Catatan No. XXXII : “Kenyataan Pahit”

1297 Words
Tiga tahun lalu… Dalam Langkah putus asa, Magnus membangkitkan Ultima Weapon–monster ilahiah penghancur tata surya—demi menghancurkan kerajaan Lionearth. Naga kuno itu tak terkalahkan, tak seorang pun bisa menghentikannya. Semua teknologi dan kemampuan sihir tak ada yang berarti padanya. Orang-orang berputus asa, pasrah akan takdir yang menanti. Akan tetapi, keajaiban selalu terjadi pada mereka yang mengharapkannya. Dalam keputusasaan—detik-detik peristiwa kepunahan massal seisi dunia—Fia tampil ke permukaan sebagai pahlawan. Lewat kemampuan sihirnya ia bertindak sebagai alat untuk mengubah alur peperangan. Satu dan lain hal, ketika situasi kian genting dan nyawa Nida ada dalam bahaya, gadis itu nekat melakukan hal tabu demi menyelamatkan kekasihnya. Ia membangkitkan sihir kuno bernama Black Hole, sihir penghancur terlarang yang juga akan mengorbankan sang perapal hingga tak bersisa. Dan memang itulah yang terjadi. Pada akhirnya, Fia hilang tak berbekas, lenyap menjadi ketiadaan. … “Kenapa benda terkutuk ini ada di sini? Di Planet Bumi. Kenapa artefak sumber malapetaka itu ada di semesta tempat Maria berada?” Apa benda ini juga tak lebih dari sebuah salinan dari versi di Exiastgardsun? Lalu bagaimana Nida menjelaskan keberadaan Magnus sendiri? Jelas sudah dia adalah si Raja Iblis yang dulu pernah ia musnahkan. Mereka kenal satu sama lain. Jika dia saja bisa berakhir di Bumi, apakah itu berarti Fia benar-benar selamat dari insiden itu, dan kini berakhir di sini? Nida tak kuasa melepaskan tatapan gamang dari Maria. Hey, sungguhkah kau itu Fia yang hilang ingatan? Di lain pihak, Magnus terkejut bukan main. Tyan dan Arby berdiri dekat dengan altar rahasianya. “Dia bisa menjadi immortal berkat kekuatan [kotak] yang ditransfer lewat kedua kalung ini,” Arby menatap kalung yang dilingkarkan pada kubus itu. Kalung satunya lagi tersembunyi di balik baju Magnus. “Tinggal hancurkan saja untuk memutus transfer energinya,” sambung Tyan. “Tu-tunggu dulu!” Magnus berubah panik. Wajahnya terlihat pucat pasi. Arby mencabut kalung dari kristal hitam itu. Semacam cahaya temaram muncul membungkus sekujur tubuh Magnus, lalu menghilang tak lama kemudian. Luka yang sebelumnya mengucur di tangan tampak tetap terbuka seperti seharusnya. Sang vampir kini tak lagi immortal. “Tu-tunggu dulu..” Magnus semakin panik. Pantatnya jatuh menubruk tanah, berusaha mundur seraya mengangkat jemari meminta ampunan. Nida, Tyan, dan Arby berdiri mengelilingi. Hanya dalam situasi seperti ini, mereka terlihat kompak dan sepaham. Orang ini pantas mati. Nida sudah menghunuskan pedangnya tinggi-tinggi, bersiap untuk melakukan eksekusi. Akan tetapi, niat Nida kandas tatkala seberkas aura hitam menyeruak liar dari sudut ruangan. Semburannya melumatkan tubuh Magnus hingga hancur tak bersisa. Wajah panik itu menghilang bersamaan dengan keberadaannya yang kini tak lebih dari seberkas asap hitam. Semua orang sontak menoleh ke arah sang pelaku. Di sana ada Maria terduduk tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi. Tangannya terancung sebatas wajah, bukti dari tindakannya tadi. Gadis itu seakan mewakili Nida, mengakhiri Magnus seperti seorang pembunuh berdarah dingin. Sorot mata itu terlihat tak biasa. “Fia?” Gadis itu terlihat lain dari biasanya. Sejuta kemungkinan membanjiri pikiran Nida. Batinnya mengharap teori yang ia susun berubah menjadi kenyataan. Semoga gadis di hadapannya adalah sungguh Fia sang tunangan yang sekedar hilang ingatan. Tiba-tiba saja iris mata Maria berubah warna menjadi hijau terang. Sekilas terlihat seperti mata kucing yang berpendar dalam gelapnya ruangan. Sorot mata gadis itu dingin menusuk. Terasa asing, tajam menebar aura permusuhan. Gadis itu bangkit, lalu melangkahkan kaki menghampiri Nida. Lengannya mendorong Nida hingga b****g pria itu menumbuk lantai. Lalu tanpa sungkan Maria menjatuhkan diri di pangkuan sang Raja Exiastgardsun. Lengannya bahkan terlingkar sempurna di belakang pundak. Semua orang terkesiap, menatap apa yang hendak Maria perbuat. Wajah gadis itu kian mendekat. Napasnya bahkan terasa hangat di permukaan kulit. Lalu tanpa sedikit pun keraguan, Maria menutup mata seraya memberikan kecupan mesra. Nida bersumpah, ia bisa merasakan jelas sejuta kesedihan yang meledak dalam satu ciuman mesra. Pipi gadis itu terlihat merona, menyampaikan beragam gejolak emosi di d**a. Nida tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa gadis bermata hijau ini mengecup bibirnya? Kenapa dia melayangkan pandangan berisikan sejuta rindu? Seolah mereka sudah lama tak bertemu. Gadis itu memundurkan wajahnya tanpa sedikit pun melonggarkan tatapan lekat. Pandangannya berubah teduh, lengkap dengan senyum kecil menghias. Tarikan bibir itu terasa pahit—  seperti dipaksakan. Mulutnya kemudian mengucap pelan, memanggil Nida dengan sebuah nama, “Len..” “Len?” Nida membeo. Batinnya kembali mengingat pertemuan pertama mereka di rumah Maria. Gadis itu mengabaikan sejuta pertanyaan di wajah Nida. Pandangannya teralihkan pada Tyan dan Arby yang termenung di sudut ruangan. Wajah dua orang itu tak kalah terlihat pucat pasi. Mereka seperti melihat sesosok hantu. Senyum kecil kembali ia ukir sekadar untuk melayangkan sapa. Sedetik kemudian, perempuan misterius itu jatuh tak sadarkan diri. Maria kembali terkulai, namun reaksi dari Tyan dan Arby terlihat seperti polisi India yang sering kali datang terlambat. Dikuasai panik keduanya menepuk-nepuk pipi Maria, berusaha membangunkan kembali sosok barusan. “Yulia!” Tak ada respons. Batin Nida mulai tak tenang. Yulia? “Siapa dia?” Nida menyelidik. Kecurigaannya mulai memuncak. Yang barusan menciumnya bukan Maria, ia bisa merasakan hal itu. Mata berwarna hijau dan caranya memandang itu juga bukanlah Fia. Dia pernah bertemu dengan gadis tadi ketika sedang menyelinap ke dalam kediaman Maria. Mereka adalah orang yang berbeda, tapi ada dalam satu tubuh yang sama, Tyan seakan tak mengindahkan pertanyaan Nida. Pria itu sibuk memeriksa telepon genggamnya, “Sinyal kembali utuh. Kita bisa memanggil helikopter untuk evakuasi.” Arby menoleh ke arah lain tak menghiraukan, “Kita semua sebaiknya merawat mereka.” Lengannya menunjuk Celine dan Orchid. “Hey!” bentak Nida tak sabar. Pikirannya berubah kalut mendapati pertanyaan tak terjawab. Kenapa dengan kedua orang ini? Pria dengan setelan hitam itu menoleh dengan pandangan tajam, “Ada waktunya. Kau boleh mengetahui hal sebenarnya. Namun bukan untuk saat ini.” “Kenapa?” Nida menuntut penjelasan. Tyan melempar tatapan tak sedap, “Cukuplah kau tahu. Gadis ini bukalah Fia tunanganmu.” Nida tentu saja tak puas akan penjelasan setengah hati. Perasaannya semakin meradang, ia bahkan siap mencabut Gunblade demi memaksanya memberikan informasi. “Aku sudah mengenalnya sejak kecil,” ucap Arby datar. Memotong niat buruk yang terbesit di pikiran Nida, “Len…, pria yang tadi ia panggil itu mirip sekali denganmu. Bahkan seperti kasusmu yang kehilangan Fia dari Exiastgardsun. Lenka— pria dengan penampilan, suara, dan perawakan persis denganmu—adalah tunangannya yang sudah tiada.” Ucapan itu terasa menohok hati dan pikiran Nida. Bagaimana tidak, selama ini Yuki si penasihat kerajaan selalu beranggapan bahwa Maria di sini hanyalah kemiripan semata. Dunia ini terletak di dimensi yang terpisah dengan Exiastgardsun. Jadi untuk tiap entitas yang ada di Exiastgardsun, pasti ada jiwa lainnya yang hidup menjalani kehidupan berbeda, sebagai orang yang berbeda. Contoh terbaiknya adalah Yuki. Pria itu baru saja bertemu dengan Snow. Ia berani bertaruh, gadis itu pasti kembaran Yuki dari dunia ini. Benar mereka berbeda jenis kelamin. Namun berapa persen kemungkinan bertemunya dua manusia dengan wajah, suara, perawakan, hingga watak yang identik satu sama lain? Yah, meski secara teknis Yuki dan Snow bukan manusia. Tapi bukan itu intinya. Nida kini harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa Yuki dan Snow adalah satu entitas dengan jiwa yang berbeda. Pun begitu, Lenka—Pria yang dikabarkan sebagai tunangan Maria yang sudah meninggal—ternyata adalah kembaran dirinya dari dunia ini. Nida percaya itu karena ia pernah melihat potret Maria dan Lenka ketika masih seusia anak SMP. Terlebih dengan kejadian beberapa waktu lalu. Ia mendengar dari mulut Maria sendiri bahwasanya Nida mirip dengan cintanya di masa lalu. Selama ini mereka hanya saling memanfaatkan. Nida menganggap Maria sebagai Fia, sementara gadis itu menganggap dirinya sebagai Lenka. Ternyata segalanya saling berhubungan. Rasanya seperti sedang menyusun puzzle rumit, lalu melempar seluruh kepingannya ke lantai akibat frustrasi. Kemudian atas suatu kebetulan luar biasa, secara garis besar tiba-tiba saja gambaran besar puzzle itu terlihat utuh di mata. Nida dipaksa tiba pada suatu kesimpulan… —Maria hanyalah sebatas ‘salinan’. Senyum getir terukir di wajah Nida, hatinya sakit mendapati harapan yang ia pupuk selama ini kandas oleh sebuah kenyataan pahit. Mulutnya mendengus pelan tatkala batinnya menyadari sesuatu: Tak hanya di Exiastgardsun; Cinta dua sejoli antara Fia dan Nida versi dunia ini pun ternyata memiliki akhir yang buruk. Fia lenyap meninggalkan Nida, sementara Maria meratap kehilangan Lenka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD