Perang Besar

1679 Words
Suara dentuman yang besar kali ini terdengar lebih keras lagi, getaran yang ditimbulkan sampai-sampai membuat tanah yang menjadi pijakan bergetar hebat, menciptakan gempa bumi ringan di tengah kepanikan. Huru-hara adalah pemandangan utama selama seratus tahun terakhir ini. Peperangan antara manusia dan kaum elf belum juga berakhir. “Penyihir Agung, ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi!” seru seorang pria dengan badan yang agaknya terbuat dari otot semua, saking kekarnya. Ia memiliki hidung runcing dengan mata elang yang sepenuhnya berperawakan cukup tampan. Pria ini memeluk erat seorang gadis kecil yang merintih kesakitan. Maka orang yang tadi dipanggil dengan sebutan Penyihir Agung itu beranjak dari kursi kebesarannya. Melangkah penuh irama seolah tiap kakinya bergerak, ada melodi alam yang ikut bernyanyi bersama demi menggiring langkahnya. “Sena, di mana letak sakitnya?” tanya pria dengan telinga runcing dan wajah berbentuk enam sudut seperti diamond. Mata kuning keemasan tersebut tampak mengkilap, manakala gadis kecil dalam gendongan pria berbadan besar tadi menunjukkan luka pada tangannya yang terbuka, sampai terlihat sedikit warna putih di antara daging dan otot di sana. Gadis kecil yang memiliki nama Sena itu masih terus menangis dan mengeluh kesakitan. Apalagi ketika pria di hadapannya ini meraih tangan dan menyentuh lukanya. “Sebentar, Sena. Tahan dulu, ini tidak akan sakit lagi nanti.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Sang Penyihir Agung memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan penyembuh di tangan yang memegang luka Sena, lalu seberkas cahaya kehijauan muncul dari telapak tangannya dan perlahan, luka di lengan Sena mulai menutup dan kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Mata Sena membulat dan berbinar ceria, rasa sakitnya sungguh hilang dalam sekejap mata. “Terima kasih, Penyihir Agung!” seru gadis manis itu dengan pipi yang seolah bisa jatuh saking bulat dan besarnya. Penyihir Agung yang memiliki nama asli Ashleigh Oizys itu pun mengulas senyum yang lembut. Ia mengusap kepala Sena penuh sayang. “Anak nakal! Apa yang membuatmu ke atas sana dan kembali dengan luka seperti ini?” hardik wanita dengan topi besar runcing yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Seruan wanita ini membuat Ash tidak jadi membuka suara tadi. Padahal mulutnya sudah terbuka. Mendapati bentakan dan lirikan mata penuh ancaman, Sena lekas-lekas menyembunyikan diri ke dalam dekapan pria berbadan kekar tadi. “Se-Sena hanya ingin menemui mama!” jawabnya sedikit berteriak karena takut. “Sudah kukatakan kalau ibumu itu sudah tidak ada! Umur manusia itu pendek, tidak seperti kita. Ya ampun, berapa kali harus aku jelaskan? Haiden, lepaskan anak itu dan berikan dia padaku!” sebut wanita tadi terdengar seperti ancaman berbahaya. Maka tanpa pikir panjang, pria berbadan kekar seperti dipenuhi otot itu langsung mengangkat layaknya anak kucing tubuh kecil Sena ke arah wanita tadi. “Ini, Isidra,” ucapnya dengan suara rendah, menyebutkan nama penyihir wanita yang berpakaian cukup terbuka dan ketat tersebut. Melihat adegan ini, seorang pria berbadan sedikit berisi dengan wajah oval dan hidung yang besar di ujung ruangan sana, tertawa terpingkal-pingkal. “Hei, aku sungguh-sungguh tidak bisa serius melihat ini!” guraunya sambil memukul-mukul seorang teman yang duduk di samping dan hanya diam. “Haiden, haha! Kau harus lihat wajah Sena yang seperti anak kucing itu!” serunya lagi di sela tawa. Isidra sendiri berusaha menahan agar tidak ikut tergelak juga demi mempertahankan harga diri. Ia meraih Sena, dengan hati-hati meletakkan gadis kecil itu ke lantai. “Sana, keluarlah. Kami ingin mendiskusikan hal penting,” usirnya lembut. Meski sempat ingin melayangkan protes, Sena langsung lari terbirit-b***t saat mendapat tatapan tajam Isidra. Sudut bibir Ash terangkat ke atas, membentuk senyuman. “Jadi, ada apa kalian ramai-ramai ke mari?” tanyanya sambil bersedekap. “Murid-muridku. Haiden, Exilus, Isidra, dan Javier.” Ash menatap bergantian, dari pria berbadan kekar tadi, pria yang tadi tertawa heboh, satu-satunya wanita di ruangan ini, dan satu lagi orang yang hanya diam duduk di pojokan. Javier akhirnya mengangkat wajah, membuka tudung kepala dan melangkah mendekati Penyihir Agung yang merupakan gurunya. “Saya rasa kita harus ikut berperang,” usul pria yang memiliki dagu runcing, beralis tebal, dan mata seperti rubah yang dalam tetapi tegas dan tajam. Belum sempat Ash menjawab, tiba-tiba suara dentuman yang besar kembali terdengar dan lagi-lagi seisi ruangan kembali bergetar layaknya gempa. “Sudah seratus tahun lebih dan tidak ada perdamaian sama sekali di dunia atas,” komentar Exilus, wajah dengan tampang jenaka itu kini berubah mulai serius. “Jumlah penyihir juga semakin menipis karena perang para b*****h di atas sana. Kini hanya ada Sena sebagai satu-satunya penyihir muda. Guru, kita tidak bisa membiarkan hal ini dan berdiam diri saja!” Haiden menatap penuh harap pada Ash di hadapannya. Sang Penyihir Agung terlihat berpikir dan guncangan bak gempa tadi kembali terjadi lagi. Kali ini getarannya lebih lama, menciptakan suara gemuruh dan ketakutan yang fana. “Tentu saja kita akan ikut berperang ke atas sana,” jawab Ash yang malah membuat wajah Haiden dan Javier cukup terkejut, mereka sampai saling melempar pandang seakan tidak percaya. Konon, mereka sudah meminta hal ini hampir tiga puluh tahun lamanya dan selalu saja ditolak oleh sang guru. “Kalian berdua itu terlalu naif, jadi guru menugaskan aku dan Exilus diam-diam menyelidiki konflik di dunia atas sana,” oceh Isidra meletakkan topinya ke tepi jendela. Membuat rambut tebal berwarna merah gelap itu mulai berterbangan. Baik Haiden dan Javier tidak ada yang berani protes, walaupun mereka sedikit kesal sampai kehilangan kata-kata. Sebegitu burukkah pandangan sang guru terhadap mereka berdua? “Tidak. Justru karena aku tahu apa isi kepala kalian, makanya aku bertindak sendiri.” Ash menjelaskan, ia memang bisa membaca pikiran. Kemampuan ini baru-baru saja Ash kuasai setelah belajar lebih dari sepuluh tahun. “Bahkan guru sampai naik ke dunia atas. Haiden, Javier, kalian harus minta maaf sudah merepotkan guru,” peringat Exilus yang sebenarnya cukup merasa iri. Wajah Haiden yang bertubuh besar dan wajah Javier yang selalu datar, mendadak memerah. Bukan karena malu apalagi marah, tapi karena senang, terlalu bahagia. Sang guru tidak pernah mengabaikan pendapat mereka. “Jadi … kita akan berpihak pada siapa?” Isidra yang asyik duduk di jendela selalu ingin memecahkan suasana. “Untuk apa berpihak?” Exilus menyela. “Kita tinggal ke atas dan ikut berperang, menunjukkan kekuatan. Kemudian kita akan lihat, siapa yang ingin tunduk dan siapa yang memilih jadi lawan,” jelasnya lagi dengan wajah berbinar terang. Gemuruh suara pertempuran kembali terdengar, kali ini Ash sampai kejatuhan debu-debu karena goncangan dalam ruangan semakin kuat. “Mereka akan menghancurkan dunia ini lambat laun,” komentar Sang Penyihir Agung sambil mendongak. “Mari bersiap.” Setelah Ash mengatakan hal tersebut Haiden langsung memasang badan, Javier menutup tudung kepalanya lagi, Exilus beranjak dari kursi, dan Isidra melompat ke luar. Memberikan pengumuman bahwa para penyihir akan ikut berperang. Dulu, dunia terdiri dari bangsa manusia yang mengandalkan kepintaran dan kecerdikan dalam bertahan hidup, dan kaum elf yang mengandalkan pengendalian khusus terhadap kekuatan alam. Kedua kubu ini hidup berdampingan, hingga suatu ketika terjadi bencana alam besar-besaran. Bongkahan batu-batu raksasa yang asing turun bagai hujan dan berhasil membuat luluh lantak bumi dan seisinya. Membuat dunia bagian manusia tidak ada satupun yang tersisa. Kini, hanya elf yang masih sanggup bertahan dengan segala kekurangan yang ada. Ketimpangan tersebut semakin lama semakin memprihatinkan, kemudian pemimpin bangsa manusia mengajak agar kaum elf mau bekerja sama. Namun, mereka menolak, kaum elf menganggap bisa hidup tanpa bantuan atau bekerja sama dengan manusia. Dendam masa lalu tersebut membuat manusia semakin gencar dalam mengembangkan teknologi perang sekaligus bertahan hidup. Setelah waktu lama yang berlalu dan kehidupan manusia semakin makmur, mereka melancarkan serangan balas dendam pada kaum elf. Terjadilah perang berkepanjangan atas dasar ingin saling memiliki tanah kekuasaan. Tidak ingin berbagi, saling menganggap ibunya adalah yang paling pantas dan paling hebat. Peperangan yang berlangsung lama tidak hanya berisi tentang permusuhan, tapi ternyata terselip juga kisah cinta yang panas di dalamnya. Hasil dari penyatuan antara manusia dan elf adalah makhluk yang memiliki ciri khas telinga runcing dengan tampang manusia paling indah dan kekuatan sihir yang melebihi elf jika berhasil dibangkitkan. Mereka disebut sebagai penyihir. Sayangnya penyihir tidak bisa hidup lama di dunia manusia, karena mereka akan berumur pendek. Begitu banyak juga penyihir yang meledak karena tidak bisa membangkitkan kekuatan dengan sempurna. Suatu ketika, salah seorang panglima tempur elf yang paling unggul secara tidak sadar telah menghabiskan malam dengan b***k manusia dan akhirnya melahirkan seorang penyihir. Meski begitu, dia tetap mencintai anaknya dan tidak ingin kehilangan. Maka sang panglima elf ini menghabiskan seluruh kekuatan dan keabadiannya demi membuka pintu, sebuah jalan menuju dunia bawah. Tempat di mana para penyihir bisa hidup dan mengembangkan kekuatan mereka lebih leluasa. Para penyihir pun secara naluriah dikirim ke sana. Pasangan sesama penyihir tidak dapat menghasilkan anak. Karena janin yang lemah tersebut akan mati di dalam kandungan, akibat tubuh sang ibu yang memiliki kekuatan alami dari darah elf. Hingga munculah Ash, seorang penyihir berdarah murni pertama dan satu-satunya, hasil perkawinan dari dua penyihir handal yang telah membangkitkan kekuatan mereka. Perang di dunia atas terus berlanjut sedangkan para penyihir mulai sibuk membangun peradaban mereka sendiri. “Buka.” Tangan panjang Ash menyentuh pintu perbatasan antara dunia bawah dan dunia manusia. Di belakangnya, sudah siap sedia sekumpulan penyihir siap tempur yang jumlahnya tidaklah banyak. Namun, bisa dipastikan mereka mampu memenangkan peperangan tidak berkesudahan di atas sana. Pintu merah kelabu dengan dua sisi yang menjulang tinggi, sampai harus mendongak untuk melihat puncaknya itu perlahan bergerak ke depan. Memperlihatkan pemandangan mengerikan dari dimensi yang membatasi dunia atas dan dunia bawah. “Bersinar.” Ash menjentikkan jari dan mengeluarkan cahaya yang terang benderang dari tubuhnya, begitu menyilaukan mata. Hal ini ia lakukan untuk membuat intimidasi kekuatan tingkat tinggi, sehingga para monster dari dimensi ini tidak berani mendekat apalagi melayangkan serangan. Seluruh penyihir di belakang sana langsung takjub dan mengikuti langkah kaki Ash dengan penuh kagum. Mereka terus melangkah sampai pada sebuah tangga besar yang begitu megah, di atas sana ada pintu lagi yang kali ini memiliki warna emas berkilauan. Ash memimpin semua orang untuk ke sana dan ketika membuka pintu, maka mereka langsung disuguhkan dengan tanah tandus dan sebuah peperangan. Isidra mengambil langkah ke depan, menarik napas sambil memegangi topinya yang kebesaran. “Wahai bangsa elf dan manusia! Kami, para penyihir dari dunia bawah, menyatakan perang secara terbuka!” Begitulah peperangan era baru dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD