Menjadi Asing

2181 Words
Perang antara manusia dan elf telah ternodai dengan campur tangan para penyihir. Kekuatan makhluk persilangan antara manusia dan elf itu bukan main dahsyatnya. Berbekal dengan ‘mencuri’ ilmu pengetahuan dan mengkolaborasikannya dengan kekuatan turunan dari darah elf, para penyihir sangatlah unggul dalam peperangan. “K-Kami menyerah! Penyihir Agung, tolong ampuni nyawa kami!” Salah seorang dari kalangan manusia memberikan sujud di depan Ash dan para penyihir lainnya. Mereka nekat memasuki area pemukiman sementara para penyihir demi mengibarkan bendera putih. Ada sekumpulan b***k serta sandang dan pangan yang mereka bawa sebagai persembahan. “Sudah kuduga,” ucap Ash yang masih betah duduk di kursi kebesarannya. “Manusia itu takut pada kekuatan yang mereka tidak ketahui. Tapi sayang sekali, aku tahu isi kepala kalian. Aku tidak akan pernah mau bersekutu dengan manusia,” imbuh pria dengan mata keemasan dan rambut putihnya yang berkilauan panjang. Tiga orang yang menjadi utusan tersebut langsung tersentak kaget. Keringat dingin mulai membasahi mereka yang gelagapan. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. “Tapi,” Ash tiba-tiba berdiri, “yang kami inginkan adalah kalian menghentikan peperangan dan hidup damai,” sambungnya, melangkah mendekat. Karena hanya dengan cara ini jumlah penyihir bisa meningkat secara signifikan. Ash tidak ingin kaumnya punah hanya karena ulah makhluk yang hidup di dunia atas. Para utusan manusia itu saling menatap, seolah bisa melakukan komunikasi dengan pikiran. “Pemimpin kami saat ini tentu tidak keberatan jika harus menghentikan perang. H-Hanya saja ….” Isidra yang sudah tidak tahan dengan gaya bicara manusia di sana pun melangkah mendekat. Kaki jenjangnya yang dibalut kain tipis dan sengaja menampakkan bagian paha, kini mendarat sempurna di pundak salah satu dari tiga utusan utama dari manusia tadi. “Bicara yang jelas! Kalian pikir siapa kalian sampai berani membuang-buang waktu Sang Penyihir Agung, hah?” galaknya dengan mata merah muda yang membelalak mengerikan. Nyali ketiga manusia tadi langsung ciut. “Elf! Bangsa elf kemungkinan besar tidak akan menerima perdamaian! Mereka haus akan tanah kekuasaan dan tidak ingin berbagi!” jawab teman di samping manusia yang diinjak Isidra. “Apa yang kau lihat!” geram Isidra pada orang yang dia injak bahunya ini. Melihat hal tersebut, Exilus segera meluncur untuk ikut campur. “Nona yang cantik jelita, tolong tenanglah. Bagaimana kalau kau lepaskan dulu kakimu itu dari pundak … eh, siapa namamu, Tuan?” “Jake,” jawab pria yang terlihat masih berusia dua puluhan itu. “Oh, Jake! Nah, Isidra, jauhkan kakimu dari Tuan Jake,” pinta Exilus secara baik-baik. Namun raut wajah Isidra menunjukkan hal sebaliknya. “Exilus, enyah kau. Aku ingin memberi pelajaran pada mata manusia yang berani sekali menatapku dengan tatapan seperti itu!” Mendadak panik, Jake segera menunduk dalam dan meminta maaf dengan terbata-bata. Exilus jadi memijat kepala, mendadak pusing. “Siapa juga yang tidak akan melihatmu kalau kau meletakkan kaki seperti itu?” gumamnya yang masih dapat terdengar orang lain. “Jangan mentang-mentang karena kau jenius, Exilus. Kau jadi sombong, ya? Apa kau lupa aku ini adalah murid wanita satu-satunya yang guru terima?” Isidra yang tersinggung menurunkan kaki dan sebagai ganti, ia mengarahkan telapak tangan yang terbuka pada Exilus. Salah satu penyihir tertua yang berdiri di dekat Ash, berbisik, “Penyihir Agung, apa ini tidak apa-apa? Mereka berdua bisa menghancurkan tempat perkemahan kita.” Ash sedikit menoleh dan tersenyum hambar. “Murid-muridku … memang tidak bisa akur.” Ash masih ingat saat pertama kali memperkenalkan Isidra kepada Haiden dan Exilus. Mereka langsung bertempur dan menghancurkan tempat tinggal Ash. Namun, reaksi ketiga bocah itu sedikit berbeda saat Ash membawa Javier, mungkin karena anak itu terlihat pendiam dan memang lebih suka menyendiri. “Haha.” Ash malah terkekeh sendiri mengingat momen-momen saat ia melatih keempat anak muridnya itu. Mereka dulu terlihat begitu lucu dan kini entah bagaimana malah jadi menyeramkan. Apa Ash sudah salah didik? “Ya ampun, ternyata Anda sama saja.” Penyihir yang tadi menegur Ash terlihat pasrah. “Kunci kedua, api membara, cahaya mentari fajar!” teriak Isidra menyebutkan mantra. Maka sebuah lingkaran sihir muncul dari telapak tangannya, disusul dengan kobaran api merah jingga yang menggulung besar menerjang Exilus. “Bergerak.” Tubuh Exilus reflek menghindar mundur bersamaan dengan gerakan pijakan tanah di bawah kakinya. “Kunci pertama, perisai pelindung, gunung tanah liat kecil.” Tanah di hadapan langsung naik, membentuk seperti gunung yang kecil, kira-kira lebih besar lima kali dari ukuran tubuh Exilus kini. Tanah tersebut berubah menjadi tanah liat yang menangkis dan menyerap sihir api Isidra. Semua penyihir di sana sudah cukup terbiasa dengan keributan murid-murid Ash yang mereka sebut dengan para petinggi. Ya, empat orang yang sangat random itu adalah para petinggi mereka dan Ash sebagai Penyihir Agung sekaligus pemimpin yang tidak kalah uniknya. Alasan keempat orang di sana bisa menjadi para petinggi bukanlah karena mereka adalah murid Sang Penyihir Agung, tapi karena mereka memiliki bakat luar biasa hebat. “Kau meremehkanku?” Isidra mengarahkan telapak tangannya ke bawah. “Pelindung mata air,” sebutnya dan langsung saja sebuah lingkaran sihir di tanah muncul, lalu kembali disusul dengan gelombang air yang menari dan memutari sekitar tubuh Isidra. “Bergerak.” Mata merah muda milik wanita itu bersinar terang. Kini tanah tempat ia berpijak mulai bergerak secepat kilat ke arah Exilus. “Hei, curang!” protes Exilus masih berusaha menghindar dari serangan Isidra. Ia membuat kecepatan tanah di kakinya bergerak ke kanan dan ke kiri sambil mundur dengan cepat. “Kau tahu aku hanya bisa menggunakan tanah dan… ah, sial!” Exilus dengan terpaksa membelokkan dirinya ke arah Javier, dan tentu saja pemuda pendiam di sana langsung bereaksi karena Isidra bukanlah tipe yang akan menyerah begitu saja. “Exilus! Jangan lari! Lawan aku! Kau selalu mengoceh bahwa guru menyukai otakmu dari pada kemampuan sihirku, kan?” “Duh, dasar pendendam.” Exilus lebih memilih berlindung di belakang Javier yang sudah menatapnya dengan tidak nyaman. “Maaf, ya. Tapi kau lihat sendiri betina di sana terus mengamuk.” Di mata Exilus, Javier adalah yang paling terkuat di antara mereka, apalagi ketika Javier meledak-ledak waktu itu, bisa membuat merinding hanya dengan mengingatnya saja. “Minggir, Javier.” Isidra mengerahkan tangan. “Kunci kedua, panah api, gerhana matahari!” Lingkaran sihir dengan warna biru berpadu merah muncul, kemudian gelombang api yang lebih besar keluar dari lingkaran sihir tadi. Api kali ini berbentuk anak panah dengan dengan warna merah dan biru yang setara, kekuatan dahsyat itu langsung menuju ke arah Exilus dan Javier berada. Javier tentu tidak akan diam saja. “Kunci pertama, ledakan bintang, supernova lubang hitam.” Sebuah lingkaran sihir berwarna gelap muncul, menciptakan gulungan hitam kecil yang membesar dengan cepat. Seperti membuat gerbang dimensi hampa, serangan api Isidra ditelan sampai lenyap oleh lubang hitam tadi. Inilah yang Ash sukai. Ia tidak merasa perlu untuk menghentikan perseteruan anak didiknya. Karena dengan bertarung satu sama lain, kemampuan mereka terasah dengan cepat. “Tidak ingin bergabung, Haiden?” Ash menoleh ke samping, mengulas senyuman menantang. “Tidak. Wajar kalau Isidra marah, mungkin sebaiknya manusia di sana yang lebih baik untuk dipukul.” Haiden menjawab tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Jake yang seakan terpesona melihat pertarungan gila di sana. Ash mengangguk-ngangguk sambil menggosok dagu. “Begitu rupanya, aku paham.” Ia lalu mengambil beberapa langkah ke depan. “Manusia, abaikan saja pertarungan di sana.” “Ya? Oh, maaf. Baik!” Senyuman lembut Ash masih belum hilang. “Bisakah kalian membujuk bangsa elf untuk berdamai lebih dulu? Kalau kalian berhasil, kalian tidak perlu menjalin ikatan dengan kami. Jujur saja, bangsa manusia sebenarnya takut pada kekuatan penyihir, kan?” Tiga manusia di sana serentak mengangguk cepat. “Kami akan mengawasi. Kalau kalian gagal, barulah kami bantu. Setelah itu kita bisa mengikat perjanjian, bagaimana? Bisa kau sampaikan ini pada pemimpin kalian?” “Tentu, tentu saja Penyihir Agung! Akan kami sampaikan, terima kasih banyak!” Mereka kembali memberi sujud. Di sanalah, sejarah bagi pemenang mulai ditulis. Bangsa elf yang malah semakin gencar menyerang manusia meski bangsa manusia terus mengupayakan perdamaian. Kemudian para penyihir mulai ikut campur tangan, membantu agar perdamaian tercipta. Sayangnya, hal tersebut sedikit melenceng. Karena kekeras kepalaan bangsa elf yang ingin menang, Sang Penyihir Agung akhirnya mengerahkan seluruh kekuatan untuk balik melawan bangsa elf. Hingga sebuah ledakan dahsyat membuat bangsa elf punah. Para penyihir secepat mungkin kembali ke dunia bawah, membiarkan segala urusan di atas kepada manusia. Kemudian, dampak dari peperangan tersebut mulai Ash rasakan. “Tanganku sudah mulai tembus pandang,” beo Ash menatap kedua tangannya yang terlihat samar-samar. Keempat wajah muridnya menjadi pias, mereka tidak pernah meninggalkan kuil kediaman Ash sejak kembali dari peperangan itu. “Exilus, gunakan otakmu yang jenius itu untuk menyelamatkan guru! Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau sampai gagal!” ancam Isidra dengan air yang mulai menggenang di bawah pelupuk mata. “Aku tahu, aku bahkan tidak pernah tidur untuk meneliti masalah ini!” balas Exilus kesal. Dia sangat benci pada dirinya sendiri karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa membantu gurunya sendiri. “Penyihir Agung ….” Heiden menatap nanar pada sosok guru yang telah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Ash lah yang mengajarinya banyak hal sejak pertama kali memasuki dunia bawah. Dia adalah murid pertama dan orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersama Ash. “Aku tidak apa-apa. Kematian itu wajar, kita sendiri dikatakan abadi karena bisa hidup ratusan atau bahkan sampai ribuan tahun. Sebenarnya tidak ada yang abadi di dunia ini.” Ash tersenyum lembut tapi entah bagaimana hal tersebut malah semakin membuat suasana jadi melankolis. “Ini pasti adalah hukuman. Hukuman karena aku memakai kekuatan sampai melenyapkan kaum elf. Aku sungguh pantas menerima ini.” Ash menatap satu-satu dari keempat muridnya yang berjongkok dengan satu kaki dilipat ke depan dan satu lagi dilipat kebelakang. Menegakkan badan dengan satu tangan di lutut depan. “Maaf,” lirih Javier yang menunduk dalam. Ia tidak ingin terlihat menangis. “Karena saya … karena saya meminta Anda untuk terjun ke medan perang---” Javier tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Tubuhnya mulai bergetar dengan kepala yang semakin menunduk dalam. Ash kini mulai merasakan tubuhnya juga mulai kelihatan samar, anehnya kekuatan alam di sekitar dapat ia rasakan bertambah kuat, seolah memanggilnya untuk bersatu bersama mereka, alam. “Kalian semua, dengarkan aku. Sepertinya waktuku tinggal sebentar lagi.” Tangan kiri Ash sudah melebur menjadi cahaya dan menguap ke atas. Ia tetap tersenyum lembut sambil melangkah ke hadapan para muridnya. “Haiden, kau adalah murid pertama yang kuajarkan sihir.” Tangan kanan Ash yang hampir tak terlihat itu menyentuh pelan pundak Haiden. “Kau adalah kekuatan itu sendiri. Jadi, lindungilah orang yang lemah.” Ash berpindah pada Exilus yang memiliki pipi lebih besar dari pada Isidra. “Exilus, kau adalah muridku yang paling jenius. Aku akan memberikan ini padamu, jadi kau bisa bertahan lama di dunia manusia.” Exilus yang awalnya menunduk langsung mendongak, matanya terbuka lebar. Ia merasakan sesuatu yang hangat tapi sangat kuat memasuki tubuh dan bersarang di jantungnya dari sentuhan sang guru. Exilus menerima berkat istimewa. “Aku rasa, hasil penelitianmu akan lebih berguna jika diterapkan dengan teknologi di dunia atas dan manusia.” Exilus melirik ke arah Isidra yang masih menunduk. Ia ingin sekali menolak berkat dan tugas berat ini, tapi tidak bisa. “Guru, Anda sangat tidak peka,” batinnya. Namun, tugas dari Ash tetap Exilus terima. “Isidra. Penyihir wanita satu-satunya yang kujadikan murid.” Ash mengangkat dagu Isidra agar mendongak menatapnya. “Kau memiliki jiwa kepemimpinan, rasa kepedulian, dan juga rasa keadilan yang tinggi.” Ash mengusap lembut sisi wajah sang murid. “Aku titipkan padamu para penyihir yang tersisa. Jangan pernah menyerah sampai akhir pada apa yang kau percayai.” Isidra tersenyum dalam deraian air mata. “Baik, Guru.” “Terakhir, Javier.” Ash menyentuh kepala lelaki yang dari tadi menangis dalam diam itu. “Kalau kau menyukai kesendirian, maka lakukanlah. Tapi jangan sampai kesepian.” Setelah mengatakan hal tersebut, perlahan tubuh Ash melebur menjadi bening-bening cahaya yang menyebar keseluruh dunia bawah yang pada dasarnya gelap gulita. Pada saat kematian Ash, dunia bawah berduka dengan bermandikan cahaya. *** “Lho? Kok aku punya tangan?” Ash yang baru saja membuka mata mendapati dirinya terbangun di sebuah kamar nan megah dengan segala parobat emasnya. “Apa aku hidup lagi?” herannya masih terpaku menatap tangan yang terlihat pias dan cukup kecil kalau dibandingkan dengan tangannya dulu. “Yang Mulai Pangeran Ketiga Belas! Anda sudah bangun? Pengawal! Cepat panggilkan tabib!” Hampir saja Ash terjungkal karena kaget. Suara dayang itu bukan main kerasnya, apa dia pantas berteriak begitu? Ash memutar kepala, menatap dayang tadi penuh tanda tanya. Tadi dirinya dipanggil dengan sebutan pangeran ketiga belas. Sepertinya jiwa Ash memasuki tubuh orang lain. Namun, kenapa? Kenapa mata dayang di ambang pintu sana malah terlihat ketakutan? Apa seharusnya tubuh ini sudah mati dan akan segera dikremasi? “Kenapa dia bisa bangun? Bukankah racun itu bahkan bisa membunuh puluhan manusia dalam hitungan detik?” bisik salah seorang penjaga pintu pada dayang di sana. Apa mereka pikir Ash bodoh sampai tidak mendengar percakapan dari jauh seperti itu? “Diracuni? Jadi pemilik tubuh ini adalah pangeran yang diharapkan mati.” Celaka. Jiwa Ash malah tersesat di kerajaan seperti ini dan lagi, jadi seorang manusia? Bagaimana bisa dia bertahan hidup kali ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD