Chapter 1 : New World

1231 Words
Vincenzo berdiri di atas sebuah dinding tinggi, menatap hamparan tanah tandus berisikan bangunan yang telah rata dengan tanah. Sudah seminggu sejak terakhir ia dan kelompoknya berhadapan dengan Helmer. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda keberadaan mahkluk buas itu sekarang. Seorang gadis tiba-tiba melompat dari bawah dinding menggunakan sepatu berpendorong, lalu berdiri tepat di sebelah kanan Vincenzo. “Kau sedang melihat apa?” tanya si gadis. “Tidak ada. Aku hanya memerhatikan reruntuhan ini untuk terakhir kalinya,” jawab Vincenzo, tak acuh. “Benarkah itu?” “Hei, Carina ....” Vincenzo terdiam sejenak. “Jika semisal aku bermimpi mengembalikan dunia tanpa adanya Mahkluk Buas. Apakah aku bisa dibilang gila?” Carina sedikit tersenyum. “Bukankah dunia ini memang sudah gila?” “Haha, kurasa kau benar.” Suasana menjadi hening selama beberapa waktu. Angin berembus kencang menerpa mereka berdua dalam waktu bersamaan. Vincenzo terdiam, matanya tertuju pada sesuatu yang tampak buram dari sini. Perlahan pemuda itu mengangkat tangan, meletakkannya di kening kemudian menerawang ke depan dengan saksama. Tak lama dia langsung melompat ke belakang. “Ada apa?” Carina langsung dibuat kaget oleh tingkah Vincenzo. “Itu adalah kawanan Ulrich!” Seketika Vincenzo merentangkan tangan kanannya ke samping lalu melompat ke bawah sesegera mungkin. “Vincenzo!” Carina hendak menghentikan pemuda itu, tetapi tangannya hanya bisa terulur tanpa dapat meraih punggung Vincenzo. Sementara itu, Vincenzo mengaktifkan sepatu berpendorong untuk mendarat perlahan. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi logam, dari celah di lengannya itu muncul butiran cahaya yang kemudian memadat membentuk sebuah pedang panjang serta lebar. Kakinya melangkah kian cepat, tubuh ia rendahkan agar bisa melaju secepat mungkin. Namun, saat di tengah perjalanan, ia mematung kaku, dirinya tidak dapat bergerak walau sejengkal. Matanya terbelalak lebar, tersirat rasa kaget juga penuh harap. Jauh di depan pemuda tersebut, sekitar 5 orang berseragam hitam sudah berjejer menghadap kawanan Ulrich. Mereka tampak santai, tak merasa tertekan ataupun gugup. Mereka serentak melompat, menyerang satu per satu Ulrich menggunakan kekuatan misterius. Salah seorang dari 5 orang berseragam hitam tadi menciptakan petir dahsyat yang seketika menghentikan gerakan Ulrich. “Hia!” serunya kala sekali lagi petir menyambar. “Serahkan bagian ini padaku!” Seorang yang lain langsung menciptakan bola api raksasa dari telapak tangannya yang terangkat ke atas. “Rasakan ini dan jadilah makan malamku!” dia berteriak, lalu melemparkan bola api tersebut kepada kawanan Ulrich. Vincenzo hanya terdiam, memandang takjub ke arah pertempuran itu. “Inikah ... God Crusher?” ucapnya tanpa sadar karena saking takjubnya. “Sudah kubilang 'kan? Kau cukup menunggu di sini saja.” Carina berjalan mendekati Vincenzo. “Atau mungkin kau sudah lupa dalam jarak 100 meter dari Shelter terdapat God Crusher sebagai pertahanan terkuat?” Kala itu, pedang besar di tangan Vincenzo kembali berubah menjadi cahaya kemudian masuk ke dalam lengan bajanya. “Ternyata mereka jauh lebih hebat dari perkiraanku.” “God Crusher jauh berbeda dari prajurit biasa seperti kita. Mereka dikatakan mampu mengalahkan Hara walaupun jumlah mereka pada setiap Shelter hanya sepuluh orang.” Vincenzo tersenyum, entah menyiratkan rasa sakit di hati atau memang takjub. “Tapi, kurasa itu agak kurang dapat dipercaya. Kau tahu sendiri, Hara pernah menghabisi banyak prajurit biasa walau dia hanya sendirian.” “Dan tetap saja tidak mengubah kenyataan kalau Shelter belum ada yang hancur karena penjagaan God Crusher.” Setelah itu Carina berbalik, mulai melangkah pergi meninggalkan Vincenzo. “Itu karena mereka belum pernah melihat atau bertemu dengan Hara.” Tangan Vincenzo mengepal erat, pikirannya mulai menampilkan kenyataan pahit yang pernah ia alami dahulu sekali. Ketika mata Vincenzo kembali menatap pertempuran God Crusher melawan kawanan Ulrich, ia dapat melihat dengan jelas ke-5 god crusher di sana masih berdiri tanpa luka walau sudah meledakkan habis semua Ulrich. Salah satu dari mereka adalah seorang pemuda berambut merah gelap panjang. “Sekuat apa pun kalian,” gumam Vincenzo sembari menundukkan kepala, “kalau hanya berdiri di garis aman, tidak akan ada yang berubah dari dunia ini.” Ia segera membuang muka, berjalan perlahan kembali ke Shelter mengikuti Carina. *** Kedua remaja itu kembali ke atas dinding. Kali ini Vincenzo menatap deretan rumah warga yang cukup sederhana dan berbahan kayu bercampur beton. Meski perkembangan teknologi begitu melenjit, tetapi sedikitnya sumber daya alam sekarang membuat perkembangan tersebut terpaksa harus terhenti. Sesaat Vincenzo menatap sebuah gedung yang lebih tinggi dari bangunan lainya. Sejenak terpikir olehnya sesuatu hal, tetapi segera pemikiran tersebut sirna kala angin berembus, seolah datang untuk menghapusnya. “Vincenzo, sebenarnya kau ini kenapa?” tanya Carina dengan nada datar. “Aku ....” Kepala Vincenzo tertunduk, kedua tangannya mengepal erat. “Aku akan menjadi kuat!” Ia berteriak sembari menengadahkan kepala. Napas pemuda itu seketika terengah, tadi adalah teriakannya yang paling keras. Bahkan, Carina langsung terperanjat ketika mendengarnya. “He-hei....” Terlihat jelas kalau Carina menghawatirkan Vincenzo. “Carina, ayo kembali dan berlatih. Setelah aku mengalahkan semua Makhluk Buas, kita akan bisa hidup tenang tanpa kesusahan mencari makanan.” Vincenzo pun melompat, berlari sekuat tenaga menuju gedung yang dia lihat beberapa waktu lalu. “Tunggu aku!” seru Carina kemudian melompat ke bawah mengejar Vincenzo. Keduanya terus berlari, melewati perumahan agar bisa sampai ke gedung besar di depan mereka sekarang. Vincenzo langsung masuk ke dalam tanpa memperhatikan sekitar, di sini cukup kosong sampai kurang layak disebut sebagai markas besar baik prajurit maupun God Crusher. Tanpa mau berhenti sedetik pun, Vincenzo bergerak secepat kilat memasuki sebuah ruangan khusus. Tampak oleh matanya sosok seorang pria paruh baya tengah mengamati pertempuran dari layar lebar yang ada di ruangan ini. “Profesor Frank, biarkan saya berlatih sekarang berhubung tak ada misi,” ucap Vincenzo penuh wibawa pada pria setengah tua bernama Frank. Frank mengalihkan pandangan pada Carina. “Gadis yang di sana itu—” “Dia tidak ikut, cukup aku saja!” potong Vincenzo. “Aku ikut denganmu, Vincenzo.” Sebuah kalimat tak terduga telontar dari mulut Carina. “Kau yakin?” Vincenzo menoleh pada Carina. “Aku adalah tombak dan perisaimu.” Carina tersenyum tipis usai mengatakan kalimat tersebut. “Cih. Baiklah. Tapi aku takkan mau menolongmu jika terjadi sesuatu.” “Itu tidak diperlukan, karena ini hanyalah latihan.” Tanpa basa-basi lagi, Vincenzo dan Carina memasuki sebuah tabung besar setelah dipersilahkan oleh Frank. Tabung ini merupakan tempat untuk mengirim mereka ke tempat latihan secara acak. Tidak ada yang tahu di mana sebenarnya mereka berpijak sekarang. Sebuah lapangan tandus penuh debu, itulah kesan pertama Vincenzo akan tempat ini. Terik matahari begitu menyengat, membuat keringat cepat keluar dari pori-pori lalu membasuh tubuh seperti mandi. Di sebelah kiri Vincenzo, Carina memperlihatkan lengan kanan bajanya. Sama seperti Vincenzo tadi, butiran cahaya keluar dari celah-celah kemudian memadat, tetapi bukan menjadi pedang, melainkan sebuah senapan besar serta panjang. Carina membuka penutup penyimpanan peluru pada senapannya lalu memasukkan tangan kanannya ke dalam tempat peluru tersebut. Gadis itu perlahan mengalirkan energi di lengannya pada senapan sambil terus mengamati sekitar. Tidak ingin kalah dari gadis itu, Vincenzo mengayunkan pedang panjangnya beberapa kali lalu melangkah maju. Dari arah depan, makhluk melompat berkaki dua, datang. Makhluk-makhluk tersebut berukuran sedikit lebih besar dari manusia, kaki mereka hanya terbuat dari tulang keras tanpa kulit, sedangkan tubuhnya mirip katak tetapi memiliki topeng dari tulang serta berwarna coklat layaknya padang pasir. “Pertama-tama, Froggys, mahkluk rendahan level satu,” gumam Vincenzo sembari menebas-nebaskan pedangnnya. Namun, para mahkluk tersebut langsung meledak begitu saja sebelum Vincenzo dapat menebaskan pedangnya. Ketika ia menoleh ke belakang, senyum manis terbentuk di bibir Carina, karena ialah yang meledakkan para Froggys menggunakan senapan besarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD