Semoga Saja

1618 Words
Oscar tidak pernah membahas perihal kandasnya hubungan cinta antara dirinya dan Karen lagi. Ia hanya bercerita satu kali kepada Dina dan setelah itu tidak pernah lagi bahkan kepada ibunya sendiri ia tidak menceritakan apapun. Gladys tahu tentang kandasnya hubungan mereka dari Dina. Oscar sempat berusaha untuk menghubungi Karen di hari-hari awal setelah mereka putus namun Karen tidak pernah menjawab satu pun panggilan telepon dari Oscar. Ia juga mengirimkan beberapa pesan singkat, akan tetapi tidak ada pesan balasan dari gadis itu. Hingga akhirnya Oscar pun menyerah. Ia berhenti mencari Karen lagi. Ia menyadari bahwa gadis itu barangkali memang tidak ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Perbedaan di antara mereka terlalu besar, mulai dari status sosial, latar belakang ekonomi, namun yang terburuk dari semua itu adalah penilaian ibu Karen terhadap Oscar yang menurut Oscar terlalu memandang rendah dirinya. Telah lebih dari satu bulan berlalu sejak terakhir kali mereka berbicara di telepon, Oscar melihat bahwa hidupnya terus berlanjut meski ia tidak lagi bersama Karen sehingga tidak ada yang perlu ia sesali sebenarnya. Bulan ini ia akan mengikuti seleksi masuk anggota POLRI. Ini ada kesempatan terakhirnya karena ia telah berumur dua puluh satu tahun. Oscar telah berlatih dengan sangat maksimal. Ia bertekad untuk memenangkan kesempatan terakhirnya. Jika ia gagal maka hatinya akan hancur lebih parah dari yang ia rasakan saat putus dari Karen. Dina telah berhasil masuk ke universitas swasta yang ia inginkan. Universitas yang terkenal mahal yang sempat ditentang oleh Oscar, namun Gladys memilih untuk menuruti keinginan Dina dengan meminta bantuan dari orang tuanya dan juga orang tua Herman. Gladys rela membuang malu untuk menemui orang tua Herman lagi agar Dina bisa berkuliah di tempat yang ia inginkan. Dan cara itu memang selalu berhasil.     Di suatu hari Minggu yang cerah, Gladys sedang mengisi waktu dengan membersihkan kamar mandi di rumah dinas itu. Tetapi tiba-tiba ia merasakan nyeri yang sangat hebat di d**a sebelah kanannya. Nyeri itu datang dengan intensitas yang begitu kuat sehingga Gladys sampai harus duduk berselonjor di lantai kamar mandi dan membuat baju daster yang dipakainya menjadi basah di bagian belakang. “Kenapa tiba-tiba bisa sakit begini?” Tanya Gladys dalam hatinya. Dina yang mau menggunakan kamar mandi mendapati ibunya yang tengah terduduk dalam posisi demikian di kamar mandi pun menjadi bingung. “Mama kenapa?” Tanya Dina. Gladys tidak mengetahui kalau Dina telah berada di dekatnya sejak beberapa saat yang lalu. “Mama hanya capek, Na…” “Kalau begitu mama istirahat saja, nanti Dina yang lanjutkan membersihkan kamar mandinya.” Gladys menganggukan kepalanya. Ia bangkit dengan perlahan sambil bertumpu ke dinding. “Baju mama basah, jangan lupa diganti ya, nanti masuk angin lagi.” Pesan Dina. “Iya Na.” jawab Gladys. Gladys berjalan menuju kamar. Saat tiba di kamar, ia pun langsung mengganti pakaiannya kemudian naik ke tempat tidur. Nyeri yang ia rasakan di d**a kanannya tidak menetap melainkan hilang timbul. Rasa nyeri itu sangat mengganggu namun Gladys tidak ingin memberitahu kedua anaknya. Jika mereka tahu mereka pasti akan mendesak Gladys untuk pergi memeriksakan diri ke rumah sakit detik itu juga. Gladys turun dari ranjang dan mengambil kotak obat yang ia simpan di laci meja riasnya. Ia mencari obat anti nyeri untuk diminum. Begitu ia mendapatkan obat itu, ia segera menuju ke dapur untuk mengambil air dan meminum obat itu secara sembunyi-sembunyi dari Oscar dan Dina. “Mama sudah baikan?” Tanya Dina. “Mama hanya datang untuk minum Na, setelah ini mama mau beristirahat lagi.” “Oh begitu ya. Kamar mandinya sudah selesai Dina bersihkan Ma.” “Terima kasih ya Na.” kata Gladys. “Ada tugas dari kampus nggak? Coba dicek dulu, jangan Senin besok baru kamu heboh lagi.” “Iya ada Ma, mau Dina kerjakan setelah ini.” Dina mengambil jurusan Teknik Informatika karena ia memiliki minat dalam hal-hal yang berhubungan dengan komputer dan teknologi. “Mama masuk kamar dulu ya.” Kata Gladys. Gladys masuk ke kamar dan berbaring di ranjang. Obat anti nyeri itu membuat Gladys mengantuk. Ia tertidur dengan nyenyak untuk waktu yang cukup lama. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore. Oscar baru kembali dari olahraga rutinnya di lapangan. Dina sedang mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu sementara Gladys masih terlelap. “Di mana mama?” Tanya Oscar ketika memasuki rumah. “Masih tidur.” Jawab Dina. “Sejak tadi siang?” Tanya Oscar dengan heran karena menurut yang ia ingat ibunya tidak biasa tidur siang apalagi sampai selama itu. “Tadi sih mama bilangnya mama capek.” Oscar bercekak pinggang di depan Dina dan menatap adiknya itu dengan wajah serius. “Apa kamu yakin mama hanya capek, bukan sakit?” tanyanya. Dina melepaskan pulpen yang dipegangnya ke atas meja dan menatap serius ke arah kakaknya. “Aku tidak berpikir sampai ke situ.” Seru Dina. Ia lantas bangun dari lantai tempatnya duduk dan masuk ke kamar untuk memeriksa keadaan ibunya. Sementara Oscar menunggu sambil melihat dari ambang pintu kamar. Dina naik ke ranjang dan memandangi wajah ibunya yang tengah tertidur lelap. Ia lantas menoleh ke arah Oscar yang berada di pintu kamar. Oscar memberi kode kepada Dina untuk menempelkan tangannya ke dahi ibunya. Dina mengangguk kepada Oscar. Ia lalu melakukan seperti yang diperintahkan oleh kakaknya itu. Dina lalu menoleh lagi ke arah Oscar dan menggelengkan kepala. Ia hendak menyampaikan kalau ibunya tidak demam. Dina turun dengan perlahan dari ranjang dan kembali ke ruang tamu. “Mama nggak demam kok, kak.” “Ya sudah, malam ini mama jangan diminta memasak dulu. Kita beli makanan saja.” Dina mengangguk tanda ia setuju dengan usul kakaknya. “Sekarang kamu masuk ke kamar dan ambil uang di dompet mama. Nanti aku yang pergi beli makanannya di depan.” Suruh Oscar. “Tapi itu kan artinya mencuri kak!” protes Dina. “Nanti kalau mama sudah bangun kan kita bisa bilang.” “Ya sudah…” jawab Dina sambil berjalan masuk ke kamar. Dompet Gladys hanya tergeletak begitu saja di atas meja rias. Dina mengambil sejumlah uang dari sana dan memberikannya kepada Oscar. “Mau dibelikan makanan apa jadinya?” Tanya Oscar sambil menatap uang tiga puluh ribu yang diberikan Dina kepadanya. “Soto ayam saja.” Jawab Dina. “Okay jadi berarti ini semua dibelikan soto ayam saja ya?” Tanya Oscar untuk memastikan. Dina mengangguk. “Selagi aku pergi kamu masak nasi ya, tahu kan caranya masak nasi di rice cooker?” “Iya tahu.” Oscar mengambil sandal jepit dan segera berangkat. Sementara Dina melakukan apa yang diperintahkan oleh kakaknya untuk memasak nasi. Selesai memasak nasi, selagi menunggu Dina kembali mengerjakan tugasnya. Tiga puluh menit kemudian Oscar sudah kembali berada di rumah. “Cepat sekali kak…” kata Dina. “Mama masih belum bangun?” Tanya Oscar. Dina menggelengkan kepalanya. “Ya sudah aku mau mandi dulu. Ini sotonya.” Oscar menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih bening. Dari luar Dina bisa melihat ada tiga bungkus soto yang dibungkus secara terpisah. Ia segera membawa soto itu ke dapur dan memindahkannya ke dalam sebuah baskom berukuran besar yang cukup untuk menampung tiga porsi soto itu. Dina memeriksa rice cooker dan mendapati nasi yang tadi dimasaknya juga sudah matang. Ketika Dina sedang menyiapkan peralatan makan, Gladys tiba-tiba keluar dari kamar. “Na, sedang apa?” Dina terkejut mendengar suara ibunya. Ia pun spontan menoleh dan melihat ibunya berdiri di depan pintu kamar. “Menyiapkan makan malam Ma.” Gladys melihat ke arah jam dinding dan melihat bahwa itu sudah hampir setengah delapan malam. Ia tidak ingat kalau ia tidur selama itu. “Mama tidurnya lama sekali berarti ya…” kata Gladys sambil berjalan menuju ke dapur. Ia melihat ada soto ayam di meja. “Ini soto dari mana?” “Oh itu. Tadi kakak pergi membelinya. Uangnya Dina ambil dari dompet mama, tiga puluh ribu.” Gladys tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Kalian pikir mama mau tidur sampai besok apa? Mama masih bisa memasak tapi karena ini sudah ada soto, ya sudah, mama memasaknya besok saja. Malam ini kita makan soto ini saja.” Oscar keluar dari kamarnya setelah ganti baju. Rambutnya masih terlihat basah. “Mama sudah bangun?” Tanya Oscar. “Belum lama.” Jawab Gladys. “Ya sudah karena semua sudah berada di sini, ayo kita mulai makan.” Ajak Gladys. Setelah makan malam, Dina membereskan semua peralatan makan itu sementara Gladys kembali ke kamar untuk beristirahat. Beberapa saat setelah itu, Oscar dan Dina masuk ke kamar untuk menemui ibu mereka. “Ma, apa mama sakit?” Tanya Oscar. “Nggak kok, mama hanya merasa sangat lelah hari ini.” Jawab Gladys, berbohong. “Apa mama yakin tidak perlu memeriksakan diri ke dokter, besok mungkin?” Gladys sudah menduga jika Oscar pasti akan menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter. “Jika malam ini mama beristirahat dengan baik, maka besok mama akan merasa bugar lagi.” “Baiklah kalau mama merasa seperti itu.” Kata Oscar lalu meninggalkan kamar itu.   Malam itu ketika semua anaknya sudah tidur Gladys merasakan nyeri itu datang lagi di tempat yang sama. Ia terpaksa meminum obat anti nyeri sekali lagi agar bisa tertidur. Rasa nyeri yang ia rasakan kali ini sangat berbeda dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menduga bahwa ia masuk angin karena terlalu sering mandi di malam hari. “Ini tidak mungkin penyakit jantung karena letaknya di sebelah kanan bukan di sebelah kiri.” Pikir Gladys. “Selain itu juga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung di keluarga kami, aku juga tidak menjalani gaya hidup yang bisa mengarahkanku ke sana, jadi kemungkinan untuk sakit jantung sepertinya tidak ada.” Mata Gladys perlahan-lahan mulai menutup. Obat anti nyeri itu telah bereaksi di tubuhnya. Tidak memakan waktu lama, ia pun tertidur. Sebelum ia tertidur, ia hanya berdoa agar ia baik-baik saja dan nyeri ini bukan pertanda bahwa ia memiliki penyakit serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD