Catatan No. XV : “Epidemik”

1328 Words
Adiw berhasil meraup banyak informasi setelah menyusup cukup lama di WCS. Setidaknya ia cukup paham bagaimana cara untuk kembali menuju alam nyata. Lokasi tempat mereka berada ternyata berada salah satu kota terpencil di tengah-tengah Amerika Serikat. Gersang. Kota ini berada di tengah padang pasir. Bangunan-bangunan di sana hanya terdiri dari beberapa blok saja. Ini bukan kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, atau pun Washington DC. Celine mengerucutkan pandangannya, berusaha membaca papan nama kota di beberapa tempat. “Ba.. Baboon City?” Celine terperangah. Kenapa ada orang menamai kota dengan spesies kera? Pandangan Celine juga menangkap keberadaan jam di atas plang SPBU. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Senjakala menghias di ufuk barat. Binar indah berwarna jingga membias pada tembok bangunan, tumbuhan pinggir jalan, hingga kaca mata dari salah satu warga. Adiw menginstruksikan Nida dan Celine agar tak terlalu mencolok. Mereka bergerak senyap demi menghindari sudut-sudut yang dipantau oleh kamera CCTV. “Kenapa? Maria itu buronan?”  Nida melayangkan dugaan. “Indonesia masih ada dalam status konflik bersenjata dengan negara ini. Memang, beberapa bulan ke belakang sudah berhasil tercipta perdamaian dalam bentuk gencatan senjata. Sayangnya, ini akan menjadi masalah runyam jika Maria diketahui keberadaannya. Karena secara teknis, kami masih berperang.” Rambut biru Maria terlihat sangat mencolok. Oleh karenanya Adiw meminjamkan jubah hitam milik WCS karena tudungnya cukup longgar untuk menutupi kepala hingga wajah. “Kak Maria tidak coba teleportasi langsung menuju Indonesia?” ucap Celine. Maria menjawab dengan gelengan kepala. “Entahlah, kepalaku terasa sakit sekali. Aku tak bisa menggunakan sihir apa pun selepas gelang ini terlepas.” Ia menunjuk pada gesper cokelat yang melilit lengan kanan. “Persis seperti Fia,” batin Celine menduga. Ada semacam efek cooldown. Seingat Celine, dahulu Fia juga tak bisa menggunakan sihir sampai berhari-hari setelah segelnya terlepas secara tak sengaja. “Tapi Kak Maria bisa menundukkan Griever,” Celine mulai memancing, “Waktu itu kak Maria menggunakan sihir?” Raut wajah gadis berambut biru itu berubah kebingungan, “Aku… tidak ingat apa pun tentang itu.” Alisnya mengerut, menunjukkan semacam frustrasi. Nida tak banyak berkomentar. Sama halnya seperti Maria. Ia yang saat itu pikirannya dikuasai oleh entitas asing, sama sekali tidak memiliki kenangan apa pun untuk bisa dipanggil. Keduanya seperti sedang mengalami hangover akibat terlalu banyak menegak minuman beralkohol. Dering telepon genggam terdengar dari balik saku baju Adiw. Setelah berbincang-bincang beberapa lama, pria itu kemudian menyerahkan benda kecil itu pada Nida. Agak ragu Nida menempelkan benda itu di telinganya. “Ini alat untuk berkomunikasi?” “Nida.” Suara Yuki terdengar dari seberang sana. Nida sempat kaget. Telinganya nyaris dibuat tuli. Rupanya Adiw menyetel benda itu dalam mode loudspeaker. Wajah Celine berubah semringah, “Praktis sekali.” “Jarakmu terlalu jauh untuk bisa dihubungi lewat telepati. Manna dalam tubuhku bahkan tak cukup kuat untuk bisa mencipta sambungan sejauh tujuh belas ribu kilometer.” “Kau bisa jemput kami?” potong Nida, langsung menuju inti. “Sedang diusahakan,” Jawab Yuki, “Perjalanan menuju sana akan memakan waktu sekitar 20 jam. Selama itu, carilah tempat untuk bersembunyi.” “Oke,” jawab Nida. “Satu lagi,” Yuki mencegah Nida sebelum menutup sambungan, “Mereka sudah mengetahui posisi Maria.” Siapa? “CIA?” selidik Adiw. “CIA, DEA, Homeland Security, Navi, apalah.” Suara Arby terdengar di alat komunikasi itu. “Intinya pemerintahan mereka sudah bersiaga penuh, sampai-sampai menaikkan status menjadi Defcon 2.” “Berhati-hatilah,” Yuki memperingatkan. Sambungan itu terputus. “Bagaimana ini?” Keringat dingin mengucur dari pelipis Adiw. Ia membayangkan kemunculan tank dan alutsista lainnya. Negara mana pun akan bersiaga penuh ketika sudah berhadapan dengan Maria. Masalahnya, gadis itu sedang ada dalam posisi tidak siap untuk bertempur. “Aaaaaaa..!” Sebuah jeritan sukses memecah suasana, asalnya entah dari mana. Semua orang sontak bersiaga penuh, menajamkan pandangan seraya mencari sumber suara. Di sana. Tak jauh dari perempatan, tiga blok dari sini, terdapat sekelompok manusia tengah berbuat kerusuhan. Mereka menubruk siapa pun yang ditemui, menindih, lalu menggigit bagian mana saja yang bisa dikunyah. Kewarasan seolah lenyap dari kepala. “Mereka… manusia?” Celine bergidik. Bau amis terasa menebar di udara. Suasana berubah genting. Gadis itu tiba-tiba merasa mual. Teror datang menyapa, kekacauan terjadi di mana-mana. Tiap jiwa di sana lari ketakutan berusaha menyelamatkan diri. Pun begitu, gerombolan tak waras tadi sanggup mengejar dalam kecepatan tinggi. Belum sempat Nida mencerna kejadian itu. Ia harus dikagetkan dengan bertambahnya jumlah manusia lapar hilang akal itu. Seperti air bah, menyapu daratan secara tiba-tiba. Baru lepas dari satu ancaman, Nida dan kawan-kawan kini dihadapkan pada situasi hidup-mati lainnya. Tak bisakah mereka diberi kesempatan sekadar untuk bernapas saja? “Zombi?” ucap Adiw. Langkahnya bergerak mundur, bersiap dalam acang-acang untuk berlari. Tak lupa ia tarik lengan Celine, mengajaknya untuk segera pergi. “Jangan lawan mereka, kau akan berubah menjadi salah satu makhluk itu jika sampai tergigit.” “Hah?” Nida masih bingung. Berdiam diri sepertinya bukan ide bagus. Jadi sejalan dengan tindakan Adiw, Nida kemudian menggenggam erat jemari Maria, untuk kemudian melarikan diri. Sesekali ia menatap ke belakang, menyaksikan bagaimana para warga di taman menjerit kesakitan ketika sedang dimangsa. Ada apa ini? Kenapa manusia tiba-tiba bisa menjadi seberingas itu? Padahal tadi segalanya terlihat baik-baik saja. Orang-orang masih terlihat berlalu lalang di jalanan. Anak kecil berjalan bergandengan tangan dengan kedua orang tuanya, sorang lelaki berlari mengenakan jaket serta headset menempel di telinga. Beberapa ada yang bersantai di pinggir kafe menikmati segelas kopi dingin. Jadi, apa yang terjadi? Senada dengan Nida. Maria terlihat menatap Adiw, seakan meminta penjelasan. Pria itu menggigit jempolnya sendiri, berpikir keras untuk menganalisis situasi. “Kemungkinan ini serangan senjata biologis, Z-virus!” Dia sepertinya tahu banyak tentang ini. “Hanya butuh waktu sepuluh detik bagi siapa pun untuk mati, dan bermutasi setelah terinfeksi. Para korban itu akan segera menambah jumlah para zombi, kita harus mencari perlindungan.” Benar ucapan Adiw. Jumlah makhluk itu terlalu banyak untuk dilawan. Jumlah mereka senantiasa bertambah di detiknya. Semua orang mulai dirundung ketakutan. Sekali terkena gigitan, siapa pun harus bersiap menyapa sang ajal. “Sialan!” Celine berubah frustrasi. Tubuhnya masih terasa letih. Ia tak bisa melakukan apa pun untuk menolong warga yang tak beruntung. Nida sempat berpikir egois. Biarlah para warga tak berdosa itu diumpankan untuk menjadi penahan, semata agar Maria tak menjadi sumber perhatian. Pelarian mereka terhenti ketika mencapai jalan raya. Tak seorang pun berkedip kala melihat pemandangan di hadapan mata. Para mayat hidup itu berlarian, berusaha memangsa warga yang tersisa. Kondisi tubuh mereka terlihat mengenaskan. Beberapa di antaranya berlumuran darah dengan luka terbuka. Ada pula yang berlari tertatih-tatih dalam kondisi kaki tertekuk patah. Rasa sakit hilang seperti hilang sepenuhnya. Sisa penduduk kocar-kacir menyelamatkan diri. Deru ledakan beserta tembakan terdengar membahana di kejauhan. Petugas kepolisian bergerak sigap berusaha melawan, namun jumlah peluru dalam senapan kalah telak dibandingkan dengan betapa banyaknya target ancaman. Kumpulan mayat hidup itu datang bak tsunami. Tak terhentikan, menggulung siapa pun yang menghadang. Suara suasana benar-benar kacau. Terlihat seperti akhir zaman yang dipertontonkan dalam kitab suci dan buku cerita. Beberapa zombi berlari menghampiri. Namun kedatangan mereka hanya menjadi bulan-bulanan Nida. Dengan pedang di tangan, pria itu sigap mencincang para mayat hingga jatuh berserakan. “Sialan!” Darah mereka terciprat mengenai mata.  Nida berubah panik seraya mengucek ke dua mata, “Apa aku kena?” Batinnya mengumpat kesal, tak ingin menjadi salah satu dari makhluk itu. “Selama kau tak tergigit, maka kau aman,” ucap Adiw meyakinkan. “Teman-teman, aku rasa kita dapet masalah..” Celine bergidik ngeri sembari telunjuknya terarah ke belakang. Nida menoleh, menyadari mereka telah terkepung oleh para zombi. Para warga tak ada yang tersisa, ratusan mayat hidup itu kini mengalihkan perhatian pada siapa pun yang masih berdiri tanpa luka. Cepat sekali mereka menghabisi sisa penyintas yang ada. Virus ini terlalu berbahaya. Jalan di depan diblokir oleh kawanan mayat hidup. Sebelah kanan ada pagar taman menjulang tinggi. Sementara itu gerombolan zombi di belakang terlihat padat, seperti pasukan berbaris siap berperang. Mereka terkepung dengan sempurna. “Masuk ke gedung itu,” Adiw menunjuk ke sebelah kiri, di sana ada gedung dengan jumlah Zombi paling sedikit. Tanpa kesulitan pedang Nida menebas beberapa zombi untuk membuka jalan. Pria itu kembali menghubungi Arby lewat sambungan telepon, “Virus Z! Mereka menginisiasi epidemi terhadap warganya sendiri.” “Kemungkinan sebagai bagian dari operation false flag,” jawab Arby di seberang telepon. “Kami butuh evakuasi sekarang juga!” seru Adiw. “Kami usahakan.” Dua puluh jam itu terlalu lama. Mereka tak akan selamat dari situasi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD