Keluar dari dalam bak mandi berbusa lalu membungkus tubuh dengan handuk. “I love you, Lorna.” Bagai sebaris kalimat mantra, seketika Lorna menempatkan lengannya pada sepasang bahu kekar di hadapannya hingga membiarkan handuknya jatuh dan teronggok di atas lantai. Mereka kembali berjalan ke kamar tidur.
Lorna berjalan lenggak-lenggok dengan kepolosan tubuh langsingnya. Berbalik di atas tungkai kakinya, dan Lorna mendorongnya ke tempat tidur, menarik handuk pria dihadapannya hingga membuatnya telanjang tanpa sehelai benang pun di hadapannya. Tubuh pria itu yang berotot tampak nyata di hadapan Lorna, menggoda dengan aset di tubuhnya yang terlihat telah menegang.
“Oh, you’re sexy, Baby,” desis Lorna dengan senyum miring, sorot matanya berkabut gairah yang mulai terbangun, kemudian Lorna membasahi bibirnya dengan lidah dalam gerakan lamban, sebelum meringkuk di sampingnya dan meletakkan kepalanya di d**a bidang yang ada di hadapannya. Mereka saling melahap, Lorna mengangkangi pria itu, duduk di pangkuannya, hingga menempatkan kedua dadanya yang terbuka tepat berada di hadapan sang pria.
Tak satu pun dari keduanya berbicara selama beberapa menit. Lorna bisa merasakan tubuhnya menggigil di bawahnya setiap beberapa menit sebelum berangsur-angsur tenang. Meniupkan napas, sementara pria itu menariknya lebih dekat kepadanya dan mencium dengan rakus, beradu lidah yang basah dengan jemari yang meremas dadanya. Lorna mendesah hingga melemparkan kepalanya ke belakang saat puncak dadanya di jilat dengan gerakan yang pelan, terasa menggelitik sebelum mengulumnya bagai bayi yang kehausan.
“Itu menakjubkan, Sayang. Kau selalu menakjubkan. Aku tidak akan pernah membiarkan orang lain melakukan hal itu kepadaku, tapi denganmu, aku hanya mengikuti itu saja. Aku senang, aku melakukannya. Kau membawaku ke tempat yang aku tidak tahu ada.”
Meringkuk lebih dekat kepada pria itu membuat Lorna dapat mencium d**a sang pria dan mengangguk. “Sama-sama, Tom sayang. Kau pastinya juga mengguncang duniaku. Tapi sekarang aku harus jujur. Aku senang kita bisa bersama-sama setelah dia lenyap.”
Jemari Tom mengelus punggung Lorna dengan gerakan naik-turun. Sementara Lorna menjalankan jemari lentik-nya ke sekeliling perut Tom yang berotot. “Aku tidak sabar menunggu hari pernikahan kita, Sayang.” Tom terkekeh, sementara jemari Lorna kian turun, meraba paha Tom yang berbulu. Gerakan lembut dan teratur. Tom mencoba menebak ke mana arah jemari Lorna berjalan sambil menahan gairah yang perlahan mulai terbangun.
“Apa yang kau pikirkan, Lorna?”
“Kita bisa menikmati semuanya sekarang. Sesuatu yang memang seharusnya milikku.” Lorna mengatakannya saat telapak tangannya berada tepat di gundukan milik Tom. Pria itu mengerjap, Lorna menggenggam miliknya. Terasa pas di telapak tangan Lorna dan tatapan panas seakan membakar Tom seketika. “Semua kenikmatan di dunia memang harus dilakukan secara perlahan, bukan kah begitu Sayang?” bisik Lorna di telinga Tom sedangkan ujung ibu jari Lorna telah berada telah di ujung kemaluan milik Tom, merasakan tekstur yang licin. Lorna menggerakkan ujung ibu jarinya dan Tom menutup matanya hingga menggeram halus.
“Lorna,” desah Tom dan spontan ia membuka matanya lalu meraih gundukan d**a Lorna sebelum meremasnya dengan pelan hingga sepenuhnya Lorna mendesah.
“Masih ada satu penantian lagi, oooh Tom,” ujar Lorna dengan desahan di akhir kalimat sambil mengigit bibirnya. Tatapan yang penuh gairah.
Tom seperti bayi yang kehausan. Ia mengisap salah satu d**a Lorna dengan rakus, mengisap, menggigit, membelai puncaknya dengan ujung lidah hingga membuat Lorna bangun, menopangkan tubuhnya dengan siku yang terlipat dan berbaring miring.
“Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan, Lorna,” desah Tom saat ia berpindah dari satu gundukan ke gundukan yang lainnya. Lorna menjulang di atas Tom sementara pria itu berada di bawah Lorna dengan posisi telentang.
Tatapan panas membakar dengan kedua gundukan yang berada di depan pria itu. Lorna bergerak sambil berkata, “Aku masih menunggu uang asuransi wanita sialan itu cair. Setelah itu, kita lakukan apa yang kita inginkan.”
Tom meraih dagu milik Lorna untuk menyambar bibirnya bersamaan dengan jemari Lorna yang telah memasukkan milik Tom ke dalam tubuhnya lalu Lorna menurunkan ubuh moleknya dengan perlahan hingga membuat kemaluan Tom yang telah tegang benar-benar tenggelam seluruhnya.
***
Nick tidak benar-benar tertidur usai ia menyelesaikan tugasnya di rumah sakit. Kelelahan usai menjalankan pembedahan pada salah satu pasien koban kecelakaan yang memakan waktu lebih dari enam jam. Seluruh energi dalam tubuhnya seakan terkuras. Nick kembali memasuki kediamannya yang terasa lengang. Rasa lelah yang mengkudeta membuat Nick menghempaskan tubuh kekarnya di atas tempat tidur usai menanggalkan semua pakaiannya. Koper kecil yang dirinya gunakan beberapa hari yang lalu bahkan masih ia biarkan membisu di sudut kamar.
Suara Manhattan yang penuh semangat masih dapat Nick rasakan, pertemuan antara dirinya dengan sang ibu, Claudia Ryan terasa menyenangkan. Kota yang selalu terasa menyenangkan meski belum sepenuhnya Nick bisa lupakan. Kisahnya bersama Meghan tertinggal di sana.
Nick beranjak dari tempat tidur, meraih tshirt miliknya, mengenakannya melewati kepala sambil berjalan keluar kamar. Pemandangan halaman rumah mewah Nick dengan salju yang kian menebal, langit yang memutih dan rasa dingin yang membekap setiap sudut kota. Alunan musik menjelang Natal kian terasa di mana-mana.
Nick menuangkan kopi panas dalam cangkir. Ia butuh kafein untuk dapat melakukan semua hal yang ia rencakan sepulangnya dari liburan. Nick kembali ke ruang tengah, mendudukan dirinya di salah satu sofa, menatap pemandangan kota Boston pagi itu yang dingin. Nick menyeruput kopinya, merasakan sensasi pahit yang mengenai lidah. Letupan pada setiap saraf seakan mampu membuatnya lebih baik.
Rumah besar yang kembali dirinya tempati, meninggalkan penthouse yang ia beli untuk Meghan, mendiang istri Nick.
“Jangan pernah mencoba untuk merebutnya.”
Sebaris nasehat dari Claudia yang masih terngiang di telinga Nick. Ia kembali menyeruput kopi yang dirinya buat. Cairan panas dan pahit yang mengalir di sepanjang tenggorokan. Sosok Mia yang kembali berkelebat di ingatan Nick saat manik matanya menangkap dokumen yang tergeletak di atas meja. Nick menoleh untuk menatap ke arah kamar Mia yang berada dalam garis lurus tatapan matanya.
“Mia,” desis Nick setelahnya.
Nick meletakkan cangkir kopinya di atas meja, menyambar dokumen miliknya yang berisikan penawaran kerjasama dengan perusahan milik Benedict Reynolds dengan dirinya yang ditolak sebelum dokumen itu dibuka. Dokumen yang Nick buat beberapa tahun silam.
“Kami hanya menangani proyek besar, tidak proyek amal. Hanya bisnis bukan kemanusiaan.” Penolakan yang diucapkan Ben siang itu sebelum pria itu membuka dokumen yang disodorkan oleh Nick. Tampak Ben yang menggeram halus dengan sorot mata yang menyiratkan ketidaksukaan pada dirinya. Nick tidak terkejut dengan kejadian itu meski ia tak menyangka hal itu terjadi. Nick yakin jika penawarannya tidak akan ditolak, mengingat apa yang ditawarkannya bisa membantu Ben dalam menutup defisit yang terjadi pada perusahaannya.
Nick telah mendapatkan semua informasi tentang perusahaan Metro Co. milik Ben. Pergerakan saham yang terus turun, dengan beberapa tender yang gagal.
“Semua karena kecemburuan,” gumam Nick saat mengangkat kembali wajahnya dari dokumen dan menatap lurus keluar. Salju yang turun dengan basah yang tertinggal di permukaan kaca jendela rumah yang ia tinggali.
Sosok Mia kembali hadir. “Aku seorang arsitek.” Suara lembut yang keluar dari pita suara Mia seakan membuat Nick merasakan kembali pada kenangan bersama Meg.
“Semuanya sudah berlalu, Nick. Sudah saatnya kau menata kembali kehidupanmu.” Pesan Claudia siang itu.
Nick terdiam dan ia tenggelam dalam hal yang coba ia selami. Kembali menatap dokumen yang ada di tangannya. “Aku tak akan melepaskanmu, Mia.”
Nick beranjak dari duduknya dan kembali ke dalam kamar.
***