Chap 4. Pertemuan

1241 Words
“Maafkan Mama, Nak, kamu sudah banyak menderita, semua ini karena kesalahan Mama. Mama yang memisahkanmu dari Papa kandungmu,” lirih Nata menyeka airmatanya, memandang wajah putranya yang saat ini sudah tertidur. “Mama tahu, Ken selalu ingin bertanya tentang papa. Tapi, Ken tidak tega menanyakan itu pada Mama, ‘kan? Tapi, Ken, Mama janji nanti Mama akan pertemukan Ken dengan Papa. Karena bagaimana pun juga Ken butuh darah dari Papa.” “Ini tidak bisa di tunda lagi, Nat, Ken butuh darah. Ken harus operasi. Kamu tak boleh egois hanya memikirkan dirimu sendiri. Kalau Ken kenapa-kenapa, kamu hanya akan merasa sesal tak bertepi,” ucap Ola baru datang. “Kamu tahu darimana?” “Aku tanya ke perawat. Kamu tidak boleh menunda lagi. Jangan nanti-nanti. Setiap waktu bagi Ken itu berarti, jangan sia-siakan itu, Nat.” Ola melanjutkan. “Apa yang akan Aeron katakan jika aku menemuinya dan membawa Ken di hadapannya? Dia pasti tidak percaya padaku,” lirih Nata masih memandang Ken. “Nat, apa pun yang terjadi, mau Aeron percaya atau tidak, kamu harus tetap menemuinya. Kamu tahu sendiri darah yang dimiliki Ken itu langka, dan harapan Ken hidup hanya ada pada Aeron,” tutur Ola mencoba menyadarkan Nata. Nata menunduk, ia menyeka airmatanya lagi, dunia seolah menghancurkan hatinya perlahan, ia tidak memiliki siapa pun selain Ken, hanya Ken yang dapat menghiasi setiap harinya, jika Ken kehilangan kesempatan hidup hanya karena ia egois, Nata pasti tak akan bisa hidup lagi. “Nat, jawab aku,” kata Ola. Nata menoleh, dan mengangguk. Nata bangkit dari duduknya dan mengecup puncak kepala putranya. Beberapa saat kemudian, dokter datang dan langsung memeriksa kondisi Ken. “Kita tidak bisa menunda operasi lagi, setiap waktu yang dihabiskan bisa membuat nyawa Pasien Ken menjadi taruhannya.” Dokter menatap Nata yang saat ini mengangguk. “Tapi, Dok, apakah darah yang dimiliki Ken benar-benar langka?” “Iya. Langka sekali, jadi ada baiknya ayah biologis yang mendonorkan.” “Baik, Dok,” jawab Nata dengan senyum ketir. “Kalau begitu saya permisi.” Nata harus menemui Aeron, apa pun yang terjadi. “Kamu dengar sendiri kan kata dokter? Jangan menunda lagi, Nat.” Nata mengangguk. “Titip Ken, ya,” ucap Nata lalu melangkah pergi meninggalkan kamar perawatan. Nata seolah tersesat, kehilangan arah, jalan tanpa tujuan, dan airmata terus mengalir. Ia tidak bisa menemui Aeron, ia takut. *** Pagi itu, kondisi Ken sudah membaik. Ia harus dirawat untuk sementara waktu, kondisinya masih lemah, ia masih membutuhkan pendonor. Nata juga menunda untuk menemui Aeron. Seolah Tuhan melarangnya menemui Aeron, karena itu Ken akhirnya membaik, walau kondisinya sewaktu waktu bisa kambuh dan bisa lebih fatal. Nata juga masih harus mencari tahu tempat tinggal Aeron, ia belum menemukan petunjuk apa pun, Aeron seolah di telan bumi. Tak ada kabar darinya. Satu-satunya harapan Ken hidup adalah ayah biologisnya. “Kamu terlambat terus. Apa kamu serius kerja? Atau, kamu kerja di sini hanya mau main-main? Begitu?” Nata di marahi oleh Jejes—Manager Keuangan—di kantor. Semua orang juga menganggap itu pertunjukkan bagus. “Kamu masih baru di kantor ini tapi sudah belagu. Gaji kamu saya potong.” Jejes melanjutkan. “Maafkan saya, Bu, anak saya sakit.” “Sakit? Kalau sakit kenapa kamu bekerja? Kamu harusnya di rumah saja jaga anakmu, jangan membawa anak saat kamu butuh alasan.” “Tapi—” “Sudahlah. Diam kamu. Jangan melawan saya.” “Baik, Bu,” jawab Nata. “Kembali bekerja, jika besok kamu terlambat lagi, saya akan langsung pecat kamu.” Nata mengangguk lalu duduk di kursi kerjanya, baru saja ia duduk, beberapa karyawan lain langsung membawa setumpuk dokumen dan menaruhnya dengan kasar diatas meja kerja Nata. “Kamu foto copy semua ini, masing-masing 10 rangkap.” “Kamu kerjakan laporan ini, kamu bisa lihat disistem hasil akhirnya.” “Ini deadline-nya pukul 3 sore, saya sudah kasih memo di dalam, jadi kamu bisa lihat yang mana saja harus kamu revisi.” “Jika saya kerjakan semua ini, lalu pekerjaan kalian apa?” tanya Nata dengan berani. “Wah. Kamu itu masih anak baru di sini, sudah seharusnya kamu membantu kami. Pekerjaan kamu saja masih sedikit, ‘kan?” “Saya—” “Kamu kalau tidak mau dipecat diam saja. Bu Jejes tidak suka dengan orang yang suka melawan kayak kamu.” Nata mengalah, ia tidak bisa ceplas-ceplos di sini, ia harus menempatkan diri. Dengan mengerjakan semua ini, ia bisa banyak belajar. Bagaimanapun juga Nata lulusan S1. Ia tak lanjut S2 karena keluarganya bangkrut dan semua hartanya diambil oleh kakaknya setelah kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan beruntun. Kakaknya juga sudah tak ada kabarnya, semua Perusahaan dan aset yang harusnya di bagi dua, lenyap begitu saja, bahkan kabar kakaknya juga seolah ditelan bumi. Tak ada kabar tentangnya sampai Ken sebentar lagi berusia 6 tahun. Nata melangkah menuju ruangan foto copy. Mengerjakan sesuai titah para seniornya, Nata menunggu sampai selesai. Beberapa saat kemudian, seseorang masuk ke ruang foto copy. “Pak Jeri?” tanya Nata menunjuk Jeri yang saat ini memegang dokumen. “Ibunya Ken ya?” “Iya, Pak. Bapak kerja di sini?” Jeri mengangguk. “Bapak mau foto copy? Sini biar saya yang melakukannya.” “Tapi ini banyak loh.” “Tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah bantu Ken waktu itu, jadi saya harus membalasnya.” Nata tersenyum. “Sebenarnya yang menolong Ken waktu itu adalah bos saya. Saya hanya mengantarkan beliau ke rumah sakit bersama Ken.” Jeri menjawab. “Lalu Pak Jeri bisa sampaikan ucapan terima kasih saya pada beliau.” “Baiklah. Nanti akan saya sampaikan.” Tak lama kemudian, salah satu karyawan wanita berdiri didepan pintu. “Pak Jer, dicari bos,” ucap wanita itu. “Baik.” “Sini saya kerjakan, Pak Jer,” kata Nata. “Ya sudah. Nanti kalau sudah selesai langsung bawa ke ruangan CEO, ya. Ada di lantai ini juga. Nanti tanyakan ke siapa saja dimana ruangan CEO, soalnya saya ada rapat saya tidak bisa membawanya,” kata Jeri membuat Nata mengangguk penuh semangat. “Tentu saja, Pak Jer, saya akan bawakan ini ke ruangan Pak CEO. Pak Jer tenang saja, Pak Jer bisa pergi rapat sekarang.” Jeri tersenyum lalu melangkah pergi meninggalkan Nata. Beberapa menit kemudian, Nata sudah selesai foto copy dokumen Jeri, ia pun segera membawanya ke ruang CEO. Ia bertanya pada salah satu karyawan dan akhirnya ia tiba di ruangan CEO. Nata langsung menaruh dokumen itu diatas meja dan melihat nama yang tertulis di akrilik ‘Aeron Bara Austin’ Nata menautkan alis. “Namanya sama dengan Aeron, ahh tidak mungkin, Aeron tidak memiliki marga Austin,” ucap Nata berbicara pada dirinya sendiri. “Jer, bagaimana dokumen yang saya minta?” Nata berbalik, lalu membulatkan mata melihat pria yang kini berdiri dibelakangnya. Tatapan mereka menghujam lembut, ada kemarahan yang tertanam dimata Aeron, sementara Nata merasa lebih hidup setelah bertemu dengan Aeron, tiba-tiba saja bayangan wajah Ken terlintas dipikirannya, Ken akhirnya bisa hidup. Rindu dan benci yang dimiliki Aeron saat ini tinggal berdampingan, seperti dua sisi dari koin yang sama. Kadang ia membayangkan bisa duduk bersama Nata, bicara dari hati ke hati. Namun, kebencian menyelimuti semua rindu yang ia miliki, Nata adalah wanita yang menghancurkan hidupnya. Bahkan ia tidak percaya pada cinta lagi, setelah kehilangan Nata. Lalu, Nata hadir dihadapannya setelah 6 tahun perpisahan? Apakah ini cara Tuhan untuk mempertemukan mereka kembali? Kini Aeron sudah menjadi pria kaya, ia menata hidupnya sendiri selama ini, belajar menjadi kuat tanpa pundak Nata seperti dulu. Walau bayangannya tetap ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD