklat dan lensa mata yang warnanya mecing dengan warna rambut saat ini.”
Nata yang tadinya mau membicarakan tentang Ken langsung menghentikan niatnya, ia abaikan semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya, mengapa Aeron bisa menjadi CEO. Apa yang terjadi pada Aeron? Apa yang dilakukan Aeron selama mereka berpisah, dan mengapa ia mendapatkan kehidupan ini? Semua itu berkecamuk didalam pikirannya.
Saat ini ia lebih fokus menatap wanita yang datang dan mengecup pipi Aeron, sementara itu tangan Aeron merangkulnya. Apakah kehidupan mewah yang saat ini dimiliki Aeron ada hubungannya dengan wanita didepannya saat ini?
“Sayang, dia siapa?” tanyanya.
“Dia karyawan tidak penting di sini,” jawab Aeron membuat Nata menunduk.
“Kenapa dia di sini? Apa dia membuat masalah?”
“Tidak, Sayang. Dia hanya debu di sini. Pergi kamu dari sini.”
Nata mengangguk dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kerja Aeron. Nata melihat kebahagiaan yang terpancar, Aeron terlihat bahagia dan wanita itu juga terlihat glamour.
Nata menyeka airmatanya.
“Eh, Bu Nata, apa sudah dibawa ke ruangan CEO?” tanya Jeri yang hendak masuk ke ruang kerja bosnya.
“Sudah, Pak Jer, beliau ada tamu seorang wanita.”
“Oh gadis itu? Dia adalah istri dari bos,” jawab Jeri.
“Istri? Sejak kapan Aeron punya istri? Eh maksud saya, Pak Bos sudah menikah? Sejak kapan?” tanya Nata meralat perkataannya cepat.
“Sekitar dua tahun yang lalu,” jawab Jeri. “Ada apa ya, Mama Ken?”
“Eh tidak, Pak Jer, maaf jika pertanyaan saya lancang.”
Jeri mengangguk. “Terima kasih ya, karena sudah mau membantu saya, dokumen itu cukup penting, dan kalau Mama Ken sudah melihat isinya tolong jangan katakan kepada siapa pun, ya. Ini rahasia, saya percaya pada Mama Ken.”
“Iya, Pak Jer, saya bisa pegang rahasia kok.”
“Ya sudah. Mama Ken bisa kembali bekerja, saya juga tak akan mengganggu bos di dalam, karena beliau kedatangan istri,” kata Jeri lalu melangkah pergi meninggalkan Nata.
Nata lalu kembali bekerja.
***
“Lepaskan aku,” kata Aeron melepaskan pelukan istrinya—Fifian.
“Tadi kamu menyambutku, Aeron, kenapa sekarang malah menyuruhku melepas pelukanku?” tanya Fifian.
“Kamu kemari mau minta uang kan? Akan saya transfer, jadi kamu pergi lah. Jangan menggangguku.”
“Sampai kapan kamu akan seperti ini padaku, Aeron? Kita harus cepat punya anak.” Fifian menatap Aeron.
“Kamu ingin cepat punya anak? Karena kamu mau menerima semua warisan dari Kakek? Begitu?”
“Kamu ngomong apa sih, aku kan mengatakan ini karena Kakek juga yang mendesak kita. Kamu kayak nggak tahu kakek saja,” geleng Fifian.
“Jika anak yang kamu kandung jadi ahli waris Kakek, kamu pasti akan sangat bahagia karena anakmu akan memberikan segalanya kepadamu dan semua harta Kakek akan kalian nikmati. Aku tahu akal busukmu,” tutur Aeron membuat Fifian mengepal tangan kanannya.
“Pernikahan kita kenapa seperti ini sih? Kamu tidak pernah menyentuhku, kamu tidak pernah sayang kepadaku. Kamu pulang ke rumah juga kayak tidak mengenalku. Apa kamu berpikir aku bisa tahan seperti ini terus sama kamu? Aku juga punya hati, Aeron. Jangan mengira aku tidak bisa marah dan tidak bisa meninggalkanmu.”
Aeron menyeringai, dan berkata, “Kamu pikir aku takut kamu tinggalkan? Silahkan. Itu lah yang aku inginkan dari dulu.”
“Aeron, kamu benar-benar tidak menginginkanku? Apa karena wanita dari masa lalu mu itu?”
“Cukup. Jangan sebut wanita itu.”
“Kamu membencinya, tapi kamu tidak bisa membuka hatimu untuk orang lain.”
“Karena aku sudah tidak percaya dengan mulut manis seorang wanita.”
“Aeron, aku berbeda.”
“Berbeda?” Aeron beranjak dari duduknya dan menghampiri Fifian, lalu menggenggam kuat dagu Fifian. “Aku sudah katakan padamu, nikmati hubunganmu dengan priamu itu dan jangan menggangguku. Sebelum aku bongkar ke Kakek dan kamu bisa di usir dari keluarga Austin.” Aeron menghempaskan wajah Fifian.
“Jahat kamu.”
“Nikmati hubunganmu, nikmati uang yang aku berikan, dan jangan menuntut apa pun dariku.” Aeron melanjutkan. “Pergi lah. Aku akan berikan uang kepadamu, jadi belanja sepuasmu dan belikan sesuatu untuk kekasihmu.”
Fifian kesal dan melangkah keluar dari ruang kerja suaminya. Fifian menghentak kakinya, beberapa karyawan melihat ke arahnya, ia pun segera memperbaiki raut wajahnya, lalu pergi menuju lift.
Perasaan Fifian selalu saja diinjak oleh Aeron, semua ini karena wanita masa lalu suaminya.
Aeron duduk di sofa, lalu mengelus puncak kepalanya. Setelah 6 tahun akhirnya ia bertemu dengan Nata lagi. Apa yang akan ia lakukan pada Nata? Pada wanita yang memenuhi relung hatinya, namun kebencian hidup berdampingan menjadi koin yang sama dengan sisi yang berbeda.