2. Memulai Hidup Baru

1405 Words
Setya menatap wajah putih bersih depannya, sejak ke luar dengan membawa nampan, pandangan Setya tak lepas dari wajah Aisyah, sampai akhirnya duduk di depannya, lalu mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya sekejab tanpa berkedip lalu mengerjab dan menunduk kembali. Tatapan mata sekejab yang mampu menyihir Setya dan meyakinkannya bahwa Aisyah adalah pilihan Tuhan untuknya. Gadis belia yang baru saja menyelesaikan kuliah. "Gimana Setya, cocok kan pilihan ibu, dia sabar nak, in shaa Allah akan jadi istri sholiha, akan bisa mendampingimu sebagai wakil direktur karena ilmunya pun cukup, ilmu dunia dan akhirat in shaa Allah Aisyah bisa mengimbangi, gimana?" Dan Setya mengangguk sambil tersenyum. "Nduk, jangan nunduk terus, piye, gimana, cocok kan, ngganteng, gagah gini mas mu Setya, gelem to nduk, mau ya?" Aisyah menatap wajah ibunya dan mengangguk dengan wajah yang tiba-tiba memerah. "Oalaaah Setya, Aisyah ini ndak pernah kenal laki-laki makanya dia malu-malu," "Ibuu," suara lembut Aisyah membuat semuanya tertawa pelan. "Nduk, sudah siap kan makannya?" "Sampun ibu," "Monggo, dahar riyen, mari mbak makan dulu, ayo Setya, masuk yuk ke ruang makan, Aisyah semua loh yang masak," "Naaaa ini mari-mari, hidangan sederhana, lauk ndeso, wah kok ada tambahannya Aisyah, apa kamu masak lagi ya?" Aisyah mengangguk, mendekatkan sayur asem, sambel, tahu, tempe dan ikan goreng, juga cah kungkung. Semua mengelilingi meja makan untuk makan siang. Aisyah menyiapkan air minum, ia dekatkan pada ibu, bapak, calon ibu mertuanya, serta Setya yang sejak tadi menatapnya, Aisyah hanya menunduk saja. Selesai makan Aisyah membereskan meja makan dan terlihat ibunya mendekat. "Nyuci piringnya nanti saja nduk, ayo kita temani tamu kita," **** "Jadi dua hari lagi ya Aisyah kamu akan menikah dengan mas mu Setya, semua surat-surat sudah beres mbak Pariyem, diurus sama mas Parjo ke KUA dua minggu lalu," ujar Bu Parjo, ibu Aisyah. "Jadi begini Aisyah, rencana ini sudah lama, kami tidak ingin Setya terlalu lama sendiri sejak ia bercerai kan tidak punya siapa-siapa yang bisa mengurus, kerjanya juga kadang sampai malam, ia punya apartemen sendiri jadi kadang tidak pulang ke rumah, dan maaf dik Parjo dan Aisyah, Setya ini masih membiayai adik-adiknya yang masih berkuliah, hampir selesai kok," ujar ibu Setya. "Lah ya mboten nopo-nopo, tidak apa-apa mbak yu, kewajiban Setya sebagai kakak, Aisyah tidak akan mempermasalahkan itu, iya to nduk?" tanya ibunya pada Aisyah dan sekali lagi Aisyah hanya mengangguk. "Senyum to nduuuk, ndingkluk ae, jangan menunduk saja," Aisyah mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap wajah ibunya dan bu de Par. Setya menahan napas melihat senyum tulus gadis belia itu. "Yu Par, saya ada perlu, ayo sebentar ke ruang tengah, titip Aisyah ya Setya," Terlihat kedua wanita itu berbicara mengenai suguhan dan kerabat yang akan diundang, tidak banyak hanya sekitar lima puluh orang lebih. Lama keduanya berdiam diri, akhirnya Setya membuka percakapan. "Nanti dik Aisyah ikut aku setelah menikah," "Iya mas," "Tapi aku dengar kamu harus mengabdi setahun dulu di pondokmu, benar?" "Inggih mas," "Lalu gimana, kan jauh pondok kamu ke rumah mas?" "Ya tiap jum at saya pulang ke rumah mas, minggu malam saya kembali ke pondok," "Oh iya iya," "Sudah jalan enam bulan kok mas, tinggal enam bulan lagi dan selesai," "Ah iya iya," "Dik Aisyah ini apa ya?" Setya melihat ada sesuatu di kepala Aisyah. Dia melihat Aisyah bergidik. "Iiii uler nggih mas, ulat ya?" Setya melihat Aisyah yang panik lalu berdiri, Setya menarik bahu Aisyah, menenangkannya dan mengambil ulat kecil di kerudung Aisyah. "Diamlah, ini hanya ulat, nih aku ambil," Setya tersenyum dan mendekatkan ulat kecil pada Aisyah dan Aisyah menjerit tertahan mulutnya ia tutup. "Alah-alaaah ditinggal sebentar kok malah jadi ya dua orang ini," "Ulat ibu," dan Aisyah menunduk, menjauh dari Setya, meredakan debaran di jantungnya karena ia takut pada ulat dan sentuhan Setya di bahunya, ia tak terbiasa disentuh laki-laki hingga ia merasakan getaran yang aneh di dadanya. "Sudah saya buang dik, kecil kok," ujar Setya yang duduk kembali dan melihat ibu serta bu liknya yang akhirnya duduk kembali diantara mereka. "Ibu sama bu likmu sudah bicara banyak Setya, itu semua bantuan dari Setya dik, uang Setya murni tanpa campur tangan saya, semoga berkenan," ujar ibunda Setya. "Matur suwun sanget, terima kasih banyak mbak yu, Setya juga, ini saaangat banyak bagi saya sekeluarga, maaf kalau nanti akad nikahnya sederhana saja," sahut ibunda Aisyah. "Kami tidak perlu mewah dik, yang penting sah dimata agama dan negara, dan semoga Setya, Aisyah juga hidup bahagia," "Inggih mbak yu Aamiiiiiin," "Ayo sholat duhur dulu Setya, ini ada mushola di samping, numpang sholat ya dik," "Inggih mbak yu, monggo, mari, mari silakan," Mata Setya dan Aisyah beradu sekali lagi, namun Aisyah segera menunduk, Setya tersenyum saat menyadari Aisyah yang canggung karena ia sering mencuri pandang pada gadis belia di depannya. **** "Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah binti Supomo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas sebesar tujuh puluh lima gram dibayar tunai.. "Saah?" "Sah," "Sah," Maka mengalunlah doa bagi kedua mempelai. Lalu Aisyah dituntun oleh kerabat dari orang tua angkatnya, mencium punggung tangan Setya serta duduk berjajar untuk menandatangani surat nikah. Setya sempat menoleh, menatap sekejab istrinya yang entah mengapa ia melihat kilatan air mata. Semoga kau tak menyesali pernikahan ini dik Aisyah, aku akan berusaha mencintaimu, akan membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah bersamamu... Aisyah menahan tangisnya dalam hati ia berdoa... Ya Allah semoga ini memang jalan yang Engkau pilihkan pada hambamu yang lemah ini..semoga ia bisa menjadi imam bagiku dan anak-anakku... **** Tak lama keduanya didudukkan di kursi mempelai dan tak lalu kerabat dan tetangga yang memberi selamat, keduanya nampak tersenyum bahagia saat sesi foto keluarga dan kerabat. Saat sedang sesi foto, nampak rombongan mobil Kyai dan Nyai Maksum, salah satu pengasuh pondok pesantren dan salah satu putra dari ibu Nyai sepuh datang. Seketika wajah Aisyah tegang, ia berdoa semoga Munif tidak ada dalam rombongan itu, nampak mereka turun satu persatu dan para kerabat serta tetangga Aisyah berebut mencium punggung tangan orang nomor dua di pondok pesantren itu. Mereka beriringan melangkah menuju mempelai, memberikan selama pada Aisyah dan Setya. Namun doa Aisyah tak terkabul, ia melihat tatapan Munif padanya, sejak pertama ia melangkah melalui janur kuning yang melengkung di depan halaman rumahnya. Tangan Aisyah memeluk lengan Setya dan berusaha tersenyum pada para tamu, meski hatinya tak menentu karena tatapan Munif. Sekejap ia menunduk... Maafkan saya mas Munif... **** Setya membantu kerabat Aisyah saat acara telah selesai dan bergabung dengan bapak-bapak di halaman setelah semuanya kembali seperti semula. "Heeeei bapak-bapaaaak, mantennya jangan diajak jagongan, tidak usah di ajak ngobrol, nanti capek loh," goda ibu-ibu yang masih membantu ibunda Aisyah. "Nggak, nggaaak ini cuman ngopi saja," Sampai sore haripun terlihat Setya yang tampak mengawasi rumah orang tua Aisyah, yang alhamdulillah akhirnya bersih dan tertata rapi kembali. **** Malam hari setelah sholat isyak Setya masuk kamar dan melihat istrinya yang tanpa kerudung untuk pertama kalinya, karena sejak pagi acara akad nikah, lalu resepsi kecil-kecilan, Aisyah ada di kamar ibunya bersama sepupu-sepupunya. Sedang rombongan dari pondok pesantren baru pulang lepas maghrib meninggalkan rumah orang tua Aisyah. Tampak Aisyah yang canggung karena hanya menggunakan baju tidur terusan selutut. Sambil menunduk ia bertanya.. "Mas tidak butuh apa-apa lagi kan, boleh saya rebahan?" Terdengar tawa Setya perlahan. "Jika kau ngantuk tidurlah, aku juga sangat capek, nanti setelah subuh saja atau besok, ya?" sahut Setya membuka baju kokonya dan menanggalkan sarungnya. Ia hanya menggunakan kaos tipis dan celana pendek selutut. Ia merebahkan badannya di dekat Aisyah yang terlihat menggeser badannya agak menjauh dari Setya. "Mm maksud mas nanti setelah subuh nopo nggih, apa ya, kita mau ke mana?" tanya Aisyah, terdengar lagi tawa Setya. Setya memiringkan badannya menghadap istrinya yang rebah bersedekap, menatap Setya sekilas lalu menatap langit-langit kamarnya. Setya menarik badan Aisyah menghadapnya. "Lihat aku Aisyah, kita akan bersama melalui bahtera ini, aku akan jujur padamu semuanya tentang aku, tapi tidak malam ini, kamu mengerti maksudku kan, besok subuh aku boleh menyentuhmu?" Mata Aisyah mengerjab, menatap bingung pada suaminya. "Boleh aku meminta hakku?" Dan wajah Aisyah memerah, mengangguk pelan, Setya memeluk Aisyah, mencium rambutnya. "Kita akan memulai hidup baru, dengan jalan Allah, kamu mau kan menuntunku ke jalan Allah, mas meski imammu namun ilmu agama masih jauh di bawahmu," Aisyah mendongak menatap Setya dan kembali mengangguk, merasakan napas suaminya menyapu wajahnya, lalu badannya bergetar hebat saat bibir Setya meraup bibirnya, pelan, namun sanggup membuatnya lemas tak bertenaga. Tangannya meremas kaos Setya, Setya tahu jika istrinya belum terbiasa. Ia lepaskan ciumannya dan menatap wajah Aisyah yang memerah dengan napas terengah. "Kamu takut?" Aisyah mengangguk, Setya memeluk lebih erat istrinya, ia berjanji, apapun akan ia lakukan untuk mempertahankan bahtera barunya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD