Chapter 2 : Froggys

1124 Words
Froggys semakin bertambah banyak, berdatangan entah dari mana mengerubungi Vincenzo dan Carina. Keduanya saling menatap ke arah berbeda sambil menempelkan punggung. “Tampaknya kita harus mengerahkan semua kemampuan untuk menaklukkan makhluk-makhluk ini,” ucap Carina sembari memasukkan tangan kanannya ke dalam pengisi energi senjatanya untuk ke sekian kali. “Mereka memang sangat lemah, tapi jumlah ini sangat banyak.” Vincenzo mengalirkan energi di tangan kanannya pada pedang miliknya. Ia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. “Siap?” Setelah menghela napas, Carina juga ikut bersiap menyerang seperti Vincenzo. Sekali lagi Vincenzo menghela napas, tatapannya kini kian tajam menatap kawanan Froggys yang kini berjalan mendekati mereka berdua. Dalam satu hentakan kaki, kedua orang itu maju ke arah berbeda. Vincenzo mengayunkan pedangnya beberapa kali, memotong para Froggsy begitu mudahnya. Asap tebal langsung mengelilingi pemuda itu usai membantai habis kawanan Froggys. Pedang di tangannya berapi-api, membakar mayat-mayat Foggys dalam sekali serang. Walaupun terlihat kuat, tetapi aslinya pedang ini hanya bisa bertahan melawan Ulrich, tidak lebih dari itu. Sekali lagi Vincenzo berlari, beberapa Froggys sudah melompat ke arahnya, tetapi ia tidak gentar sedikit pun. Satu Froggys melompat dari depan hendak menerjangnya, Vincenzo melompat juga lalu menebaskan pedang berapinya secara horizontal. Sebuah garis setengah lingkaran tercipta, dengan serangan tersebut Froggys yang menyerangnya langsung putus menjadi dua bagian. Tidak hanya itu, kini kawanan Froggys melompat secara bersamaan hendak menyeruduk Vincenzo dari bawah. Pemuda tersebut masih tak gentar. “Hia!” Sekuat tenaga ia menebaskan pedangnya, memotong tubuh para Froggys dalam sekejap mata. Vincenzo mendarat, perlahan api di pedangnya menghilang. “Jadi batasku hanya 5 menit.” Tangannya mengepal erat, menandakan betapa kesal ia sekarang. “Sial! Jadi kekuatanku masih sangat jauh dari cukup untuk mengalahkan makhluk itu!” “Sepertinya kau juga sudah selesai.” Segera Vincenzo berpaling ke belakang, di sana terlihat Carina berjalan santai ke arahnya. Sebuah senyum Vincenzo tunjukkan untuk gadis tersebut. “Ya, tapi kekuatanku sudah sangat lemah sejak waktu itu.” “Bagaimanapun, tangan kananmu masih dalam tahap perawatan, kau tidak boleh memaksakan diri untuk bertarung.” Carina mengembalikan senapan besarnya dalam bentuk cahaya lalu menyerapnya. “Karena sudah cukup lama kita di sini, ayo kembali.” Meski enggan, Vincenzo tetap mengangguk sembari mengembalikan pedangnya dalam bentuk cahaya dan menyerapnya. “Baiklah, ayo. Lagipula aku juga tak mempunyai kesempatan untuk menghadapi Helmer maupun Ulrich.” Ia mengangguk, hanya beberapa saat keduanya sudah kembali dalam tabung. Dalam sebuah ruangan luas, seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Vincenzo dan Carina itu. “Kukira kau akan berada di dalam sana sedikit lebih lama, ternyata tidak ....” Pria itu mengelus janggutnya sambil menyiratkan sebuah maksud tesembunyi. Vincenzo berlalu mengabaikan pria tersebut. “Mr. Frank, aku tahu kemampuanku saat ini.” Tanpa berbicara pada siapa pun lagi, Vincenzo dan Carina keluar dari markas besar. Di gerbang masuk, mereka bertemu dengan beberapa orang. “Yo!” Vincenzo melambaikan tangan. “Kalian sepertinya menjalankan misi dengan sukses lagi tanpa kehadiranku, Edward, Keith, Angel.” Perlahan ia mendekat pada tiga remaja tersebut. “Tentu saja, Vincenzo!” jawab Edward santai. “Kami tidak boleh terus berharap pada monster kecil sepertimu.” “Hahaha.” Vincenzo hanya tertawa kecil, teman-temannya ini tidak tahu masa lalu dirinya, maka ia sangat memaklumi mereka menyebutnya monster kecil. “Apakah kau baru selesai latihan?” tanya Angel, ramah. “Sebenarnya, ya. Tapi aku keluar sebelum berhasil menghadapi Ulrich lagi.” “Berapa banyak Helmer yang kau bantai, Vincenzo?” Edward mencoba mengajaknya untuk bercanda. Vincenzo menggaruk kepala. “Haha, kemampuanku masih belum bisa mengalahkan Helmer seorang diri, Edward. Kau sudah tahu sendiri aku hanya pandai saat bersama tim.” “Aku meragukan itu. Seharusnya dengan tenaga gajahmu itu, satu atau dua ekor Helmer bukanlah masalah.” Setelah itu Edward berlalu. “Baiklah, kami harus segera melapor.” Pemuda tersebut berpaling pada dua temannya. “Ayo, Keith, Angel.” Beberapa saat terjadi keheningan, hanya suara embusan angin yang terdengar oleh telinga. Vincenzo berubah menjadi murung. 'Seandainya kalian tahu,' pikir Vincenzo, 'apakah kalian akan bereaksi sama seperti sekarang?' Tangannya terangkat, lirikkan mata pemuda itu menerawang sekujur lengannya. Lalu, seseorang menepuk pundaknya perlahan. “Memikirkannya tidak membawa keuntungan, sekarang kita sudah aman di Shelter 12 ini.” Itu adalah suara Carina, gadis tersebut satu-satunya orang yang tahu banyak tentang Vincenzo. Sekarang Vincenzo tampak lebih tenang dibanding sebelumnya. Ia kembali menegakkan kepala, menatap lurus ke depan sembari mencoba tersenyum. “Kau benar, tidak ada gunanya aku terus terikat masa lalu.” Segera ia melangkahkan kaki ke depan. “Sudahlah, mari kita pulang.” Dua remaja itu berjalan perlahan menyusuri jalan di antara rumah-rumah kecil. Para warga begitu ramah, bahkan tak jarang ada yang menyapa mereka serta memberikan makanan secara gratis. Bagi sebagian warga, prajurit seperti Vincenzo dan Carina sangat berarti, karena jika tidak ada mereka, maka Energi Pelindung Shelter tidak akan terpenuhi. Misi prajurit biasa seperti Vincenzo adalah mengambil energi yang terkandung dalam Makhluk Buas kemudian menyalurkannya ke dalam Tabung Energi di Shelter. Melalui proses pengolahan, maka terbentuklah pelindung untuk melindungi Shelter dari berbagai bahaya jikalau God Crusher sudah tak berdaya. Matahari sebentar lagi terbenam, kini Vincenzo dan Carina sudah sampai ke kediaman mereka. Bukan sebuah gedung megah, hanya satu dari sekian banyak rumah biasa. Bagian dalamnya cukup luas, disusun dengan gaya minimalis untuk menghemat ruangan supaya terlihat lebih besar. Pada ruang tamu terdapat sofa yang berada tepat di depan sebuah televisi. Vincenzo duduk di atas sofa, menyalakan televisi di depannya menggunakan remot di meja. Ia lantas bergumam perlahan, “Carina, akan kupastikan dunia ini berubah suatu saat nanti. Aku pasti bisa melakukan hal besar terhadap nasib manusia.” Tidak menggubris gumaman Vincenzo, Carina pergi ke dapur untuk mengambil cemilan serta minuman hangat dan menaruh barang-barang bawaan pemberian warga. Sementara itu, Vincenzo tetapi diam, memandangi wanita di televisi yang tengah membacakan berita terkini. Tak lama berselang, Carina datang membawa nampan berisikan minuman hangat serta cemilan. Perlahan nampan tersebut diletakkannya di atas meja. Carina duduk di sebelah Vincenzo, ikut menyaksikan siaran televisi, kemudian berkata, “Bukan hanya kau yang akan mengubah dunia ini.” Kalimatnya terhenti, hanya suara televisi yang terdengar sekarang. “Aku juga akan membantumu. Tidak! Sepertinya tim kitalah yang akan menyelamatkan dunia dari kehancuran.” “Haha, kau benar. Saat ini aku tidak sendiri.” Vincenzo semakin yakin dalam hatinya bahwa keadaan bisa diputar balik. “Menyelamatkan dunia dari kiamat, aku tak sabar menantikan hari di mana kita bisa bersantai menikmati waktu tanpa perlu bertarung melawan Makhluk Buas.” “Suatu hari, apa yang kita harapkan pasti terwujud, karena inilah dunia. Semua harapan kita pasti terwujud, meskipun dalam waktu lama serta perlu banyak usaha.” Belum sempat mereka menyeruput minuman, tiba-tiba sebuah ledakan menggema, tanah berguncang membuat mereka bergegas keluar ruangan. Ketika melewati pintu depan, mata Vincenzo dan Carina terbelalak lebar. Tubuh mereka kaku, seolah waktu telah berhenti berputar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD