Di dalam Figura Foto

1072 Words
[Hallo.] [Petugas dereknya sudah tiba kan? Mas masih ada pekerjaan, besok pagi-pagi Mas menyusul kalian,] jawabnya polos tanpa dosa. Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri. "Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu. "Oh begitu." "Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah, Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih. Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil. "Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu. "Halwa." Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh. "Radit, kok bisa di sini?" "Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang di berusaha di angkat petugas derek. "Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi. "Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-gorong." "Oh gitu. Untung tidak terjadi hal yang lebih parah. Kalian mau ke mana?" "Ke rumah Kakek, Om," jawab Bian. "Oalah, anak pintar," Radit berjongkok dan menyapa Bian. "Ini sudah hampir Magrib, mau om antar sampai rumah Kakek?" "Mau ..." jawab Bian antusias. "Bian ... Mas Radit mungkin lagi sibuk." "Enggak kok, aku bisa mengantar kalian dulu," ucap Radit kembali menghampiri Bian, "yuk, anak jagoan kita pindahkan barang-barangnya." [Hallo ... Hallo ... Halwa ... Halwa ....] Aku celingukan, siapa yang memanggil-manggil namaku? [Halwa!] teriaknya lebih nyaring. Aku menoleh pada ponsel yang sedari tadi kupegangi. [Hallo ... Mas. Aku kira ponselnya sudah mati.] [Siapa yang sedang berbicara denganmu?] tanyanya dengan nada tinggi. [Oh, itu Radit, Mas.] [Sedang apa dia di sana?] [Kurang tahu Mas. Tapi, aku seneng banget dia udah kaya malaikat penolong kami,] jawabku antusias. [Apa maksudmu! tunggu saja, aku akan segera datang.] [Tidak perlu Mas sudah ada Radit, tak perlu repot-repot kesini, selesaikan saja pekerjaanmu.] [Pagi-pagi aku akan menjemputmu.] [Tidak perlu juga Mas. Aku bisa minta bantuan Radit untuk mengantar pulang besok.] [Halwa! aku suamimu bukan dia!] teriaknya. [Aku tahu Mas. Kamu suamiku tapi lebih mementingkan hal lain dari pada kami!] jawabku emosi. Ponsel terus berdering, Mas Rian berkali-kali memanggil. "Hal ...." Radit sudah berdiri di samping pintu mobil, membukakannya, dan menungguku masuk. Aku melempar senyum, mengaktifkan mode senyap pada ponsel dan berjalan menghampiri Radit, masuk dan duduk di sampingnya. Memberi sedikit pelajaran pada Mas Rian yang egois. Meski hati sebenarnya gundah, memikirkan apakah mereka benar-benar bertemu di sana. 'Haruskah kuhubungi Riana?' bisikku dalam hati. Kebetulan tadi siang saat aku memegang ponselnya, aku panggilkan nomornya pada ponselku. "Hal," panggil Radit. "Ya." "Kamu kenapa melamun terus sih?" "Apa ada masalah?" tanyanya lagi. "Nggak Dit, aku nggak apa-apa." "Nggak mungkin, dari tadi aku lihat kamu melamun. Kita berteman dah lama loh, semenjak kuliah, kalau ada apa-apa kamu ngomong," ujarnya. Aku menatapnya sesaat, memikirikan apa yang ditawarkan Radit. Haruskah aku ceritakan masalah ini pada orang lain? "Nggak." Aku segera berbalik, melemparkan pandangan pada hal lain, "aku baik-baik aja Dit," lanjutku meyakinkan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, Bian sudah tertidur kembali, aku terus memikirkan Mas Rian dan Riana. Sedangkan Radit, kukira ia sengaja memberiku waktu untuk sendiri. Sampai di rumah ayah dan ibu mertua kami disambut dengan bahagia oleh mereka. Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajah ayah menyambut kedatangan Bian. Sedangkan aku mengobrol bersama ibu dan Sindi. "Ibu sangat senang kamu datang," ucap ibu berkali-kali, matanya hampir berkaca-kaca saat melihat Bian tumbuh sehat dan ceria. "Meski ...." Ucapannya terjeda. Aku tahu, ibu pasti mengharapkan Mas Rian datang. "Besok Mas Rian akan datang untuk menjemput Bu," jawabku membesarkan hatinya. "Untuk apa, kalau dia datang hanya untuk sekedar menjemput dan langsung pergi?" ucap Ibu lagi. Nampak terlihat kekecewaan dari raut wajahnya. "Ini sudah malam Bu, biarkan Mbak Halwa beristirahat." Sindi menimpali, mengelus lengan ibunya. "Ya sudah, kamu istirahat ya." Ibu akhirnya keluar dari kamar. Aku tidur di kamar Mas Rian saat ia masih di rumah ini, masih nampak rapi dan terurus. "Mbak kasian sama Ibu, ia pasti sangat merindukan anaknya. Kenapa juga Mas Rian begitu sulit untuk diajak datang ke mari," ujarku memancing Sindi untuk bercerita. Sindi menghela napas panjang, lalu duduk di sampingku. "Sindi masih kecil saat itu Mbak, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba ayah dan Mas Rian bertengkar hebat." "Kenapa? apa yang mereka permasalahkan." Sindi menggeleng, "Sindi juga tidak tahu pasti." "Saat itu yang Sindi tahu, Mas Rian punya kekasih namanya Riana, tapi ayah sangat melarang mereka berhubungan." "Oh begitu," jawabku pura-pura baik-baik saja, padahal hati merasakan perihnya saat nama Riana terucap berdampingan dengan nama Mas Rian. Sindi keluar untuk membiarkanku beristirahat, sedangkan Bian masih belum kembali ke kamar, biasanya ia akan tidur bersama ayah. Perasaanku masih tidak tenang, ini hampir pukul 21.00 pikiran jelek terus menggerayang, bayangan-bayangan pertemuan Mas Rian da Riana membuat dadaku serasa mendidih. Aku terus menimbang, apakah harus menghubungi Riana agar tahu posisinya saat ini. Namun, kuurungkan lagi agar tidak menimbulkan kecurigaan. Saat ini mataku terfokus pada sebuah foto Mas Rian yang terpajang pada sebuah figura unik dan mewah. Aku meraihnya dan melihat foto itu, ia sangat terlihat masih culun dan polos. "Figura yang cukup besar untuk dijadikan penyimpanan," lirihku saat melihat sekelilingnya. Penyimpanan? aku menjadi penasaran apakah ini bisa dijadikan penyimpanan, saat kuteliti lagi, ada lubang kunci yang tertutup. Melihat itu, aku segera menggeledah barang-barang Mas Rian, menemukan kunci yang cocok untuk membuka figura tersebut. Hampir semua penyimpanan di kamar ini aku geledah, tapi tidak kutemukan anak kunci di dalamnya. Sampai mataku terfokus pada sesuatu, mainan figuran seorang gitaris lengkap dengan gitarnya, ujung gitar tersebut mirip anak kunci. Aku segera mengambil dan mencobanya, kunci itu masuk dan dapat membuka figura. Hatiku lemas seketika saat kulihat di dalamnya terdapat banyak foto lama, dua pasangan sejoli yang dilanda cinta. Aku melempar foto-foto itu hingga berserakan, terhampar di lantai. Sedangkan aku merangkak menaiki tempat tidur, menahan d**a yang bergejolak. Lelaki yang telah kunikahi, bukan hanya menyimpan nama wanita lain di hatinya, tapi juga menyimpan kenangan manis mereka dalam hidupnya. Bagaimana aku bisa bertahan setelah ini? hatiku hancur seperti pecahan kaca. Aku meringkuk, menahan sesak d**a yang membuatku sulit bernapas, ingin menangis dan meraung yang tidak bisa kulakukan sekarang, hanya meratapi kesedihan dalam sunyi. Brak! pintu terbuka cukup keras. "Halwa, bagaimana kamu bisa membiarkan pria lain mengantarmu pergi tanpa seijinku!" teriaknya di depan pintu. Aku menoleh dengan mata yang membengkak, dia menatapku, lalu berjalan masuk perlahan. "Ada apa?" tanyanya pelan. Aku hanya diam, saat kakinya menginjak lembaran foto di lantai dan ia menunduk untuk memeriksa. Sunyi ... hening ... dingin ... itulah yang kami rasakan saat ini. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD