4. Jujur

1122 Words
Setya mengusap air mata Aisyah yang masih saja mengalir. Dan melirik spreinya disatu tempat yang memerah, ada bekas darah perawan, yah mereka baru saja melalui tahap menyakitkan bagi Aisyah, sepelan apapun, selembut apapun cara yang digunakan Setya, Aisyah tetap merasakan sakit yang teramat sangat. "Masih sakit, masih mas, sakit, perih, mas juga, aku bilang pasti nggak muat masih maksa," Setya menahan tawanya mendengar keluguan istrinya. "Dengarkan, kamu sejak awal sudah takut, pikiran kamu nggak relaks, seperti apapun foreplay yang aku gunakan kamu tetap takut, makanya kalau mau nyoba lagi, ikuti mas ya, foreplay satu jam tadi tetap takut, mas yang nggak kuat akhirnya," Setya menarik Aisyah ke dadanya, kembali terdengar isaknya. "Ok mau nyoba lagi?" "Mboten mas, mboten, masih perih," Aisyah menggeleng dengan kuat dan Setya tertawa pelan, ia usap sekali lagi punggung Aisyah, lalu turun ia remas b****g istrinya, perlahan tangannya semakin turun mengusap pelan milik Aisyah. "Jangaaaan, sakit," "Aku hanya mengusap, biar tidak sakit," "Oh iya, apa kalau diusap jadi berkurang sakitnya mas?" "Iya, makanya kamu diam saja, pejamkan matamu, tidurlah," Aisyah benar-benar tertidur di pelukan Setya, kelelahan yang amat sangat membuatnya segera nyenyak. Setya menatap wajah lugu istrinya, wajah yang putih bersih dengan bibir dan hidung yang mungil, ia dekap tubuh putih polos istrinya yang sangat kontras dengan kulit Setya yang kecoklatan. **** Aisyah bergerak perlahan, terasa perih pangkal pahanya, ia ingin mandi dan melaksanakan shalat tahajut tapi merasakan sakit saat ia melangkah pelan dengan berbalut selimut, dan kaget saat tubuhnya melayang, ia berada dalam gendongan Setya. "Mas mandikan, mas nggak tega lihat jalan kamu kayak gitu," Aisyah memeluk leher Setya dengan erat, menyembunyikan wajahnya pada d**a suaminya, rambut panjangnya menutupi wajahnya. **** "Enak kan, mas mandikan ya?" Setya mulai menyabuni badan istrinya sambil sesekali mencium pundak Aisyah. Kedua tangan Aisyah menutupi dadanya. "Mengapa ditutupi, mas sudah lihat semua tadi, lepas tangannya, biar mas sabuni dadanya," Setya membalik badan Aisyah menghadap ke arahnya dengan wajah bersemu merah, tak sengaja melihat milik suaminya yang kembali menegang karena sejak tadi terasa di bokongnya. Setya masih saja tersenyum, meraih badan Aisyah duduk di pangkuannya, hingga Aisyah merasakan milik suaminya menempel di perutnya. "Ayo gantian mas yang kamu sabuni, " Setya memberikan spons sabun pada Aisyah dan Aisyah mulai menyabuni d**a bidang Setya. Setya menyibak rambut panjang Aisyah melewati pundaknya hingga ia leluasa melihat d**a Aisyah yang bergerak berayun di depannya, ia pegang keduanya dan bibirnya berlabuh di sana, ia menyesap dan sesekali menggigiti, lalu meremas dengan lembut hingga Aisyah kembali terengah dan merintih saat gigitan Setya semakin keras. Perlahan Setya kembali menyatukan mereka berdua, mulutnya masih saja menyesapi d**a istrinya, Aisyah merasakan perih namun tak separah saat pertama. Saat menyatu dengan sempurna, Setya mulai bergerak perlahan, remasan dan kuluman pada d**a istrinya semakin jadi hingga Aisyah merasakan tubuhnya bergetar hebat, ia merasakan serangan suaminya di dua tempat itu semakin jadi dan ia memegang bahu suaminya sambil menengadah serta bernapas sekuat tenaga karena bagian bawah tubuhnya ditumbuk berkali-kali. Ia mendengar Setya yang menggeram hebat lalu memeluknya dengan erat. Kelapa suaminya masih menempel di dadanya dengan napas menderu. Aisyah melepas pelukannya dan menatap wajah Setya yang perlahan tersenyum sambil menormalkan napasnya. "Kapan mandinya mas?" "Sekarang, masih sakit?" "Tidak begitu, tapi lepasin mas, ini masih.....," Setya tertawa pelan dan menarik miliknya dari Aisyah, lalu keduanya benar-benar mandi sampai selesai, melaksanakan shalat tahajut berjamaah dan tertidur dengan pulas setelahnya. Keduanya bangun lagi setelah terdengar adzan subuh, setelah sholat mereka saling memeluk dan kembali tidur. Pagi, Aisyah ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak tapi ia tak menemukan apapun di kulkas hanya melihat kopi, teh, creamer dan gula di atas meja mungil dekat ruang makan, ia memutuskan menjerang air lalu menyeduh teh dan kopi. Ia letakkan kopi dan teh di dalam kamar dan Setya bergerak perlahan, membuka matanya, menemukan istrinya yang duduk di sampingnya. "Kamu cantik Aisyah," Aisyah tersenyum dan merasakan badannya yang ditarik, ia merebahkan badannya ke d**a suaminya. "Mas boleh tanya?" "Hhhmmm ya mas?" "Siapa laki-laki yang teruuus menatapmu sejak awal ia duduk diantara tamu, aku melihatnya dengan jelas karena saat itu tamu-tamu banyak yang pulang, dia salah satu rombongan dari pimpinan pondok pesantrenmu," "Oh mas Munif," "Siapa dia?" "Cucu pemilik pondok pesantren," "Pacarmu?" "Bukan," "Lalu mengapa memandangmu dengan tatapan terluka?" Aisyah diam saja, ia masih memeluk d**a Setya. "Nggak mau cerita pada mas?" Perlahan Aisyah bercerita bagaimana laki-laki itu berjanji menikahinya tapi sebelum itu tercapai, ia sudah menikah. "Kau merasa berkhianat?" Aisyah diam saja, ia hanya terlihat sedih. Setya duduk dan melihat mata istrinya yang berkaca-kaca. "Kamu menyesal menikah denganku?" Aisyah menggeleng dengan kuat. Setya tersenyum sambil mengusap pipi istrinya. "Lalu siapa wanita yang kata satpam di depan kemarin memaksa masuk ke sini, pacar mas?" ganti Aisyah bertanya. "Yah, mantan pacarku tepatnya," "Dia biasa mas bawa ke sini?" "Tidak, dia hanya tahu aku punya apartemen di sini," "Pasti dia masih cinta sama mas, masih ngejar-ngejar gitu," "Aku tak peduli, aku tak mau tahu pada pembohong seperti dia," wajah Setya tiba-tiba mengeras, ia raih badan istrinya mendekatinya, ia pandangi dari dekat. "Aku tidak mau kau terlalu banyak bertanya tentang wanita pembohong itu," "Mas masih cinta kan?" Setya menggeleng dengan keras, dan meraih tengkuk istrinya, meraup bibirnya, menyesap dan menggigit pelan. Aisah mendorong d**a Setya dan bernapas sepuasnya saat bibirnya lepas dari bibir suaminya. "Mas pinter nyium, mas biasa ciuman ya?" Setya tertawa mendengar pertanyaan Aisyah. "Mas pernah menikah Aisyah, meski hanya sebentar, lalu pernah pacaran, ya pasti pernah ciuman," "Sama pacar mas juga ciuman kayak tadi?" Setya diam saja, ia ragu menjawab karena dengan Tenti, ia bahkan melakukan lebih dari berciuman, lebih dan lebih. "Gak papa mas jawab jujur, kamu nggak marah?" "Nggak papa kan mas melakukan pas belum sama Ais, kalau sudah sama Ais tapi mas masih ciuman sama orang lain, Ais tidak mau lagi sama mas," Setyta tersenyum, ia kagum pada jawaban bijak istrinya. "Yah, mas melakukan seperti tadi dengan dia, tapi mas jujur juga, mas lebih suka melakukannya denganmu," "Kenapa?" "Karena kamu lebih menggairahkan," "Ih bohong kata ibuk laki-laki suka gitu," Setya merapatkan tubuh Aisyah, lalu mengelus d**a istrinya meremasnya perlahan sambil melahap bibir istrinya dan melepaskan ciumannya dengan napas menderu. "Aku tidak bisa meraskaan seperti ini saat dengannya, bibirmu yang mungil dan dadamu yang terasa penuh di tanganku, tidak aku rasakam saat bersamanya, aku merasakan hal seperti ini hanya denganmu Ais, hanya denganmu," Aisyah masih saja mencebikkan bibirnya. "Suatu saat jika kau pernah bertemu dengannya, kau akan tahu perbedaannya denganmu," Setya sesekali melihat d**a istrinya. "Mas kok lihat d**a Ais, apa mas sampai menyentuh dadanya juga?" "Kopinya mana sayang, nanti nggak enak kalau dingin," pinta Setya. "Eh iya mas, Ais lupa," Dan Setya bernapas lega, untuk saat ini ia tidak ingin membahas lebih jauh, ia ingin jujur, pasti, tapi tidak saat ini, ia tidak ingin merusak suasana yang manis ini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD