Catatan No. XVI : “Kemiripan”

1841 Words
Beberapa jam setelah merebaknya insiden mayat hidup.. Kota Baboon berubah menjadi kota mati penuh dengan zombi. Nida dan kawan-kawan mengungsi ke sebuah rumah sakit, mengunci diri di ruang staf. Letaknya ada di lantai 3 Pintu masuk sudah dibarikade, dihalangi oleh perabotan yang ditumpuk. “Sudah malam,” Adiw menggumam pelan, menyibak tirai demi memeriksa tiap sudut kota. Kota itu diguyur hujan, lengkap dengan petir menggelegar. Listrik padam entah kenapa. Seisi kota menjadi gelap. Tiap sudutnya terlihat menyeramkan. Siluet mayat hidup bergerak-gerak—Beberapa menggeliat—di jalanan, susah payah mengayun kaki di sudut-sudut gang basah. Nida dan kawan-kawan mengandalkan lilin di ruangan staf. Suasana hening, tak ada yang mengobrol atau bersenda-gurau. Semuanya memiliki aktivitas sendiri-sendiri. Di sudut ruangan Celine duduk bersimpuh dengan mata tertutup. Sibuk sekali ia bermeditasi meresapi ketenangan. Bagaimana dengan Nida? Yah, pria itu memilih untuk menyendiri di ruang terpisah, termenung di depan jendela seraya mata kosongnya menerawang jauh ke atas cakrawala. Akal sehat Nida berusaha keras mencerna kekacauan dalam beberapa hari terakhir. “Boleh aku duduk di sini?” Seseorang mengucap dengan suara lembut. Terkejut Nida dibuat. Ia bersumpah, jantungnya berdetak tak karuan tatkala mendapati Maria melempar senyum menawan. Sontak saja ia berubah kikuk. Mulutnya kesulitan menjawab hingga terdengar gelagapan, “Bo-boleh..” Lengan Maria menyeret kursi kecil lalu duduk di samping Nida. Buru-buru Nida kembali mengalihkan pandangan pada bising hujan di luar jendela. Mulut mereka seakan terkunci, tak ada yang memulai pembicaraan. Gemuruh petir riuh terdengar, saling menyahut. Akan tetapi, hanya ada kesunyian di antara keduanya. Kornea biru Maria memantulkan indah binar petir di angkasa. Sorot pandangan itu sendu memerhatikan rintik air dari balik jendela. Silau petir kembali menyambar menerangi malam. Cahayanya berpendar menerangi seisi kota, termasuk ruangan tempat mereka berada. Kota ini terletak di tengah padang pasir. Hujan adalah suatu peristiwa langka. Sekalinya turun, mirip seperti badai. Semenit dua menit berlalu, Maria masih berdiam diri tanpa sepatah kata, itu membuat Nida kian merasa canggung. “Kau tahu—,“ ucap gadis itu tiba-tiba, “Kurasa aku mulai terbiasa dengan segala kegilaan ini..” lanjutnya mengawali pembicaraan. “Eeuh iya..” Nida membalas singkat tanpa mengalihkan pandangan. Ia berpura-pura dingin karena tak tahu harus bersikap apa. Padahal sesungguhnya pria itu tengah semringah, terlebih ketika dirinya kini sedang berduaan dengan Fia Lebih tepatnya, Maria. Sayang sekali, dia bukanlah gadis yang selama ini mengisi relung hatinya. Mereka hanya mirip karena berada pada semesta yang berbeda. Atau setidaknya itulah yang orang-orang katakan padanya. Batinnya masih merasa yakin bahwa gadis di hadapannya adalah Fia yang selama ini selalu ia ratapi. Ingin rasanya ia mendekap gadis itu, membelai rambutnya seraya meresapi wangi tubuhnya. Sejuta rindu membuncah ruah, sesak memenuhi d**a. Tiada luka, namun perih dirasa. Lengan Nida bergerak tanpa disadari, hendak membelai pipi gadis yang amat ia cintai. Tapi tidak! Sekuat tenaga ia tahan hasrat tak tertahankan itu. Sorot mata Maria terlihat sayu. Pandangannya mengelana jauh menyusuri ranting-ranting petir yang menyebar di dalam awan tebal. Mulutnya kemudian terbuka perlahan, mengucap lirih dengan nada penyesalan, “Maaf..” “Apanya?” Nida memberanikan diri untuk menatap langsung menuju mata birunya. Ada sedikit kekecewaan karena ia gagal beradu pandang. Maria sedikit tertunduk. Tiap helai rambutnya berjatuhan, tergerai hendak menutupi mata. Jemari gadis itu mencengkeram erat tepian rok di atas lutut. Nida juga memergoki bagaimana ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Gadis itu seperti ragu hendak mengungkap sesuatu. Agak terperangah Nida menyaksikannya. Mulut Maria membuka sejenak, “Maaf jika aku tidak ingat sama sekali tentang dirimu..” “Bu—bukan salahmu!” Sedetik tadi napas Nida agak tertahan Maria terperangah, mengangkat wajahnya meminta kejelasan. Berulang kali Nida menggosok tengkuk kepalanya, berusaha menenangkan diri. Jelas sekali ia berubah kikuk. Gemuruh detak jantung di d**a sulit untuk dikendalikan. “… lagi pula, mungkin kau bukan orang yang kumaksud, mungkin…” Ucapan Nida mendadak terhenti. Pria itu sontak memalingkan wajahnya setelah beberapa saat beradu pandang dengan Maria. Ragam pertanyaan mengisi benak Maria, gadis itu hanya terperangah menunggu kelanjutan ucapan Nida. Iris biru milik gadis itu sungguh terlihat indah. Nida tak sanggup menatap mahakarya yang bukan miliknya. Ia menjadi gugup, persis ketika pertama kali bertemu dengan tunangannya sepuluh tahun lalu. “Mungkin aku memang salah orang...” lanjut Nida disertai intonasi menurun. Ada semacam rasa kepasrahan terhadap harapan yang selama ini membuncah. Tak tega rasanya melihat ekspresi sedih di wajah gadis itu. Ia tak bisa terus menerus bersikap egois dengan menganggap dia adalah Fia. Wajah itu memang benar-benar milik tunangannya. “Lalu siapa orang yang kau maksud? Bersedia untuk cerita?” Maria mendekatkan posisinya— sedikit berharap. Nida kembali menatap mata gadis di hadapannya. Kali ini ia sanggup bertahan lebih lama, sebelum akhirnya menyerah dengan mengalihkan pandangan keluar jendela, “Dia tunanganku.” Napas Maria tertahan, seperti sedang menahan keterkejutan. Entah apa yang sedang ia pikirkan. “Tiga tahun lalu kami memerangi raja iblis. Di saat-saat pertempuran terakhir, ia mengorbankan dirinya demi menyelamatkan semua orang,” lanjut Nida menjelaskan. Nida tak mengerti dengan ekspresi yang diukir Maria saat ini. Apa perlu dia begitu terkejutnya? Sampai-sampai jemari itu menyilang menutupi mulut yang agak membuka. “Dia.. meninggal?”  ucap Maria tak percaya. “Aku tak tahu..” jawab Nida. Sesekali ia mencuri pandang pada Maria di sampingnya. “Siapa nama gadis beruntung itu?” “Fiani Memoria Faykreus...” Maria menahan napas yang tertarik secara tiba-tiba, “Fia?” “Ya.. Nama depan, wajah, bahkan suaranya sama persis denganmu. Wajar saja jika pada awalnya aku mengira kalau kau adalah dia.” Maria kian membisu. Batinnya berkecamuk memikirkan sesuatu. Lengannya memegangi segel gelang berbentuk gesper cokelat di tangan kanan. Sebuah kristal berwarna hijau senantiasa berpendar temaram di bagian dalamnya. Pandangan Nida berubah gamang. Pria itu menciptakan senyum getir dalam batin berisikan duka. Pikirannya kacau, benar-benar kacau. Sedetik ia terlihat baik-baik saja, meski nyatanya mental dia luruh tak berbentuk. Situasi ini terlalu kuat hingga membuatnya menjadi melankolis. Maria bersumpah, tadi itu ia melihat pantulan cahaya dari mata Nida yang berkaca-kaca. Nida lanjut meracau, “Sewaktu kecil kami sudah berjanji untuk menikah jika sudah berumur 20. Dan akhir-akhir ini aku baru merayakan ulang tahun yang ke 20. Rasanya sakit tiap kali teringat itu.” Pikiran Nida menerawang jauh ke masa lalu. Tak perlu Nida ucap, Maria sanggup menerka kelanjutan kalimatnya. Pria itu tertekan karena di ulang tahun yang ke 20 itu, ia  malah bertemu dengan kembaran tunangannya yang sudah tiada. Suasana kembali hening karena cerita Nida tak lagi berlanjut. “Kau.. Keturunan dari Rezqiano, kan?” tanya Maria, kata-kata itu terucap begitu saja. “Kau tahu ayahku?” Nida sedikit terperanjat kaget, “Ah, mungkin kau tahu dari Celine, atau Yuki..” lanjutnya menepis secercah harapan. “Tidak..” Maria menyanggah seraya menggelengkan kepala. Kelopak matanya menutup pelan. Pinggiran bibirnya naik menciptakan senyum kecil, “Entahlah, aku hanya tahu... bahkan... aku merasa kalau aku memang mengenalmu. Ini pertama kalinya aku bisa berbicara sesantai ini dengan orang yang baru kutemui.” Mata Nida mulai terbelalak mendengar ucapan Maria, “Apa yang sedang aku pikirkan sejak tadi itu benar?” Apakah gadis di hadapannya benar-benar Fia? “Mungkin—” Maria berusaha untuk melanjutkan kata-katanya, gadis itu entah kenapa menjadi gugup. “..mungkin jiwa Fia yang ada dalam hatimu sedikit bersinkronisasi dengan pikiranku. Aku percaya dia selalu berada di sampingmu, melindungimu setiap saat.” Ada perasaan kecewa ketika mendengar pernyataan itu. Maria berbisik pelan sembari mengusap tangan Nida, “Kau kuat, Nida..”   Gadis itu melangkah keluar dari ruangan. Sementara Nida terdiam memegangi jemari yang barusan dipegang Maria. Nida berubah semakin sendu. Pria itu menghela napas pelan, “Bahkan dinginnya tanganmu sama dengan dinginnya tangan dia.” Mata Nida tampak berkaca-kaca, menatap langkah Maria yang berlalu dari hadapan. Ia teringat akan perkataan Yuki; Jika kita semua terlempar ke dimensi lain, ada kemungkinan kita akan bertemu dengan orang yang sama persis dengan sosok yang kita kenal di dimensi kita. Kita mungkin akan bertemu perwujudan lain dari diri kita sendiri. Malam pun berlanjut, hujan lebat kini berubah surut. … Pip pip pip! Tepat jam 2 malam, suara PDA melengking memecah keheningan. Semua orang tertidur pulas menikmati sunyi. Celine tak rela tidurnya dibangunkan. Gadis itu mengucek matanya seraya menggerutu jengkel. Matanya setengah terkatup, “Hp siapa sih!?” Adiw mengecek smartphone miliknya. Namun matanya langsung terbelalak kaget melihat isi pesan itu, mulutnya berteriak keras, “Semuanya, ini penting!” “Ada apa!?” seru Nida datang dari ruang sebelah. “Arby menginformasikan tentang tindakan pemerintah terhadap virus ini. Kita harus segera pergi. Pukul 2 lebih 15 menit, kota ini akan dibumihanguskan.” “Dibumihanguskan?” tanya Celine. “Diledakkan menggunakan nuklir,” sambung Adiw. “Bom nuklir!?” Celine sontak terperanjat. Nida  memeriksa jam di dinding, “Pukul 2 lebih 15 menit? Sekitar 20 menit dari sekarang.” “Terus gimana caranya kita keluar dari kota ini!?” Celine mulai panik. “Oh tIdaAak, kiTa harUs bAgaImaNa?” seru Orchid mengulang panik dalam nada mengejek. Hening mengikuti tak lama kemudian. Tunggu dulu, Orchid? Nida, Celine, Adiw, dan Maria sontak mengalihkan pandangan pada gadis berambut hitam acak-acakan di tengah-tengah mereka. Semua orang terkejut mendapati Orchid sudah berdiri membaur. Padahal pintu dan jendela sudah terkunci sempurna. “Sejak kapan kau ada di sini?!” “Nyahahaha~” Gadis itu menggaruk kepala yang tak terasa gatal, “Dari tadi. Aku ke sini pakai Excaliber. Sebenarnya aku tidak mau mengganggu suasana mesra Nida dan Maria, jadi aku nunggu di sini saja. Eh, malah ketiduran.” Nida dan Maria sontak berubah kikuk, sementara Celine terlihat menghunus kepalan tangan siap meninju. “Kenapa tidak bilang dari tadi!?” pekiknya kesal. “Terus Excaliber ada di mana?” jawab Nida. “Di distrik sembilan, sekitar 400 meter dari sini. Yuki bilang dia butuh waktu untuk ngecas persediaan Manna-nya, jadi menyuruh aku ke sini untuk memastikan semua orang baik-baik saja.” “Kalo begitu ayo!!” seru Nida. “Tunggu dulu, jangan sembrono,” cegah Celine. Maria mengangguk, “Betul, listrik mati. Tidak ada penerangan sama sekali. Para zombi berkeliaran di mana-mana. Jumlah mereka terlalu banyak. Sama saja bunuh diri kalau kita nekat pergi keluar sekarang.” “Mereka mungkin tak terlalu kuat, tapi kau akan mati jika sampai tergigit oleh mereka,” tambah Adiw seraya berpikir. Orchid kemudian kembali menjadi pusat perhatian. Tak ada yang mengucap sepatah kata. Mereka semua dibuat bingung; bagaimana caranya gadis itu berhasil menyusup ke sini tanpa sedikit pun membuat suara. “Lalu gimana..?” “Segitu takutnya kah kalian sama zombi..?” Orchid tertawa kecil. Lengannya dengan mudah menyingkirkan seluruh barikade, lalu membuka pintu yang terkunci. Beberapa zombi menoleh dengan segera. Seketika suasana berubah panik, ekspresi semua orang terlihat persis seperti orang tersengat listrik. “Kyaaa!! Jangan mendekat!” Celine berteriak kalap, lengannya mengusap udara cepat, memanggil tongkat sihir, lalu mengayunkan sekuat tenaga untuk menembak dengan sihir lemah berjenis angin. Gadis itu sukses menyapu habis para zombi di depan pintu. Mereka tumbang berserakan, mendarat pada berbagai perabotan hingga kepalanya pecah terkena benturan. Nida, Celine, dan Maria seakan mendapat ide secara bersamaan, “Betul juga, kalo kita gak mau bersentuhan dengan Zombi, lebih baik menggunakan senjata jarak jauh, atau sihir saja.” “Kalian ternyata bodoh.” Adiw menggerutu dengan urat kesal di kepalanya. .............. Tanpa membuang waktu, mereka kemudian berlari menuju lobi. Tiap langkah diayunkan melewati gelapnya lorong. Tak ada lampu yang menyala, hanya cahaya handphone yang menjadi sumber penerangan. Kondisi rumah sakit itu benar-benar mengenaskan. Darah menempel di sana sini; melekat pada tembok, seprai, dan permukaan tembok. Sampah berceceran, rak buku berjatuhan, kertas berhamburan. Tak jarang mereka menemukan mayat tergeletak bersimbah darah. Sesampainya di jalan, mereka kembali disambut para zombi. “Gak usah pedulikan mereka.” Adiw memberi saran. Lengannya memberikan isyarat untuk tetap bersikap tenang. Mereka tak boleh menciptakan kegaduhan, atau para mayat hidup itu akan berkumpul dan mengepung tanpa memberikan kesempatan. “Berapa lama lagi waktu yang kita punya!?” tanya Nida. “Sekitar 15 menit lagi,” jawabnya setelah mengecek jam tangan. “Sial.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD