Chapter 40 : Blue Bird

1339 Words
Satu hari pun berlalu, Vincenzo yang sudah kembali sadar juga telah kembali masuk ke dalam ruang putih di mana ia seharusnya berada. Ketika Vincenzo kembali, Carina langsung menyambut anak laki-laki itu dengan memeluknya dengan erat. Dia sangat bahagia mengetahui kalau Vincenzo tidak kenapa-kenapa, kemudian Vincenzo berkata pada Carina supaya tidak cemas. Carina pun melepaskan pelukannya, lalu Vincenzo pun memerhatikan sekitar. Ia tidak melihat Glen dan kelompoknya di dalam ruangan ini, sehingga bertanya pada Carina, “Ke mana orang yang bernama Glen dan teman-temannya itu sekarang?” Vincenzo bukannya peduli pada mereka, melainkan hanya bertanya-tanya saja. Tanpa menunggu lagi, Carina menjawab, “Mereka dipindahkan ke ruangan lain sebagai hukuman. Apakah kau mencemaskan mereka?” “Tidak sama sekali. Justru lebih baik kalau mereka tidak pernah kembali lagi ke ruangan ini.” Beberapa saat kemudian, seorang pengurus panti asuhan datang, dan serentak anak-anak di dalam ruangan putih ini duduk rapi di lantai. Carina pun menarik tangan Vincenzo, lalu duduk di barisan paling belakang. Vincenzo tidak tahu apa yang akan terjadi, membuatnya sedikit penasaran. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” “Kita akan belajar, itu sudah merupakan sebuah rutinitas yang biasa di sini,” Carina menjelaskan. “Kita tidak hanya diajari tentang teori, tetapi juga mereka memaksa kita untuk bertarung satu sama lain. Ini sudah rutin dilakukan semenjak setengah tahun yang lalu.” Mendengar itu, Vincenzo pun mengangguk, sudah mengerti apa yang terjadi di sini, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sang pengurus panti asuhan yang adalah seorang wanita yang tidak begitu tinggi dengan tubuh ramping, menerbangkan sebuah drone yang kemudian menampilkan tulisan dan gambar di dinding. Dari sana, dia mulai mengajar semua yang perlu diajarkan, dan semua anak yang ada dalam ruangan putih ini pun menyimaks setiap penjelasannya. Vincenzo sendiri sudah pernah diajari membaca, sehingga mudah baginya untuk beradaptasi di sini, di mana anak-anak selain dirinya juga sudah lancar membaca dan berhitung di usia yang begitu dini. Setelah waktu yang cukup panjang, si pengurus panti asuhan tadi pun pergi setelah menjelaskan pelajaran dan memastikan tidak ada murid yang kebingungan. Setelah pelajaran berakhir, Vincenzo bertanya pada Carina, “Apakah mereka hanya mengajari kita dengan cara ini tanpa ada apa pun lagi setelahnya?” Carina menggelengkan kepala. “Mereka akan menguji kita pada setiap akhir bulan, dan yang tidak lulus akan mengulangi pelajaran atau bahkan dipindahkan ke ruangan lain. Dan biasanya ada juga yang datang dari ruangan lain ke ruangan ini, atau sebaliknya. Intinya seperti itu.” “Hm ....” Vincenzo mencerna penjelasan Carina. “Baiklah, aku mengerti.” Sekarang, setidaknya Vincenzo sudah memiliki gambaran tentang beberapa hal atau aturan di tempat ini, jadi membuatnya lebih mudah saja melakukan sesuatu. Setelah jam pelajaran berakhir, datang lagi beberapa pengurus panti asuhan yang memberikan mereka makanan. Di sini semua anak diatur makannya sesuai dengan kebutuhan mereka, dengan harapan ketika mereka dewasa akan menjadi anak yang sesuai dengan harapan besar mereka. Namun, karena dana yang tidak terlalu mendukung, mereka membuat sebuah hitungan rata-rata kebutuhan semua anak, lalu memberi mereka makan yang sama, dengan kandungan yang sama pula. Usai makan, mereka beristirahat sejenak, ada yang bermain, dan ada pula yang hanya diam atau mengbrol satu sama lain. Setelah jam istirahat selesai, mereka diatur untuk tidur siang selama kurang lebih satu setengah jam, baru setelah itu mereka mendapatkan pelajaran lainnya. Hingga akhirnya, sore hari pun tiba, tepatnya pada pukul 3 sore. Kali ini mereka semua dibawa ke sebuah lapangan, kemudian dilatih bertarung di sana. Setiap ruangan mempunyai lapangan mereka masing-masing, sehingga ketika waktu latihan di lapangan pun, anak dari masing-masing ruangan tidak dicampur, melainkan dipisah, dengan pelatih yang berbeda pula. Sebelum pemanasan dimulai, mereka berbaris, dan kebetulan pula Vincenzo berdiri bersebelahan dengan Carina, sehingga Vincenzo kembali bertanya untuk ke sekian kalinya, “Apa mereka sudah rutin melakukan ini setiap harinya?” Vincenzo benar-benar penuh dengan pertanyaan. “Iya, sudah rutin dimulai semenjak setengah tahun yang lalu,” jawab Carina, sedikit berbisik agar tidak ketahuan. “Sebelumnya, kami hanya diajarkan olahraga biasa, tetapi sekarang sudah berbeda.” Belum sempat Vincenzo menyahut lagi, seorang pengurus panti asuhan yang lain, yang adalah pelatih mereka pada hari ini, datang. Dia adalah seorang pria tinggi dengan tubuh kekar dan penuh otot. Tanpa banyak basa-basi lagi, pria itu langsung berkata, “Cepat selesaikan pemanasan kalian sendiri. Kalian sudah bisa melakukannya tanpa perlu menunggu arahan lagi, kan?!” “Baik!” Semua anak yang berbaris pun segera melakukan pemanasan, sesuai dengan apa yang diperintahkan. Mereka semua pemanasan perorangan, dengan ritme yang serasi, supaya tidak membuat pelatih mereka marah dan mengamuk. Mereka tahu kalau hal tersebut pasti akan menakutkan bila benar terjadi, sehingga berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengacau, atau semuannya akan menjadi menakutkan. Usai pemanasan selama kurang lebih lima belas menit, si pelatih pun berkata, “Hari ini kita akan berlatih melemparkan pisau ke sasaran. Tidak dibiarkan untuk kembali ke ruangan sebelum berhasil melakukannya, bahkan bila malam sudah tiba!” Anak-anak yang mendengar instruksi itu pun, mulai ada yang berbisik satu sama lain dengan begitu pelan agar tidak ketahuan, “Kalau pelatih Dom sudah berkata begitu, maka pasti akan begitu. Aku harus melakukan yang terbaik agar lulus dari latihan ini!” kata salah satu dari mereka. “Aku pernah dengar di ruangan lain, ada yang berlatih hingga subuh bersama pelatih Dom, karena tak kunjung bisa melakukan apa yang pelatih suruh,” tambah yang lain, membuat kesan pelatih mereka sekarang—Dom, menjadi semakin buruk saja. Di sisi lain, Vincenzo tenang-tenang saja ketika mendengar itu. Sebelum tiba di sini, ia juga diajari banyak hal, jadi kalau hanya melempar pisau pada target, itu adalah sesuatu hal yang mudah. Bahkan, di tempatnya sebelumnya, perlakuan terhadapnya sangat ketat, sehingga perlakuan di sini ia nilai sangat longgar. Di sebelah Vincenzo, Carina berbisik, “Vincenzo, apa kau tidak takut setelah mendengar itu semua?” Carina tampak begitu khawatir sekarang kalau dirinya tidak bisa melakukan sesuai yang diperintahkan oleh pelatih. “Tidak perlu khawatir, Carina. Hanya melemparkan pisau saja, itu sangat mudah untuk dilakukan,” jawab Vincenzo, sangat tenang. Tidak disangka, ternyata pelatih Dom mendengar itu dan langsung menantang Vincenzo, “Kau yang di sana,” katanya, menunjukkan Vincenzo, sehingga Vincenzo menunjuk dirinya sendiri. “Iya, kau. Kau sepertinya cukup percaya diri dengan kemampuanmu, bagaimana kalau kau buktikan?” “Baiklah.” Tanpa ragu sedikit pun, Vincenzo maju ke depan, diberikan jalan oleh anak-anak lainnya. Di sisi lain, Carina menjadi Sangat cemas, kendati yang dipanggil adalah Vincenzo, bukan dirinya. Sementara itu, seperti biasanya, anak-anak lain pun mulai berbisik-bisik tentang Vincenzo dan mengatakan pendapat mereka masing-masing. “Dia adalah si anak baru itu? Dia kemarin berhasil mengalahkan Glen, apakah dia sangat berbakat dalam melempar pisau juga?” bisik mereka, bertanya-tanya satu sama lain. “Mungkin dia hanya ingin belagak di depan Carina, dan malah dipanggil oleh pelatih Dom,” kata yang lain. Tidak mau menghiraukan semua bisikan itu, Vincenzo lantas berhenti tepat di depan pelatih Dom. Dan tanpa banyak basa-basi lagi, Dom langsung menyerahkan pada Vincenzo sebuah pisau kecil, lalu menunjukkan target berupa beberapa tiang kayu di belakangnya. “Lemparkan pisau ini ke arah tiang kayu itu, terserah tiang kayu yang mana, tepat di tengah-tengahnya. Kalau kau berhasil, kau lulus dan bisa beristirahat,” kata pelatih Dom, tidak yakin kalau Vincenzo bisa melakukan sesuai perintahnya. Sejenak Vincenzo melirik pisau di tangannya, mempertimbangkan berat pisau itu, kemudian menatap lurus targetnya. “Aku hanya perlu melemparkan ini agar mengenai salah satu tiang kayu itu, kan?” Vincenzo mencoba memastikan. “Ya, hanya itu yang perlu kau lakukan.” Dom masih sangat santai dan yakin kalau Vincenzo sebenarnya tidak bisa melakukannya dengan baik. Terlebih di saat ia melihat Vincenzo tak membentuk kuda-kuda apa pun. Dengan tenang dan kencang, Vincenzo melemparkan pisaunya. Langsung saja pisau tersebut menancap tepat di tengah-tengah salah satu tiang kayu, yang menjadi bidikan Vincenzo. Dom yang melihat ini jelas terkejut bahkan tidak dapat berkata apa-apa. Vincenzo melakukannya sangat jauh lebih baik dari apa yang dibayangkan oleh Dom. Bahkan, Vincenzo juga melakukannya dengan cepat. “Lihat, ini pasti bohong, kan?! Anak baru itu sanggup memenuhi tantangan pelatih Dom!” Anak-anak lain pun langsung terkejut dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD