Catatan No. XXXIII : “Snow dan Yuki itu Es”

1595 Words
Mari kita mundur lagi ke beberapa waktu sebelumnya. Ketika Nida dan yang lain sibuk menangani Magnus di dalam gua. Di luar sini ada Yuki yang sedang berduel melawan si gadis vampir. Wajahnya senantiasa terlihat datar tanpa ekspresi. Tanda bahwa dirinya sibuk menyusun rencana untuk memenangkan pertarungan ini. Di sudut lainnya, terdapat Snow yang berdiri di atas batang es melayang di udara, Matanya tertutup pelan, berkonsentrasi seraya merapal inkantasi, “Devolvat in unda et ventus in glacie omnia[1],” ucapnya cepat. Sebuah aura tercipta mengempas selayaknya deburan ombak di lautan. Energi itu termaterialisir ke dalam wujud solid berupa gulungan salju membeku. Hasil rapalan mantra menciptakan gulungan besar persis seperti gelombang tsunami. “Scutum glacies[2]!” Yuki bersiap, lapisan pelindung berupa dinding es muncul untuk melindungi. Kedua sihir berelemen es bertabrakan dengan keras. Kabut beku berpendar menurunkan jarak pandang hingga satu meter ke depan. Yuki yang fokus pada sihir pertahanan terlihat tak memegang kedua pistolnya. Hal ini tak disia-siakan Snow. Gadis itu langsung menerjang ke dalam kabut es. Lewat jemari yang terhunus, ia menusuk tubuh lawannya dengan ujung kuku yang tajam. Gadis itu berniat mencabut bagian jantung dengan kekuatan lengan. Namun yang ia kenai hanyalah angin kosong. Bayangan yang terlihat tadi hanyalah ilusi, berubah pudar lalu menghilang begitu saja. Snow sontak berubah panik, menoleh ke sekeliling mencari keberadaan lawannya. “Triplici captionem[3].” Yuki terlihat muncul dari arah langit, setelah sebelumnya melompat tinggi ke angkasa. Pria itu mengambil momentum untuk kembali menukik turun. Di sampingnya, terdapat puluhan es berwujud tombak melesat cepat menghunjam tak terbendung. Snow terdesak. Dalam jarak yang begitu dekat, tak sempat baginya untuk melakukan gerakan menghindar. Yang ia bisa lakukan hanyalah melindungi diri lewat dua lengan yang menyilang. Serangan itu terhenti. Tak ada rasa sakit yang mengikuti. Gadis itu perlahan membuka kelopak mata yang terpejam erat. Snow tersadar akan sesuatu. Serangan es barusan sama sekali tidak melukainya. Puluhan tombak itu menjebak kaki dan tangan, sukses memerangkap hingga membuatnya tak bisa bergerak. Terperangah akan apa yang terjadi, wajahnya kembali berubah dingin, “Apa maumu?” ucap Snow tak ramah. Tersadar akan keberadaan Yuki yang berjongkok di hadapannya. Pria itu berada di atas salah satu balok es yang menancap. “Maaf.. Aku sama sekali tak bisa melukai perempuan..” Snow sontak menajamkan mata, “Jangan menganggap remeh perempuan atau kau akan menyesal.” Yuki tak membalas. Mereka berdua terdiam satu sama lain, saling bertukar pandang dalam keheningan. Keduanya seolah mampu berkomunikasi hanya lewat tatapan mata. “Kenapa kau menjadi orang jahat?” Yuki berusaha mengawali pembicaraan. “Bicara apa kau ini?” “Kamu itu orang baik.” Yuki kembali memotong, Kamu ingin melawan ayahmu sendiri karena tidak tahan dengan sikap jahatnya.” Yuki lalu duduk membelakangi gadis itu. “Apa maksudmu?” “Kamu sempat merasa ragu ketika hendak menculik Orchid. Kamu bahkan meminta maaf pada dia sebelum membuatnya pingsan.” Gadis itu terkejut. Menyadari Yuki mengetahui sejauh itu tentang dirinya. Belum genap dua puluh menit mereka bertemu. Namun ternyata Yuki sudah mengawasi gerak-geriknya sejak pertama memasuki Gunung Parang. Padahal pria itu bisa saja melaporkan keberadaannya pada rekan yang lain. Akan tetapi dia tak melakukan apa pun selain berpura-pura tak tahu, “Kenapa?” ucapnya menuntut penjelasan, “Kau bisa saja menghentikanku ketika masih di hutan sana. Kenapa mengabaikanku begitu saja?” “Karena aku merasa ini jalan terbaik untuk bisa menemuimu. Lagi pula, andai aku melawanmu ketika di hutan sana. Kau tak akan pernah bisa selamat melawan semua rekanku. Kau mungkin akan mati di tangan para petinggi Exiastgardsun. Belum termasuk Maria yang memiliki sihir penghancur.” Snow tak bisa berbuat apa pun selain terperangah, “Oh, jadi itu alasannya menungguku selama ini?” Yuki membiarkan rekannya sendiri diculik. Pria itu rela membuat pertaruhan tak berarti hanya untuk bisa mencari waktu berduaan dengannya. “Jadi semua ini demi diriku.” Batin Snow berputar cepat memikirkan kemungkinan yang ada. Pria itu misterius, penuh perhitungan. “Aku tak membencimu kok,” Yuki turun dari balok es seraya membubarkan sihir yang membelenggu Snow. Beragam es berwujud tombak itu berubah menjadi butiran kristal. Gadis itu bingung. Dia memang terlepas dari puluhan cengkeraman, tapi pikirannya belum bisa menerima maksud dari perbuatan Yuki. Pria itu bersikap baik padanya. Ia bahkan mengulurkan tangan berusaha membantu. “Jika kau memang tak punya keberanian untuk melawan ayahmu. Sebaiknya ikut denganku dan menjadi bagian dari kelompokku.” Apa di mengajakku pergi? Memulai hidup baru? Sayangnya, Snow memilih untuk tak mengacuhkan uluran tangan Yuki. Mulutnya berucap angkuh, “Hanya karena kau tahu banyak tentang diriku, bukan berarti kau berhak untuk membawaku.” Pandangannya teralihkan pada tempat lain seraya berucap demikian. Pipi gadis itu berubah kemerahan. Rasanya seperti sedang dilamar saja. “Aku tidak memaksa.” Yuki terlihat tak keberatan. Sifat tak acuh Yuki menggelitik rasa ingin tahu gadis itu. Sesekali Snow mencuri pandang. Namun dengan segera dijawab oleh ukiran senyum kecil di wajah Yuki. “Para makhluk itu (Nida dkk) akan segera mengalahkan ayahmu. Kau akan tinggal di sini selamanya, tanpa tujuan yang jelas. Apa benar itu maumu?” Pria berwajah datar ini entah kenapa terlihat lain. Dia terlihat lebih santai dan bersikap hangat. Jantung Snow berdesir. Benar apa yang dikatakan Yuki. “Aku—” ucapnya bimbang. Perasaannya tak menentu, baru kali ini ia bisa berbicara panjang dengan orang lain. Sedari dulu ia ingin sekali memiliki teman. Namun tak ada seorang pun gunung ini selain hantu yang hanya diam membisu. Snow memang kesepian. Sepanjang hidupnya ia sendirian tinggal di tengah gunung. Gadis itu memegangi erat kerah baju di dadanya, berusaha memahami perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan. Jantungnya berdetak kencang, padahal tak sedang berada dalam suatu bahaya. Napasnya menjadi pendek, padahal tak sedang kelelahan. Pipinya berubah kemerahan, tertunduk malu hingga rambut cokelatnya tergantung menutupi kedua mata. “Snow...” ucap Yuki penuh harap. “Aku…” Snow berucap lirih. Ingin sekali ia mengutarakan sesuatu di hatinya. Namun kepalanya terasa berat sekali. Gadis itu terlihat sempoyongan. Memegangi keningnya lalu ambruk tak sadarkan diri. Badai salju yang melanda tempat itu sirna dalam sekejap. Awan hitam dan kabut tipis menyelimuti Gunung Parang perlahan menghilang. Yuki dengan sigap menahan tubuh gadis itu. Memangkunya dengan raut wajah penuh cemas, “Snow?” Perlahan ia membuka matanya. Ekspresi teduh di wajahnya menyiratkan sebuah kelemahan. Matanya berubah sayu menahan beban di d**a, “Aku— aku adalah vampir. Aku butuh darah untuk bertahan hidup.” Tak sedikit pun Yuki melepaskan pandangannya dari gadis itu. “Aku tidak ingin menjadi seperti ini. Menjadi lemah hanya karena tak meminum darah. Ini semua menjijikkan,” Gadis itu menutupi matanya, terisak-isak seraya berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir. Gadis tenang tanpa ekspresi ini kini terlihat begitu emosional. Yuki lalu membuka kancing baju di bagian atasnya, membuat bahu dan tengkuknya terbuka bebas. Ia menyodorkan lehernya untuk di gigit, “Aku tak keberatan menyumbangkan sedikit darah jika itu bisa membantumu.” Snow terdiam, ia sama sekali tak punya pilihan. Tubuhnya lemas karena tak mendapat darah dalam satu minggu terakhir. Ayahnya tak memberinya jatah hanya karena kesalahan kecil yang ia perbuat. Snow perlahan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Gadis itu melingkarkan lengannya di punggung Yuki. Mulutnya mengendus sejenak leher pria itu, mencari bagian aman untuk digigit. Lalu tanpa membuang banyak waktu, taring tajam Snow bergerak menembus kulit leher lewat sekali tusuk. Pertama kalinya dalam pertemuan mereka, Yuki benar-benar bersentuhan kulit dengan Snow. Tiba-tiba saja pandangan mata Yuki membelalak, tak kuasa menahan sejuta impuls sensoris yang menyeruak masuk ke dalam otaknya. Bukan karena nyeri dua taring yang menusuk lehernya. Yuki merasa, ia seperti komputer yang tiba-tiba disuguhi segudang file. Seluruh kenangan hidup Snow entah kenapa merasuk ke dalam pikirannya. Batin pria itu serasa konslet. Lalu senada dengan Yuki. Snow ikut terdiam dengan sorot mata membelalak tajam. Gadis itu bisa mengingat seluruh kenangan Yuki dari pertama lahir, menginjak remaja, berkelana selama seratus tahun, terlibat perang bersama Nida, hingga sampai pada detik tadi mereka saling menyerang. Semuanya berputar cepat seperti film yang mengalami fast forward. Seluruh kesedihan yang Yuki alami, juga segala sepi dan emosional yang Snow derita. Mereka seperti larut menjadi suatu kesatuan. Pelukan Snow terasa semakin erat, lengannya mengepal memegangi leher, juga punggung pria di hadapannya. Dari jauh keduanya terlihat seperti sedang b******u penuh gairah. Butuh waktu lama bagi Snow untuk melepaskan gigitannya. Walau sebenarnya ia hanya mengambil sedikit darah sekedar untuk bertahan hidup. Keduanya bertatapan mata sejenak, lalu berdiri seraya membersihkan kotoran yang menempel di pakaian. Tubuhnya terasa segar kembali. “Terima kasih..” Snow berucap lembut. Wajahnya terlihat seperti kepiting rebus, memendam malu seraya melipat dua lengan di belakang. “Senang bisa membantu,” balas Yuki simpel. Suasana menjadi hening, mereka membisu dalam pikiran masing-masing. Baik Yuki dan Snow, tak bisa jujur satu sama lain. Mereka tak sanggup membuka topik tentang apa yang baru saja terjadi. Keduanya seperti komputer yang baru saja selesai mengalami sinkronisasi. Snow mendekatkan wajahnya, lalu menambatkan bibirnya pada Yuki. Gadis itu memberikan sebuah kecupan indah disinari mentari berwarna jingga. Lengannya erat memegangi pipi Yuki dipenuhi kelembutan. Sontak saja Yuki melonjak mundur. Pria itu menyentuh sejenak bibirnya disertai wajah memerah tak karuan. Ekspresi sebeku es itu perlahan terlihat mencair. “Itu tanda terima kasihku.” Snow tersenyum lembut. Gadis itu meloncat tinggi untuk kemudian berdiri di atas batu besar di puncak gunung. Pandangan Yuki terpaut padanya, tak mau melepas sedetik pun rasa kagum akan kecantikannya. Tubuh gadis itu terlihat berpendar oleh matahari senja. Rambut panjangnya tergerai angin, melambai indah memantulkan cahaya berwarna keemasan. “Kau mau ke mana?” Yuki berubah panik hendak mencegah. “Aku ingin pergi dari tempat ini. Namun tidak denganmu,” Snow mendekap lengannya sebatas d**a. Ingin rasanya ia peluk pria itu saat ini juga. Namun bersama dengannya bukanlah sebuah pilihan, “Aku ingin melihat dunia dengan mataku sendiri.” “Apa kita akan bertemu lagi?” ucap Yuki penuh harap. “Mungkin saja,” Gadis itu kemudian beranjak dari sana. Meloncat mundur menuruni gunung di belakangnya. Yuki terdiam tanpa kata, hanya bisa memandangi helai rambut terakhir yang tertarik gravitasi. [1] Unleash the wave of wind and turn everything into ice [2] Shield of ice [3] Triple trap
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD