Catatan No. X : “Penculikan”

1474 Words
Seisi ruangan hancur berantakan. Tembok, pilar, hingga kertas-kertas berhamburan. Lantai ikut terkoyak akibat kuatnya ledakan. Nida bergidik tatkala menyadari banyaknya korban. Perhatiannya sontak tertuju pada Maria. Gadis itu selamat tanpa luka. Perisai yang ia cipta jauh lebih masif dari apa yang Celine miliki. Gabungan tameng keduanya berhasil meminimalisir efek bom. Ledakan itu hanya meluluhlantakkan sebagian area saja. Masalahnya, sudut yang terkena imbas justru lokasi tempat orang-orang berdiri. Baik itu wartawan, maupun orang-orang penting dari kedua negara, semuanya meninggal atau terluka parah bersimbah darah. Baik Maria dan Celine, lebih memilih untuk melindungi Nida dan sang Presiden Tiongkok. Tak ayal, jeritan disertai bau anyir darah sesegera mungkin memenuhi udara, tanda dimulainya kekacauan lanjutan. “WCS bangsat..” umpat Tyan. Kondisinya terlihat mengenaskan. Putih kemeja di balik jas itu berubah kemerahan. Suatu keajaiban tubuhnya masih terlihat utuh meski ada dalam jarak sedekat itu dengan sumber ledakan. Niat Nida untuk menolong Tyan gagal terlaksana. Ia menyadari kedatangan ancaman lainnya. “Nida, ini serangan penuh. Bersiaplah!” Yuki menghubungi Nida lewat saluran nirkabel yang menempel di telinga. “Ya, aku bisa melihatnya,” jawab Nida mantap. Sebagian tembok ruangan roboh, menyibak keberadaan regu serang dalam mesin tempur terbang. Kalau tak salah namanya helikopter. “Mereka salah memilih lawan,” cibir Maria. Lengannya bergerak cepat, seakan mengusap tembok tak kasat mata tepat di hadapan muka. Kristal hijau pada pertengahan gesper—gelang terbuat dari kulit—melingkar di lengan kanan terlihat berpendar temaram. Mendadak Nida mendapati ratusan—atau bahkan mungkin ribuan—lingkaran sihir terukir dari udara kosong dan melayang secara vertikal. Ragam pentagram dan lingkaran berisi Huruf-huruf kuno itu menjulang tinggi melampaui gedung di sekitar, juga melebar hingga melewati beberapa blok kota. Celine terhenyak, mendadak rasa percaya dirinya sirna seketika itu juga. Armamen lingkaran sihir yang bisa ia keluarkan tak lebih dari lima meter persegi saja, padahal itu cukup untuk melumat satu batalion tempur berisikan seribu orang. Entah daya penghancur seperti apa yang sanggup Maria tunjukkan. Sejatinya, keberadaan penyihir dalam satu formasi tempur disetarakan sebagai sebuah artileri. Aset penting yang hanya ditempatkan di lokasi aman, umumnya di belakang garis pertahanan. Situasi itu sama persis seperti yang Nida hadapi saat ini. Ditemani pasukan pengaman lain, Yuki dan Arby memosisikan diri di lingkar terluar. Sementara itu Nida dan Celine berfungsi sebagai pertahanan akhir. Semuanya untuk melindungi Maria yang berdiri paling belakang. Nida kira Maria berada di tempat paling aman. Nyatanya, musuh sudah memprediksi sampai ke sana. Tepat di belakang Maria, muncul sesosok lainnya melalui semacam ilmu teleportasi. Keberadaannya sungguh di luar perkiraan. Dia bergerak cepat Ketika semua orang lengah. Sosok itu mencabut gesper di lengan kanan Maria. Seketika itu pula gadis itu lumpuh tak sadarkan diri. Tunggu dulu, bahkan kelemahan gadis itu sama persis dengan Fia? Nida ingat, di Exiastgardsun dulu, Fia memang akan pingsan ketika segel sihir di tangan kanannya terlepas dari tempatnya. Tak ada waktu untuk berpikir. Ia harus bergerak cepat. Seketika itu Nida mengaktifkan sihir tipe doping untuk mempercepat akselerasi. “Ini menarik, kalian berdua sanggup menggunakan sihir berbasis Manna.” Sosok itu mengucap seraya menarik Maria ke dalam semacam portal. Nida dan Celine menyatu dalam satu lajur serangan. Sosok berjubah itu nyaris lenyap ditelan portal berwarna hitam. Sebagian lengan Maria tampak tersisa menggapai lemas di bagian luar. “Kalian ikut bersamaku.” Bersamaan dengan itu, portal tersebut tiba-tiba saja bergerak maju, menyongsong hendak menubruk Nida dan Celine. Dua orang itu lenyap ditelan selubung hitam. Keberadaan portal kemudian menghilang tanpa jejak. … ***   Gelap Erangan penuh kepedihan menggema di udara, memantul pada dinding dingin terbuat dari bata lembap. Suara rantai beradu menegaskan kondisi Nida yang terpatri pada tembok. Bajunya koyak. Otot d**a dan perut yang bergelombang itu dipenuhi memar dan lecet. Nida tak habis pikir, sedetik setelah memasuki portal, tiba-tiba saja dirinya hilang kesadaran. Berikutnya, ia mendapati posisi tubuh terikat tak berdaya. Pergelangan tangan membiru tak kuasa melawan jerat rantai yang membelenggu. Entah berapa lama ia disiksa. Orang-orang ini semuanya kompak mengenakan semacam seragam. Jubah hitam seakan menjadi identitas utama. Mereka pasti anggota sekte sesat, kultus sinting yang mungkin memuja semacam entitas absurd. Sedari tadi Nida terus menerus ditanya tentang asal muasal, serta dikorek bagaimana ia bisa menggunakan sihir untuk memperkuat tubuh. Sabetan cambuk kembali menggores samping perut Nida. Pria itu mengerang, namun tak sedikit pun menunjukkan wajah gentar. “Siapa kau? Kenapa kau bisa menggunakan sihir?” Tak ada jawaban. Satu bogem mentah kemudian dilayangkan menuju rahang Nida. Darah serasa mengucur entah dari mana, memenuhi rongga mulut hingga memaksa pria itu untuk meludah. Pandangan Nida kian berubah angker. Mungkinkan mereka melakukan hal yang sama terhadap Celine? Haruskah Nida melepaskan diri dan membantai mereka semua? “Kalian ini siapa?” tanya Nida. Alih-alih menjawab pertanyaan, kini ia malah berbalik mengorek informasi. Pertanyaan itu dijawab dengan ayunan lengan hingga menghantam pelipis Nida. Ada dua orang yang menginterogasi Nida. Lelaki dengan tangan kosong, lalu satu lagi perempuan membawa pecut. “Biar kutebak,” lanjut Nida. Sedikit pun tak ia pedulikan pedih yang mendera. “Kalian pasti WCS?” “Kau sudah tahu, itu berarti kita bisa mempersingkat ini.” Interogator pria memosisikan kursi, lalu duduk tepat di hadapan Nida. “Ada berapa orang lagi yang bisa menggunakan sihir?” “Apa itu menjadi hal yang berbahaya?” pancing Nida, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya. “Tentu saja.” Senyum kecil terukir di wajah Nida, “Kenapa?” “Karena semua yang bisa menggunakan sihir berbasis Manna wajib dienyahkan. Keberadaan mereka berbahaya bagi kami.” “Lalu, siapa pun dengan sirkuit sihir di tubuhnya, bisa dipastikan berpotensi dijadikan wadah bagi sang juru selamat palsu.” Wadah? Juru selamat palsu? “Ceritakan lebih bayak,” ucap Nida. “Aku orang baru di sini, lebih tepatnya di dunia ini.” Ia memasang wajah tertarik, berusaha untuk mengelabui. Kedua orang itu saling bertukar pandang, seakan mengkonfirmasi isi pikiran masing-masing, “Baiklah,” jawabnya agak bersemangat. “Kami semua adalah golongan yang tercerahkan. Masing-masing dari kami menerima wahyu dari sang ilahi, membimbing kami untuk mencegah dunia dari kehancuran.” Andai saja Nida tak sadar diri akan posisinya, mungkin detik ini ia sudah tertawa terbahak-bahak dalam nada menghina. Akan tetapi, sang Raja Exiastgardsun ini sudah berhasil memanipulasi si interogator hingga kini malah menjadi pihak yang memberikan informasi. “Wahyu seperti apa?” Kembali ia berpura-pura menunjukkan ketertarikan. “Kau akan mendapatkannya sendiri. Langkah pertama, tentu saja dengan mendekap akan keberadaan dari tuhan itu sendiri.” “Lalu bencana apa yang dimaksud? Yang kulihat saat ini, orang yang kalian permasalahkan sebagai sumber malapetaka nyatanya terlihat damai dalam memimpin sebuah negara.” Nida kembali memancing. “Seperti yang kubilang, Maria bukanlah masalah utama. Pembawa kehancuran adalah iblis yang di kemudian hari akan merasuk ke dalam tubuhnya.” “Atau orang-orang berkemampuan sihir sepertimu, serta satu perempuan lainnya.” Mereka membicarakan Celine. “Apa yang terjadi kepada gadis penyihir satunya lagi?” “Tergantung dia sendiri.” Nida berusaha menerka. Jangan-jangan mereka juga mengambil langkah untuk merekrut Celine? “Apa yang terjadi jika kami menolak?” “Tentu, tak ada pilihan lain.” Perempuan dengan cambuk menggerakkan gerakan jempol melewati kerongkongan— simbol pembunuhan. “—lalu Maria?” “Beberapa menit lagi kami akan menayangkan siaran langsung proses eksekusi. Dia sudah kami ajak ke dalam sisi terang, namun dengan mentah-mentah menolak kebenaran.” Mendengar itu membuat darah Nida mendidih seketika. Besi yang membelenggu lengannya terlihat retak, tak kuasa menahan dorongan penuh dari amarah memuncak. Akan tetapi, niat Nida untuk mengakhiri dua orang ini keburu didahului oleh orang lain. Dua buah pisau menancap tepat tengkuk leher, memutus syaraf dari tulang belakang hingga membuat keduanya hilang kesadaran, ambruk seketika. “Mereka mati?” Teknik barusan layak untuk dipuji, begitu efisien dalam proses menghabisi. “Nida..!” Celine memanggil dari luar sel, Di samping Celine, terdapat sesosok pria berpakaian sekte hitam-hitam seraya membuka gembok sel. “Celine sudah menceritakan semuanya. Tenang saja, aku ada di pihakmu,” Jelasnya singkat. Jemarinya sibuk mengotak-atik kawat kecil untuk melepas gembok yang membelenggu Nida. Nida bisa merasakan lengannya kembali bebas. “Terima kasih, uh…” “Adiw,” potongnya mengerti. “Panggil aku Adiw. Aku salah satu bawahan Tyan, menyamar sebagai agen ganda dari organisasi bernama WCS ini.” “Mereka akan mengeksekusi Maria.” Nida berubah panik. Adiw mengangguk. “Sayangnya, aku kurang familier dengan markas ini.” “Lebih baik kita berpencar,” usul Celine. “Kau bisa bertempur?” Adiw memberikan sepucuk pistol pada Nida. Nida mengangguk, namun menolak senjata api itu. Lengannya mengibas kencang pada udara kosong. Lalu dalam satu sapuan itu, sebilah pedang berpelatuk pistol muncul dari ketiadaan. Celine melakukan hal yang sama. Tongkat sihir sepanjang satu meter kini sudah berada di kedua lengannya. “Ingat.” Nida mencengkeram bahu Celine, “Udara di sini mengandung Manna dalam jumlah sedikit. Kau harus mengawet-awet energi yang tersedia dalam tubuhmu sendiri.” Celine mengangguk. Ketiganya kemudian berpencar menyusuri Lorong-lorong sempit. Tempat ini terlihat seperti dungeon di abad pertengahan. Memang terdapat elemen kehidupan modern seperti lampu dan kunci elektrik. Akan tetapi, sebagian besar tembok dan langit-langit masih terlihat kasar terbuat dari batu. “Sepertinya kita ada di bawah tanah.” Nida menggumam pelan. Lengannya memeriksa lumut yang memenuhi beberapa bagian dinding. Kakinya melangkah menyusuri lorong, hingga menemukan tangga menuju atas. Langkah dia kemudian terhenti. Di hadapannya, terdapat sosok berpakaian jubah hitam lain, berdiri menghalangi. Sontak saja Nida menghunus Gunblade bersiaga penuh. “Tenang.. Aku bukan musuh,” ucapnya seraya mengangkat kedua tangan. Pria itu kemudian membuka tudung jubah yang menutupi wajah. “Nida, lama tak jumpa.” Sosok itu menyapa sambil tersenyum simpul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD