(Kebetulan) Bertemu

1695 Words
Di suatu hari yang hujan, Dina keluar untuk pergi membeli bumbu dapur di warung yang berada tak jauh dari kompleks perumahanan dinas anggota TNI AD yang ia tinggali. Ibunya kehabisan merica bubuk dan garam saat tengah memasak. Dina diminta untuk pergi membelikannya ke warung terdekat. Di warung yang pertama ia datangi, ia hanya mendapati garam saja dan tidak ada merica bubuk sehingga ia harus melanjutkan pencariannya ke warung yang berikutnya. Demikian halnya dengan warung kedua yang ia datangi, mereka tidak menjual merica bubuk. Dina terus berjalan mencari warung yang lain. Ia berada semakin jauh dari rumah sementara hujan turun semakin deras. Memakai payung pun tetap membuat Dina kebasahan karena hujan saat itu disertai angin. Selain itu ia juga mulai kelelahan sehingga akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak sekalian berteduh di sebuah halte bus tua. Dina melihat mobil lalu lalang dengan cepat di jalan raya. Beberapa pemotor ikut menepi dan berteduh di halte yang sama dengan yang Dina singgahi. Sesosok pria berseragam anggota TNI memasuki halte untuk berteduh. Dari kejauhan Dina memandang pria berseragam itu dan merasa sangat familiar dengan perawakan orang itu. Ketika orang itu semakin mendekat, Dina baru menyadari kalau itu adalah Herman, ayahnya. Dina segera memalingkan wajahnya dan bersiap untuk pergi. “Dina…” Namun sayang ayahnya telah terlebih dahulu mengenalinya sebelum ia sempat kabur dari situ. Dina berpura-pura tidak mendengar panggilan orang itu. Dina menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya. Herman berjalan mendekati Dina, melewati orang-orang yang juga berada di dalam halte untuk berteduh. Herman kini berada tepat di samping Dina. Ia kemudian berbisik kepada Dina. “Lama tak bertemu…” Dina memalingkan wajahnya ke arah lain dan berpura-pura tidak mendengar perkataan ayahnya. “Masih marah sama papa?” bisiknya lagi. Dina mengangkat wajahnya dan menatap tepat ke mata ayahnya. “Masih punya muka untuk bertanya seperti itu kepadaku?” Tanya Dina. Herman terkejut dengan pertanyaan Dina. Ia sama sekali tidak menyangka kalau respon semacam itu yang akan ia dapatkan dari anak perempuannya yang kini sudah beranjak dewasa. “Papa ingin bicara berdua denganmu.” Katanya kemudian. “Tidak ada yang perlu dibicarakan.” Jawab Dina dengan ketus. “Dina…” Herman mencoba membujuk Dina. “Sebentar lagi Dina akan kuliah ya?” “Iya, kalau ada uangnya!” jawab Dina dengan tajam. Herman mengangguk. “Sejak tahun lalu papa mulai sakit-sakitan.” Katanya kemudian. Dina menatap Herman dari ujung rambut hingga ujung kaki kemudian menggelengkan kepalanya. “Maaf, tapi anda tidak terlihat seperti orang sakit. Tidak semudah itu untuk membohongiku.” “Ini serius!” bantah Herman. “Mamamu bahkan datang untuk menjenguk papa saat papa dirawat di rumah sakit di bulan Desember tahun lalu.” Dina tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Pembohong!” seru Dina. Herman terkejut dengan reaksi Dina, ia bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Semua orang yang saat itu sedang berteduh di halte seketika kompak menatap ke arah Dina. Suasana di dalam halte itu seketika menjadi sangat tidak nyaman bagi Dina dan ayahnya. Ketika hujan mulai mereda, satu per satu orang yang berteduh di situ pun meninggalkan halte, menyisakan Dina dan ayahnya yang masih saling diam untuk beberapa saat. “Kamu kenapa keluar di saat hari sedang hujan seperti ini?” Tanya Herman memecah keheningan. “Membeli bumbu masak.” “Mamamu mungkin sedang menunggu bumbu itu.” “Hmm…” jawab Dina sekenanya. “Lalu bagaimana kabar kakakmu?” “Dia masih berusaha agar diterima menjadi anggota polisi.” “Papa sudah mendengar itu.” “Hmmm…” balas Dina. “Papa ingin berkunjung ke tempat kalian, boleh tidak?” “Mungkin untuk saat ini jangan dulu.” “Lalu kapan baru bisa?” “Entahlah. Atau mungkin juga tidak akan pernah bisa.” “Baiklah, tidak apa-apa.” Balas Herman dengan ekspresi kecewa. Ia lantas menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya. “Hujannya sudah berhenti, papa pergi dulu.” Katanya kemudian melangkah pergi. Dina tidak mengatakan apapun. Ia hanya diam sambil menatap punggung ayahnya yang berjalan menjauh. Di tangannya masih ada sebungkus garam dan payung basah yang terlipat. Langit perlahan berubah menjadi cerah dan pelangi yang indah pun muncul. Dina terpana menatap pelangi itu untuk beberapa saat. Ingatannya tiba-tiba terbawa kembali pada masa kanak-kanaknya. Kala itu Dina sedang duduk di ruang tamu rumah dinas dan bermain restoran-restoran dengan ayahnya. Di luar sedang turun hujan yang cukup deras. Ketika hujan berhenti, ayahnya mengajak Dina untuk melihat ke luar rumah apakah ada pelangi atau tidak. “Na, mau main di luar tidak?” “Kenapa?” Tanya Dina kecil. “Lihat apakah ada pelangi atau tidak.” “Pelangi itu apa?” Tanya Dina lagi sambil berjalan mengikuti ayahnya untuk menuju ke luar rumah. “Sesuatu yang berwarna-warni yang muncul di langit ketika hujan reda.” “Begitu ya…” Dina melihat ke langit apakah pelangi yang dimaksud oleh ayahnya sudah muncul atau belum. “Sudah muncul atau belum, Pa?” Tanya Dina. “Belum. Mungkin sebentar lagi.” Jawab Herman dengan lembut. Mereka menunggu pelangi muncul selama beberapa saat. Setelah beberapa menit menunggu pelangi yang indah pun muncul di langit. Itu adalah pertama kalinya Dina melihat pelangi. Mungkin selama ini ia sudah pernah melihatnya namun ia tidak tahu jika itu dinamakan pelangi. “Pa, pelangi itu bentuknya seperti jembatan ya?” Tanya Dina sambil menunjuk ke arah pelangi yang ia maksud. Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan polos dari anaknya itu. “Jika itu jembatan, menurut Dina itu jembatan menuju ke mana?” ayahnya balik bertanya. “Jembatan menuju ke surga!” jawab Dina dengan penuh semangat. Ayahnya pun tertawa mendengar jawaban Dina itu. “Kalau kamu sudah sedikit lebih besar akan papa jelaskan bagaimana pelangi itu bisa muncul ya.” “Iya pa.” jawab Dina sambil terus melihat ke langit. Hati Dina mendadak menjadi sangat sedih ketika ingatan masa lalu itu selesai berputar di otaknya. Itu adalah salah satu momen indah yang ia simpan dalam hatinya tentang ayahnya. Mata Dina berkaca-kaca namun ia memilih untuk menengadahkan kepalanya ke atas agar air matanya tidak sampai keluar. Ia berjalan ke arah yang berlawanan dengan ayahnya. Ia akan melanjutkan perjalanannya untuk mencari merica yang diminta oleh ibunya. Sesekali ia menoleh dan melihat bayangan ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kecil. Dalam hatinya ia mengakui bahwa ia memang merindukan ayahnya, namun rindu saja tidak cukup untuk menutupi semua luka yang ditimbulkan oleh perbuatan ayahnya ketika mereka masih kecil. Bagi Dina, pintu perdamaian dengan ayahnya sudah tertutup. Ia tidak akan memberi kesempatan kepada ayahnya untuk kembali ke dalam kehidupan mereka tidak peduli apapun yang terjadi. Dina akhirnya mendapatkan merica bubuk yang diminta oleh ibunya. Ia berlari pulang ke rumah karena sadar ia sudah pergi cukup lama. Begitu tiba di rumah, Dina mendapati ibunya sedang duduk menunggu dengan resah di teras rumah. “Hanya mencari garam dan merica saja perginya sampai dua jam?” Tanya Gladys dengan marah. Dina melangkah mendekati ibunya kemudian berbisik, “Dina bertemu papa di jalan.” Gladys segera bangkit dari kursi tempat ia duduk dan menarik lengan Dina untuk ikut masuk ke dalam. “Ceritakan kepada mama.” Hari itu adalah hari Sabtu sehingga Gladys tidak pergi ke kantor dan berada di rumah sepanjang hari. “Dina berteduh di halte yang di dekat warung tadi saat hujan deras dan papa juga kebetulan berteduh di halte itu.” Mendengar Dina menyebut kata papa, Oscar yang berada di dapur pun segera datang untuk bergabung dengan mereka. “Bertemu papa?” Tanya Oscar untuk memastikan telinganya tidak keliru mendengar perkataan Dina sebelumnya. Dina menganggukan kepalanya. “Lalu apa katanya?” Tanya Oscar dengan penasaran lagi. “Dia mengatakan kalau dia sekarang mulai sakit-sakitan. Dia bahkan pernah dirawat di rumah sakit dan mama datang menjenguknya.” Oscar dan Dina kompak menatap ke arah ibu mereka. “Itu memang benar.” Dengan berat hati, Gladys menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan jujur. “Mama, apa-apaan sih?” protes Oscar. “Iya nih, mama kenapa sih?” Dina menimpali. “Kalian ingat saat tante Wanda dan om Carlos datang dan makan malam bersama kita terakhir kali di bulan Desember?” Oscar dan Dina mengangguk. “Mereka datang untuk memberitahu mama keadaan papa. Papa terkena serangan jantung di kantor sehingga dilarikan ke rumah sakit. Mama menjenguk keesokan harinya. Mama berada di sana tidak sampai satu jam. Kami juga tidak membicarakan apa-apa.” “Tapi seharusnya kan mama tidak ke sana!” protes Oscar dengan keras. “Mama juga tidak mau sebenarnya tetapi tante Wanda dan om Carlos mendesak mama. Untuk alasan kemanusiaan saja kata mereka karena kami masih suami istri yang sah meskipun kenyataannya tidak seperti yang tertulis di dokumen resmi kami.” “Lain kali jangan jenguk dia lagi ma, entah untuk alasan kemanusiaan atau apapun, tidak perlu!” kata Oscar dengan tegas. Gladys hanya bisa menganggukan kepalanya dan tidak ingin terlibat perdebatan lebih panjang lagi dengan anak-anaknya. Ia lantas kembali ke dapur untuk memasak sementara Dina dan Oscar menunggu di ruang tamu. “Lalu apa lagi yang dia katakan kepadamu?” Tanya Oscar, penuh selidik. “Dia bertanya apakah dia bisa datang mengunjungi kita.” “Dan apa jawabanmu?” “Aku jawab tidak bisa, tidak akan pernah bisa.” “Bagus. Memang begitu seharusnya menanggapi orang itu.” Kata Oscar. Oscar terdiam untuk sesaat kemudian melanjutkan perkataannya kembali. “Dina, jangan sampai termakan dengan ucapan orang itu ya!” Oscar memperingatkan. “Nggak kok, kak. Kenapa Dina harus mempercayai orang yang telah melukai kita?” jawab Dina. Oscar puas dengan jawaban Dina itu. Ia begitu marah kepada ayahnya dan berharap agar orang itu tidak pernah muncul lagi dalam kehidupan mereka. Dari dapur Gladys bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Dina dan Oscar. “Anak-anak ayo makan, makanannya sudah siap nih!” panggil Gladys dari ruang makan. Dina dan Oscar dengan segera beranjak dari sofa ruang tamu menuju ke ruang makan. “Gara-gara Dina nih kita jadi terlambat makan siang.” Tuding Oscar. “Kan hujan deras kak, makanya Dina harus berteduh dulu di halte saat pergi mencari garam dan merica tadi.” “Sudah… Sudah… Berhenti mengobrol, makan yuk…” kata Gladys menengahi. Dina dan Oscar melahap ayam goreng mentega buatan ibunya itu dengan penuh selera, di samping mereka memang juga sudah benar-benar kelaparan karena makan siang yang terlambat disajikan.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD