bc

Friendship Goals

book_age12+
575
FOLLOW
8.6K
READ
second chance
student
drama
comedy
sweet
no-couple
brilliant
genius
school
like
intro-logo
Blurb

Jika mencintaimu hanya membawaku masuk kedalam rasa putus asa. Maka aku akan dengan senang hati menolaknya. Tapi, apa kabar hati yang begitu sulit untuk ku kendalikan. Logika pun membawa ku makin larut dalam sebuah kesalahan.

-Dimas Praditya.

Bukan inginku terjebak dalam sebuah rasa nyaman. Tapi rasa itulah yang berhasil menariku masuk hingga lupa akan keadaan. Sebuah awal yang manis memaksaku untuk terhanyut akan pesonamu. Lalu semua berubah, saat dimana rasa indah itu di gerus akan sebuah kesalahan yang entah aku sendiri tak tau di mana salahku. Atau mungkin aku tak pernah melakukannya, melainkan kamu yang selalu mencari c***h akan setiap salahku. Aku di sini diam tanpa kata, menatap sendu akan semua kelakuanmu. menunggu dan berharap semua akan indah seperti sediakala, hingga sabarku sampai di penghujung batas. Dan berhenti menjadi pilihan terakhir yang aku miliki sebelum aku terlarut dalam luka yang kian menyayat hati.

-Kurnia Ayu Listari

chap-preview
Free preview
kesalahan masa lalu
Percaya atau nggak, Sebuah luka yang tertoreh di masa lalu, jelas akan sangat sulit untuk dilupakan, sesulit apapun kita berusaha, bayangan itu akan selalu ada, bahkan semua akan tetap sama, terlebih setiap luka akan meninggalkan sebuah bekas, yang mana akan sangat sulit untuk di hapuskan. Sekeras apapun kita berusaha untuk berubah, semua akan terasa sama, dan seluruh perbuatan buruk masa lalu akan terus menempel, bak noda kotor yang tertempel pada kain putih, polos, akan selalu meninggalkan bekas yang tentu akan sulit untuk di hilangkan. Sebuah hukum alam, dimana luka akan selalu berbekas, baik fisik maupun ingatan. Itulah yang terbayang di kepala Dimas saat ini. Bayangan di mana dia sudah membuat hancur hati seseorang yang sudah begitu tulus di hatinya. Kala itu, gerimis melanda, dia yang sudah menjalin hubungan dengan Nia terlihat resah untuk melangkah pergi, hari itu, dia memiliki janji dengan Nia, bertemu untuk menghabiskan waktu sore bersama sekaligus merayakan hari jadi yang ke dua tahun, yah, saat itu semua sudah berjalan seperti yang dia inginkan, perasaan cinta monyet itu berubah menjadi perasaan yang menuntut untuk terus memiliki Nia, dalam artian, di sama sekali.tidam rela jika Nia berada di dekat pria manapun. Dengan sikap posesifnya itu dia berusaha untuk menjadikan dia satu-satunya untuk dirinya. Lalu setelah semua berlalu, dengan sikap posesif yang dia miliki, dia malah membuat Nia merasa hancur. Tempat saat dia melihat Nia malam itu diantar oleh seorang pria ke lokasi tempat janji temu berada. Melihat keakraban yang ada diantara keduanya tentu membuat d**a Dimas bergemuruh, dia menahan marah dan emosi yang membumbung, membuat dirinya langsung beranjak dan menghampiri kekasihnya dengan tatapan marah. "Siapa dia?" Tanya Dimas tanpa basa basi, membuat dia orang yang tengah berbincang sebelum salah satunya pergi menoleh secara bersamaan. Nia yang melihat kekasihnya datang langsung memasang senyum manis, dia belum sadar jika saat itu Dimas tengah menahan emosi karena kedekatan dirinya dengan pria yang mengantarkan kekasihnya tadi. "Eh sayang... Maaf ya. Aku datangnya lama. Hujan soalnya." Dimas tak menghiraukan ucapan Nia, tatapannya masih tertuju pada pria yang saat itu seolah enggan untuk beranjak. "Aku tanya siapa dia?" Balas Dimas mempertegas. Bukan menjawab, pria ataupun turun dengan senyum polos lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Dimas. Sayangnya belum sempat pria itu menunjukkan keramahannya, Dimas langsung menepis tangan itu dengan kasar. "Gue tanya, siapa Lo?" Ucap Dimas dengan suara sedikit mengerang. "Sayang, dengerin dulu, dia ini sahabat aku, yang sering aku ceritain ke kamu." Kini Nia menjelaskan, mengucapkan sahabat dengan suara yang terdengar mengganggu di telinganya. "Sahabat?" Tanya Dimas dengan suara tak percaya "Kamu milih diantar sahabat kamu dari pada aku yang jemput kamu?" Tanya Dimas lagi, dia memang menyempatkan diri untuk menjemput Nia. Tapi kekasihnya itu menolak dengan alasan yang cukup sederhana. Dan Dimas memaklumi itu. Tapi siapa sangka jika kekasihnya malah memilih pergi dengan pria lain tepat di hadapannya. "Kamu pikir aku bodoh! Kamu bilang dia sahabat, tapi cara kamu memperlakukan dia sama sekali nggak mencerminkan kalo dia sahabat kamu!" "Tapi sayang... Aku bisa jelasin." "Bro, gue bisa jelasin ini. Tenang-" Dimas yang murka langsung maju memberi pukulan tepat di wajah pria itu membuat pria itu tersungkur de atas aspal. Dimas berdiri menatap pria itu. Lalu mengeluarkan makian yang tak sepantasnya dia keluarkan. "Gue nggak peduli Lo siapa dan apa tujuan Lo, tapi sayu hal yang harus Lo tau, gue nggak Sudi liat cewek gue Deket sama cowok manapun, jadi gue harap lo berhenti buat deketin cewek gue!" Lalu dengan emosi Dimas langsung menyeret nia dengan kasar, tidak peduli apa yang terjadi bahkan tidak peduli dengan teriakan Nia. Dia memaksa kekasihnya itu masuk ke dalam mobil dengan kasar dan membawanya ke apartemennya. Malam itu, sesuatu yang tak pantas telah di lakukan Dimas, membuat sebuah tatapan kebencian muncul di pelupuk mata Nia. Sebuah kelakuan yang diberikan Dimas yang mana sudah menorehkan sebuah luka. Dimas merenggut satu-satunya harta berharga milik Nia, yang membuat cewek itu terpuruk dan hancur karena kebodohan Dimas itu. ==== "Jadi, giamana kedepannya?" ucap seorang anak muda yang kini tengah asik dengan sebatang candu yang sudah menjadi kegemaran banyak orang di jalan sekarang, kemudian tangannya mulai bergerak, meraih cangir berisikan cairan hitam pengimbang sebuah nikotin dalam tubuh, kopi yang mampu menemani setiap hisap asap penuh akan zat berbahaya. Sedangkan sosok yang di tanya, hanya terdiam dengan tatapan tertuju pada ponsel di tangannya menampilkan sebuah aplikasi ** yang kini tengah menampilkan sebuah profil dengan foto perempuan Cantik terbungkus khimar berwana putih dengan senyum manis yang begitu memukau. "Kelamaan lo dim! udah langsung DM aja!" teriak satu lagi cowok yang kini tengah asik dengan gamenya, tanpa perlu repot mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Dimas, nama pemuda itu, seorang anak dengan penampilan khas yang memiliki rambut ikal, kulit putih dan tinggi 175cm menjadi salah satu pusat perhatian di sekolahnya, terlebih dia teman yang juga memiliki ciri khas tertentu membuat tiga orang itu menjadi pusat perhatian tiap kali mereka jalan bersama. Kembali ke Dimas, si cowok yang sedang gundah gulana itu tengah sibuk memandangi foto gadis berjilbab putih itu, mengalihkan pandangannya, menatap sahabat terdekatnya yang kini tengah asik menyesap sesuatu di tangannya. "Lo yakin, dia bakal bales?" Raka, teman yang seolah cuek namun peduli dengan kebimbangan Dimas hanya mendengus pelan, mengeluarkan asap dari dalam mulutnya dengan kasar, "sumpah lo jadi cowok cemen amat kali, udah langsung aja, lo DM. di bales syukur, nggak di bales ya udah, berarti lo udah nggak termaafkan lagi" Dimas, masih saja bimbang, bukan tak ada keberanian, hanya saja sebuah kata sungkan yang kini merayap masuk ke dalam otaknya, lalu kilasan bayangan masa lalu dimana kenangan kala masa putih abu tengah ia lakoni, terlebih sebuah hubungan Cinta monyet yang saat itu ia jalani dengan gadis cantik yang memiliki senyum ceria, suara manja dan selalu saja membuatnya tersenyum perlahan mulai tergambar jelas. Bayangan akan sosok itulah yang selama ini membuatnya tersiksa, merubah diri menjadi sosok yang tertutup dan dingin, tak pernah menjalin hubungan dengan gadis mana pun selama hampir dua tahun lebih, semua hanya karena perlakuan bodohnya kala itu, perlakuan yang mungkin telah menorehkan luka mendalam pada sosok gadis ceria yang dulu pernah mewarnai harinya. Bodohnya, bahkan kata maaf sekalipun tidak pernah terucap dari mulutnya, membuat dia semakin masuk dalam rasa bersalah yang tak ada habisnya. Lalu, kini semua bayangan itu menjadi alasan tersendiri, terlebih sebuah rasa ragu akan kepantasan dirinya untuk kembali hadir ke dalam kehidupan gadis itu seolah menjadi bayangan yang membuat kedua jarinya sulit untuk mengetik sepatah kata dan sebait kalimat sapaan. "Lo tau kan, ka? Gimana gue dulu." Ucapnya dengan nada lemah hampir tanpa suara di sana. Raka melirik Dimas sejenak. Mengeluarkan dengkusan kecil dari bibirnya sembari meraih ponsel kala dentingan notifikasi terdengar, hanya melihat, karena setelahnya ia sudah meletakan kembali. "Terus kenapa, ada masalah sama yang dulu?" "Ya lo kan jelas tau gimana gua dulu ke dia." Tersenyum meremehkan, Raka kembali menyesap batang candu di tangannya. "Emang lo yang dulu emang kenapa? Udah buat luka? Terus sekarang lo berpikir, dengan hadirnya lo bakal ngebuka luka yang udah lama tertutup? Enggak kan?" Balas Raka yang membuat Dimas tak bersuara. Dimas termagu, tak mampu membalas ucapan Raka. Membuang batang candu yang kini tinggal beberapa hisap lagi di atas absak, kemudian menyeruput kopi, dan menatap Dimas, "lo b**o masih aja di piara! gua tau lo gimana ke dia dulu, malah jelas gua paham kalo perlakuan lo yang dulu jelas udah buat luka di hatinya. Tapi itu dulu kan?" Dimas masih terdiam. "Gua kenal lo udah lama, dan selama 2 tahun ini gua yang selalu deket sama lo, gua yang tau gimana lo yang sekarang, bahkan selama 2 tahun ini, dengan bodohnya lo ngehukum diri lo sendiri karena perlakuan lo dulu, terus dengan itu semua apa lo masih nggak yakin kalo sekarang lo pantes sama dia. ayolah, men, gua tau lo udah berubah, dan sekarang tugas lo cuma buktiin ke dia kalo lo!" Raka menunjuk d**a Dimas dengan penuh penekanan "PANTES, buat dia!" Dimas, terdiam, merenungi setiap kata yang keluar dari mulut Raka. Dan jelas dia paham dengan maksud yang di utarakan oleh Raka, Dimas memang menghukum diri selama ini, berusaha keras untuk membuktikan bahwa dirinya telah berubah, berusaha meninggalkan kesan b******k dalam dirinya, menjadi lebih baik walau jelas itu akan sulit untuk di lupa. "Alah kelamaan lo!" teriak Arif tiba-tiba, pria yang sedari tadi asik dengan gamenya, kini berhasil merebut ponsel Dimas dengan kasar, lalu beberapa detik kemudian Bocah kurang ajar itu sudah mengetikan pesan, yang saat Dimas sudah berhasil merebut ponsel itu, pesan sudah terkirim, dan tertera ikon mata, sebagai bukti pesan sudah terbaca. "s****n lo!" sentak Dimas, melemparkan ponsel yang ada di tangannya kearah Arif, dan itu sukses mengenai jidat lebar milik sang sahabat. Walau jelas itu terasa sakit, namun Arif hanya terkekeh, sembari memamerkan ponsel milik Dimas yang sudah ada di tangannya, dan setelahnya Arif memilih cari aman, beranjak dari sana, dengan berlari menghindari makian dari Dimas. "Udah lah biarin bocah gila itu, anteng aja di sini" Dimas yang baru saja akan mengambil ancang-ancang memilih kembali duduk di tempatnya, melirik pada sahabatnya yang lagi-lagi mendiamkan ponsel kala benda itu berdering. Dengusan terdengar, namun Dimas seolah tak ingin ikut campur sebelum Raka memulainya, lalu sebuah pertanyaan keluar begitu saja dari mut sang sahabatnya itu. "Lo masih belum yakin, buat chat itu anak?" Dimas memilih mengangguk, dengan tangan meraih gelas kopi instan harga seribu rupuah itu, meletakan kembali gelas itu pada meja, saat sebuah cairan manis bercampur pahit itu melintasi tenggorokannya, lalu setelahnya ia menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, dengan pandangan menatap langit-langit ruangan. "Jujur, gue pengen deket lagi sama dia, candaan bareng, ketawa bareng, dan yang pasti dapet maaf dari dia" ada jeda sebelum Dimas melanjutkan. "tapi lo tau sendiri, keinginan gua jelas kalah sama rasa takut gua, keberanian yang gua miliki selalu luruh kalo gue inget gimana gua memperlakukan dia dulu, kadang aja rasanya gue pengen nyerah sebelum bertarung." Raka hanya menganggukan kepalanya, memainkan sisi cangkir dengan telunjuk dan tatapan kosong kearah isi cangkir di hadapannya, "lo tau?" terdengar kekehan pelan setelah kalimat tanya itu meluncur, "kadang semua yang ingin kita perjuangin selalu menganggap kita dengan sebelah mata, menilai semua hanya omong kosong dan bulshit, tapi secara nggak langsung tanggapan mereka malah membuat kita berpikir untuk mundur perlahan" Manusia jelas sama, hanya bisa memandang kesalahan kecil, yang mana mampu menghilangkan berapa banyak perbuatan baik yang bisa di torehkan individu itu. Yang jelas, "lo salah, dan akan selamanya salah", lalu mereka lupa, akan perbuatan baik yang pernah di torehkan entah itu banyak ataupun sedikit. Benar kata orang, satu juta kebaikan akan hancur hanya karena satu kesalahan, walau nyatanya Dimas tau, kesalahan yang ia buat bukan lah kesalahan yang kecil namun teebilang fatal. Hal yang membuat ia kehilangan kepercayaan dirinya, dan menjadi sosok ragu yang entah itu sejak kapan. Nanun yang jelas, setelah kejadian lalu ia sadar. Bahkan sangat sadar betapa bodohnya ia yang tak bisa memegang kata-katanya, lupa jika lelaki yang patut dipegang adalah perkataanya. Dimas masih termenung. Mendengar semua ocehan Raka yang entah kenapa begitu menohoknya, membuatnya kehabisan kata. Walau nyatanya perkataan Raka setelahnya seolah membangkitkan gairah mudanya kembali. "Udah lah, Mai sampai kapan lo merenung, kita di sini selalu dukung lo, jadi maju! Sebelum semua terlambat. Lo laki dan lo harus perjuangin apa yang menurut lo pantas untuk di perjuangkan, walau nggak dapet dia sepenuhnya, tapi setidaknya lo bisa dapet maaf tulus dari dia." menghembuskan nafas putih panjang di sertai senyum tipis raka kembali melanjutkan ucapannya. "Karena dengan maaf dari dia, gua yakin bisa ngerubah lo jadi sosok yang baru, setidaknya lo akan lebih hidup dan lepas dari rasa bersalah lo. Jangan jadiin perjuangan lo ini sebagai ambisi. Intinya dapetin maaf dari dia sebelum lo dapetin dianya balik" Entah kenapa ucapan yang terkesan meremehkan itu malah mampu membuat otak Dimas bekerja kembali. Bernar apa kata Raka, selama ini dirinya terkungkung oleh rasa bersalah yang tak ada habisnya. Merasa perbuatannya telah melukai hati polos sosok yang entah kenapa ia begitu tega menyayat kepercayaanya. Terkungkung oleh rasa bersalah itu bukan keinginannya. Hanya saja perlakuan bodoh itu lah yang menjerat dirinya. Dan jika tidak sekarang dia bangkit, lalu kapan? Menunggu sosok itu menjauh dan tak mau menolehnya kembali? Tidak-tidak. Membayangkannya saja sudah membuat Dimas merinding dan makin merasa bersalah. "Jadi tau kan apa yang harus lo lakuin sekarang?" Dimas mengangguk, lalu senyum tipis tersemat di kedua sudut bibirnya. "Thanks, Ka, lo emang terbaik!" ucapnya mantap dengan menepuk pundak raka. "Eh, Dim. Di bales noh" Arif datang terpogoh membawa serta dua ponsel di tangannya. Miliknya dan juga milik Dimas dengan ekspresi yang sulit di jabarkan. Mengerutkaan kening, Dimas tak paham akan arti ucapan Arif, sampai kemudian setelah ponsel miliknya kembali ke tangannya barulah ia paham, sebuah balasan singkat yang entah kenapa membuat hatinya bergemuruh, antara senang, takut, dan juga malu. Di pandanginya ponsel di tanganya beberapa saat sebelum ia melemparkan pandang kearah Raka yang menatapnya dengan senyum santai. "Kenapa? Masih ragu setelah kesempatan udah di depan mata?" Itu bukan pertanyaan bagi Dimas, melainkan sebuah tantangan yang kian membakar semangat di dirinya. Benar kata Raka, sekali ini ia kan mencoba mempertaruhkan segalanya hanya untuk sebuah kata maaf, jangan terlaku berambisi untuk merunah semua meejadi seperti dulu, karena nyatanya itu tak akan mungkin terjadi. Cukup dapatkan kata maaf darinya dan ia akan lepas dari semua rasa bersalahnya. Dengan tekat semangat dan kemungkinan tolakan, Dimas mulai mengetikan balasan yang berisikan sebuah ajakan pertemuan di sebuah kafe. Kafe langganan dan kesukaan sosok itu, kafe tempat dimana ia menghabiskan dua tahun lamanya hanya untuk menatapi sosok itu dari kejauhan tanpa berani mendekat ataupun menampakan batang hidungnya. Hingga menit berlalu cukup lama, Dimas yang mulai usahanya tak terbalaskan melemparkan pandangnya menatap Raka seolah meminta jawaban, yang sialnya malah di balas oleh kedikan bahu. Yang membuat Dimas menghembus nafas panjang, Pupus sudah kesempatan dan harapan yang ia miliki. Mungkin memang Dimas di takdirkan untuk terkurung dalam belenggu kesalahan masalalunya. Entah sampai kapan. Dengan tak semangat, Dimas melemparkan ponselnya ke atas meja, tepat setelah bunyi tuk, benturan atara ponsel dan meja, yang di susul suara notifikasi yang mampu membuat Dimas menahan nafasnya untuk beberapa detik, dengan tatapan yang tertuju pada layar ponsel yang kini sudah menyala. "Jam 4 di meja nomor 5, gue tunggu lo di sana." Satu kalimat yang mampu membuat senyumnya terbit dan merasa jika inilah kesempatan untuk dirinya. Ahh benar apa kata Raka, jika Tuhan tak pernah mau menyudutkan umatnya dalam rasa bersalah yang kempanjangan. Dan inilah kesempatan untuknya, walau masih banyaj kemungkinan buruk yang menunggunya nanti. Tapi dia harus berani mengambil resiko.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Scandal Para Ipar

read
694.5K
bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook