Hari itu Dina seharusnya baru berangkat kuliah setelah makan siang, namun karena kampusnya mengadakan kuliah umum dengan mendatangkan pembicara dari luar maka seluruh mahasiswa diharuskan untuk hadir di pagi hari, tidak terkecuali Dina. Semua kelas pagi dibatalkan karena adanya kuliah umum ini.
Kuliah umum ini adalah sebuah keharusan, bagi yang tidak hadir diminta untuk memasukan surat keterangan sakit ke senat mahasiswa pada satu hari setelah acara. Dina sebenarnya tidak begitu suka dengan hal-hal semacam ini, jika acara ini bersifat opsional maka Dina pasti akan memilih untuk tidak hadir.
Dina tiba di kampus tepat waktu. Kuliah umum hampir di mulai dan pintu aula tempat acara itu diselenggarakan nyaris saja ditutup. Dina memasuki ruangan itu bersama seorang mahasiswi lain yang tidak ia kenal. Setelah mereka berdua masuk, pintu aula pun ditutup. Semua tempat duduk sudah terisi penuh. Ribuan mahasiswa berkumpul di ruangan itu. Ada delapan pendingin udara berukuran besar di aula tersebut namun tidak mampu untuk mendinginkan ruangan yang terisi penuh oleh mahasiswa.
Kursi kosong yang tersisa hanya yang berada di deretan paling depan. Tidak ada pilihan, Dina dan mahasiswi itu pun terpaksa harus duduk di sana. Di deretan paling depan tidak ada mahasiswa lain selain mereka berdua. Dina dan mahasiswi itu saling berpandangan satu dengan yang lain kemudian tertawa karena menyadari keadaan itu.
“Mau gimana lagi…” katanya kepada Dina. “Hey kenalkan namaku Helen.” Demikian katanya sambil menyodorkan tangan kepada Dina untuk berjabat tangan.
Dina menyambut tangannya, “Aku Dina.”
“Tingkat berapa?” tanyanya.
“Satu. Baru saja masuk.”
“Oh kita sama kalau begitu. Kamu jurusan apa?”
“Aku dari fakultas ilmu komputer, jurusan T.I, kamu?”
“Aku dari fakultas ekonomi, jurusan manajemen.”
Helen berwajah tirus dengan mata yang besar, hidungnya mancung dan kulit kuning langsat. Rambutnya ikal dengan panjang sebahu serta di cat dengan warna mahogany. Tubuh Helen kurus namun ia tidak begitu tinggi. Dina mungkin sepuluh centimeter lebih tinggi darinya.
“Apa nanti kita diberi makan?” Tanya Helen.
Pertanyaan Helen membuat Dina tertawa. “Ini kan kuliah umum, bukan seminar, tentu saja kita tidak diberi makan.”
Helen memonyongkan bibirnya, “Padahal tadi karena buru-buru berangkat dari rumah aku tidak sempat sarapan. Jika kuliah umum ini berlangsung lama, maka tolong antarkan aku ke klinik aku mungkin akan jatuh pingsan karena kelaparan.”
Dina kembali tertawa dengan celotehan Helen. Gadis itu begitu lucu menurut Dina.
“Di mana teman-temanmu?” Tanya Helen kemudian.
“Teman-temanku hampir semuanya anak laki-laki. Mereka pasti duduk di bagian belakang.”
Helen mengangguk. “Begitu ya, kamu tahu aku bahkan tidak punya teman. Maksudku mereka semua yang aku kenal di sini hanya merupakan kenalan saja, tidak ada yang aku golongkan sebagai teman.”
“Kamu pasti menetapkan kriteria yang rumit untuk dapat menjadi temanmu…” ujar Dina dengan polos.
Helen menatap Dina untuk sesaat kemudian tersenyum. “Tidak juga. Orang-orang saja yang tidak bisa memahamiku.”
“Memangnya kamu tipe orang yang sulit dipahami?” Tanya Dina.
“Aku korban bully di SMA. Aku tidak membuka diri lagi sejak itu.” Jawab Helen polos.
Dina menjadi iba mendengar jawaban dari Helen.
“Aku juga di bully saat kelas 1, tapi mamaku membantuku untuk melewati masa-masa sulit itu. Oh ya, padahal menurutku kamu cukup cantik dan proporsional, kamu bisa di bully juga?”
“Aku tidak di bully karena fisik. Aku di bully karena selalu mendapat nilai sempurna. Kamu tahu, aku cukup pintar di beberapa mata pelajaran, mungkin sekitar dua atau tiga pelajaran saja, tapi seisi kelas membenciku karena itu. Padahal aku bukan tipe yang suka mengadu jika ada PR yang lupa diperiksa, ketika guru lupa memeriksanya meskipun aku sudah bersusah payah untuk mengerjakannya maka aku akan memilih untuk diam saja ketimbang mengingatkan guruku soal PR itu. Pada dasarnya aku tipe orang yang menghindari spotlight.”
“Mereka hanya iri.” Kata Dina.
“Iya, tidak salah lagi! Jika seseorang sudah dipenuhi iri dengki dalam hatinya, tidak peduli orang itu bersalah atau tidak kepadanya ia tetap akan membenci orang itu.”
Dina mendapati kecocokan saat mengobrol dengan Helen.
“Bisa kita mengobrol lagi lain kali?” Tanya Dina.
Helen mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Dina, “Tuliskan nomormu di sini. Lain waktu kita bisa janjian untuk pergi makan siang bersama.”
Dina menuruti perkataan Helen. Setelah itu Helen menghubungi nomor yang diberikan Dina. “Itu nomorku, disimpan ya. Telepon aku kapan saja.”
Kuliah umum itu berlangsung lama dan membosankan. Dina melihat Helen menguap beberapa kali.
“Ini terlalu lama…” sungut Helen.
“Sabar ya, aku yakin semua orang yang berada di ruangan ini juga sama bosannya dengan kamu.”
Helen melirik ke arah Dina dan mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda kalau ia setuju dengan ucapan Dina.
Kuliah umum berlangsung selama tiga jam. Tepat pukul dua belas siang acara itu baru selesai.
“Yuk pergi makan siang di luar.” Ajak Helen.
Dina mengangguk setuju. Mereka berdua pun berjalan keluar dari kompleks kampus dan mencari warung makan yang sekiranya menarik.
“Warung makan yang di sana itu ayam bakarnya enak, kamu sudah pernah coba?” Tanya Dina sambil menunjuk ke sebuah warung makan dengan bangunan yang seluruhnya dicat dengan warna biru.
“Belum. Ayo kita coba!” jawab Helen.
Mereka memasuki warung itu dan mendapati begitu banyak orang yang tengah makan di sana. Mereka memesan makanan di meja kasir selanjutnya mencari tempat duduk.
Ketika mereka berdua berjalan menuju ke meja kosong yang berada di bagian paling pojok dari warung itu, mereka melewati meja yang berisi beberapa mahasiswa yang hampir semuanya sedang merokok.
“Hai Helen…” sapa salah satu dari mereka.
Helen hanya menganggukan kepalanya tanpa membalas sapaan itu.
Begitu mereka duduk, Dina berbisik kepada Helen “Kamu kenal anak-anak laki-laki di meja tadi?”
“Iya, mereka semua dari jurusan yang sama denganku.”
Tidak lama kemudian makanan yang dipesan oleh Dina dan Helen diantarkan ke meja mereka. Dengan penuh rasa penasaran, Helen segera mencoba ayam bakar yang direkomendasikan oleh Dina.
“Waaah, ini memang enak!” seru Helen.
“Keahlianku memang di hal yang seperti ini.” Dina memuji dirinya sendiri.
“Lain kali beritahu aku tempat lain yang punya makanan enak ya?” balas Helen.
“Itu pasti!” jawab Dina dengan mantap.
Saat Dina dan Helen sedang makan, mahasiswa yang tadi menyapa Helen tiba-tiba pindah dari mejanya untuk duduk bersama dengan mereka. Ia duduk tepat berhadapan dengan Helen.
“Helen, aku selalu meneleponmu tetapi tidak pernah diangkat.” Katanya.
Dina memperhatikan pria itu. Wajahnya cukup tampan namun ada bekas jahitan di alisnya. Ia memakai anting di salah satu telinganya. Ada beberapa luka di buku jarinya yang terlihat masih baru. Luka itu terlihat seperti hasil meninju sesuatu secara berulang-ulang atau mungkin karena perkelahian.
“Benarkah?” Tanya Helen. “Aku tidak merasa pernah dihubungi olehmu.”
“Nomorku yang empat angka terakhirnya adalah nol.” Katanya lagi.
“Mungkin kamu menghubungiku di saat ponselku sedang di charge. Aku biasanya mematikan ponselku kalau mau di charge.”
“Begitu ya?” tanyanya.
Helen mengangguk. Ia bahkan tidak mau menatap laki-laki itu.
“Ya sudah, nanti malam aku telepon lagi ya…” katanya kemudian meninggalkan meja Helen.
Begitu melihat laki-laki tadi sudah berada di mejanya lagi, Dina segera berbisik kepada Helen, “Siapa dia?”
“Hanya berandalan yang sedang berusaha untuk mendekatiku. Dia kaya, bukan berandalan kampung biasa, tetapi entahlah aku masih belum berpikir untuk memberinya kesempatan.” Jawab Helen dengan sangat pelan.
“Sebaiknya tidak usah.”
Selesai makan siang, mereka berdua kembali ke kampus.
“Aku akan masuk kelas jam satu di lantai lima. Bagaimana denganmu?” Tanya Helen.
“Aku juga ada kelas jam satu tetapi di gedung yang lain.” Jawab Dina.
“Kamu selesai jam berapa hari ini?”
“Jam empat.”
“Aku juga.”
“Kalau begitu kita bisa pulang bersama. Kamu tinggal di mana?” Tanya Dina.
“Rumahku jauh dari sini, aku harus tiga kali ganti angkot.” Balas Helen.
“Sama, aku juga.”
“Ya sudah, kalau begitu nanti kita pulang sama-sama ya. Jam empat kita bertemu lagi di gerbang utama.”
“Oke!” Dina menyetujui.
Mereka kemudian berpisah dan menuju ke kelas masing-masing.
Dina sangat senang karena mendapat teman baru hari ini. Kuliah umum yang membuatnya tidak bersemangat sejak pagi ternyata membawanya kepada perkenalan dengan Helen.
Sesuai kesepakatan, mereka bertemu di gerbang utama jam empat sore setelah semua kelas mereka selesai. Mereka kemudian pulang bersama dengan naik angkot. Pada pergantian angkot yang ketiga kalinya mereka harus berpisah karena rumah mereka berada di arah yang beda.
Begitu Dina tiba di rumah, ia melihat ibunya sedang memasak makan malam. Dengan penuh semangat ia menceritakan kepada ibu dan kakaknya tentang perkenalannya dengan Helen hari ini.
“Apa Helen cantik?” Tanya Oscar.
“Memangnya kenapa?” Dina balik bertanya.
“Kalau dia cantik, aku mau berkenalan dengannya.” Jawab Oscar kemudian tertawa.
“Dia cantik tetapi aku yakin dia bukan tipenya kakak. Dia tidak putih.” Ledek Dina.
“Tidak harus putih, kan?” balas Oscar. “Tidak usah menyinggung tentang kisah sebelumnya.”
“Sudah… Sudah…” Gladys menyela pembicaraan mereka. “Ledek-ledekan nanti bertengkar lagi…”
Dina dan Oscar pun diam.
“Na, ayo mandi. Setelah mandi baru kita makan malam sama-sama.”
“Iya Ma.” Jawab Dina menurut.
Malam itu setelah makan, mereka mengobrol santai hingga jam sepuluh.
“Ma, Oscar pergi tidur dulu ya. Tes Oscar sudah besok soalnya.”
Gladys terkejut mendengar bahwa seleksi masuk untuk Oscar di tahun ini adalah besok.
“Ya sudah, ayo kamu tidur duluan. Biar besok saat tes kamu berada dalam kondisi prima.”
Gladys dan Dina masih mengobrol selama lima belas menit di ruang tamu setelah Oscar masuk ke kamarnya. Setelah itu mereka berdua juga pergi tidur.