Juli 2008
Dina telah lulus dari SMA dan bersiap untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Dina memilih sebuah universitas swasta dengan reputasi yang sangat baik namun terkenal dengan harganya yang mahal bahkan mungkin dapat digolonkan sebagai salah satu yang termahal di kota mereka. Pilihan Dina sempat ditentang oleh ibunya karena merasa bahwa ia mungkin tidak akan mampu untuk membiayai kuliah Dina di tempat itu. Demikian halnya dengan Oscar, ia juga tidak setuju dengan pilihan Dina itu.
Terjadi pertengkaran di antara Dina dan Oscar karena hal itu. Oscar menyebut Dina tidak pengertian dengan situasi mereka saat itu. Ketika ibunya sudah bersusah payah berjuang sendirian untuk menyekolahkannya, ia justru memilih universitas yang akan membuat ibunya semakin kesulitan.
Dina menyanggah tuduhan kakaknya itu dengan mengatakan bahwa kakaknya juga tidak ada bedanya dengan dirinya. Ketika ia berkali-kali tidak lolos seleksi menjadi anggota POLRI, ia justru tidak mau bekerja dan hanya berdiam diri di rumah menunggu pendaftaran untuk seleksi yang sama dibuka kembali pada tahun berikutnya. Ia harusnya bisa bekerja selagi menunggu pendaftaran di buka kembali namun ia memilih untuk tidak melakukannya dan terus menjadi tanggungan ibunya.
Pertengakaran tersebut berlangsung alot. Mereka sama-sama tidak mau mengalah dan berkeras pada pendapatnya masing-masing. Gladys melerai pertengkaran tersebut dan mengatakan bahwa ia akan memikirkan cara agar Dina dapat melanjutkan pendidikan di universitas yang ia kehendaki namun ia tidak berjanji bahwa ia dapat mengabulkan permintaan Dina. Jika sampai pada waktunya, Gladys masih belum bisa mengumpulkan uang yang Dina butuhkan maka Gladys berharap Dina bersedia untuk berkuliah di tempat lain yang biayanya lebih murah dan memungkinkan untuk Gladys penuhi.
Dina bersedia untuk membuat kesepakatan itu dengan ibunya. Ia juga telah memilih satu universitas negeri yang akan menjadi pilihan keduanya apabila ia gagal untuk masuk ke universitas swasta yang menjadi pilihan pertamanya.
Di suatu siang yang panas, Dina yang hanya berdua di rumah dengan Oscar, sedang duduk untuk menonton televisi di ruang tamu rumah mereka.
“Tapi aku sedang mengusahakannya, Ren!”
Tiba-tiba terdengar suara Oscar sedang marah dari dalam kamarnya.
“Aku juga mau tahun ini, tapi kalau masih belum berhasil aku bisa apa?”
“Ini keinginanmu atau ibumu?”
“Ibumu memang tidak menyukai aku sejak awal dan kamu tahu itu!”
“Jika ibumu mau mencarikan yang terbaik untukmu maka kamu lebih baik menurut saja.”
Dina bisa mendengar semua yang Oscar katakan dari tempatnya menonton. Dina menebak bahwa Oscar sedang berbicara dengan Karen atau lebih tepatnya lagi sedang bertengkar.
“Ren, dengarkan aku!” kata Oscar dengan keras.
Dina memelankan suara televisi agar bisa mendengar dengan lebih jelas apa yang dikatakan oleh Oscar.
“Aku pikir hubungan kita tidak akan berhasil. Akan lebih baik jika kita menyudahi ini semua. Ibumu pasti akan sangat senang ketika mengetahui kita sudah tidak lagi berpacaran.”
“Aku melakukan ini demi kebaikanmu.”
“Tidak perlu menangis. Aku tidak marah padamu. Aku hanya menyesali keadaan kita yang terus ditentukan oleh perkataan ibumu, itu saja!”
“Sudah ya, lain kali kita bicara lagi.”
Tiba-tiba terdengar suara kunci pintu yang diputar oleh Oscar dari dalam kamar. Dina segera mengatur posisinya dan berpura-pura sedang asyik menonton.
Oscar berjalan menuju dapur dan mengambil air dari dalam kulkas kemudian meneguknya sampai habis dalam satu tarikan napas.
“Menguping ya?” Tanya Oscar ketika ia kembali dari dapur.
Ia duduk di sofa lain yang berseberangan dengan Dina.
Dina hanya tersenyum kecil dan melirik kakaknya dengan ekor matanya.
“Aku sudah putus dengan Karen.” Kata Oscar.
“Setelah tiga tahun lebih?” Tanya Dina menanggapi pernyataan kakaknya itu.
Oscar mengangguk dengan lesu. Dari wajahnya tersirat sebuah kesedihan yang ditutupi rapat-rapat.
“Sayang sekali ya…” Dina menyayangkan perpisahan itu. “Padahal Karen orang yang baik.”
“Iya, Karen baik tetapi ibunya tidak.”
“Ibunya tidak suka kakak ya?”
“Iya, sejak awal.” Ingatan Oscar kembali pada kejadian di bandara ketika ia ikut untuk mengantar Karen yang akan berangkat ke Jakarta.
Sejak Karen pergi untuk berkuliah di Jakarta, gadis itu belum pernah sekalipun kembali ke Manado lagi. Mereka berhasil melalui tiga tahun tanpa saling bertemu. Namun kali ini Oscar tidak dapat menahannya lagi.
“Bagaimana awalnya?” Tanya Dina.
“Waktu kami bertemu di bandara pada hari Karen akan berangkat ke Jakarta, ibu dan ayahnya menyambutku dengan dingin. Ibunya memandangku dengan enggan. Ia seperti memandang rendah kepadaku ketika mengetahui kalau orang tua kita pegawai negeri sipil, ia juga meremehkanku karena aku memilih tidak kuliah dan ingin jadi polisi saja. Ayahnya sedikit dingin di awal tetapi menurutku orangnya lumayan baik, cukup bersahabatlah menurutku. Hanya saja aku bisa melihat kalau ibunya adalah yang dominan di keluarga itu sehingga ayahnya memilih untuk lebih banyak diam.”
“Mungkin mereka semua membiarkan ibunya memegang kendali di dalam keluarga itu untuk menghindari pertengkaran kak.”
“Yang aku lihat juga begitu sih.”
“Kalau begitu yang salah bukan Karen dong kak. Jadi kenapa juga kakak harus marah dan memutuskan Karen?”
Oscar terdiam mendengar perkataan Dina.
“Lalu penyebab pertengkaran hari ini apa?” Tanya Dina lagi.
“Karen mempertanyakan keadaanku yang belum lolos seleksi hingga tiga kali. Aku tahu kalau ibunya pasti berada di belakang semua itu. Karen juga sempat mengatakan bahwa ada seorang pria yang akan dikenalkan oleh ibunya kepada Karen.”
“Dan apa jawaban kakak?” Tanya Dina dengan penasaran.
“Aku menyuruh Karen menurut saja kepada ibunya demi kebaikannya.”
“Kakak menyerah semudah itu?” Tanya Dina setengah tidak percaya.
“Itu sama sekali tidak mudah. Jangan mengatakan seperti itu. Aku mengorbankan perasaanku demi kebaikan Karen.” Kata Oscar berkeras.
“Kakak mengorbankan Karen untuk ego kakak sendiri.” Balas Dina. “Kakak mungkin tidak tahu apa yang dihadapi oleh Karen selama ini, karena yang ia tentang adalah ibu kandungnya sendiri. Berapa kali ia dimarahi oleh ibunya, berapa kali ia bertengkar dengan ibunya yang tidak kakak ketahui? Bagaimana jika ia benar-benar dijodohkan dengan orang lain padahal hatinya untuk kakak? Bukankah Karen justru yang paling menderita di sini?”
Oscar tertegun mendengar pandangan Dina tentang masalah percintaannya dan Karen.
“Kamu mempelajari hal semacam ini di mana?” Tanya Oscar dengan heran.
“Kak, aku banyak mendengar curhatan teman-temanku. Aku menjadi bijaksana dengan sendirinya.” Jawab Dina dengan bangga.
Oscar tertawa mendengar jawaban Dina itu.
“Mendengar curhatan orang saja tidak membuat kamu bijaksana. Gimana sih?” Kata Oscar kemudian tertawa. Namun beberapa saat kemudian ia membantah perkataannya sendiri. “Kamu bahkan belum pernah berpacaran dan kamu lebih dewasa dari kami semua yang sudah berpacaran.”
Oscar bangkit dari kursinya dan hendak menuju ke kamarnya.
“Aku akan memikirkan kembali apa yang kamu katakan. Mungkin untuk saat ini aku hanya perlu untuk beristirahat sejenak dari hubungan kami yang sangat melelahkan ini.”
Dina melanjutkan menonton televisi hingga ia ketiduran di sofa.
Oscar keluar dari kamarnya untuk pergi berolahraga di lapangan dan mendapati adiknya itu sedang tertidur. Oscar tiba-tiba tertawa. Ia selalu merasa Dina adalah anak kecil dan hari ini ia mendengar sendiri betapa dewasanya adiknya itu.
Oscar tiba di lapangan dan mulai melakukan peregangan otot sebelum ia berlari mengitari lapangan seperti yang selalu ia lakukan setiap hari.
Ingatannya kembali tertuju kepada Karen. Kisah cinta mereka bermula di lapangan itu. Ketika Karen dengan berani mengutarakan perasaannya kepada dirinya dan ia kebingungan sendiri mendengar perkataan Karen.
“Aku bahkan tidak berani melakukan itu dan dia melakukannya kepadaku.” Kata Oscar dalam hati. “Dia pasti sangat mencintaiku.”
“Apa yang sudah aku lakukan? Aku memutuskan gadis yang sangat mencintaiku.”
Oscar membuka tas yang dibawanya dan mengambil ponsel pemberian Karen dari dalam tas itu. Ia mulai menghubungi Karen. Panggilan pertama Oscar tidak dijawab oleh Karen. Demikian halnya dengan panggilan kedua dan ketiga.
Keempat kali Oscar menghubungi Karen, Karen malah menolak panggilan teleponnya. Oscar tidak pantang menyerah. Ia terus berusaha menghubungi Karen sampai sepuluh kali. Ia akhirnya menyerah dan menyimpan ponsel itu kembali dalam tas.
Oscar mulai berlari namun ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi dengan kenangan tentang Karen dan perkataan Dina tadi.
Setelah ia berlari beberapa putaran, ia akhirnya kembali ke pohon tempat ia meletakkan tas yang dibawanya. Ia melihat ada pesan yang dikirimkan oleh Karen kepadanya. Oscar pun membaca pesan itu.
‘Kita mungkin perlu berpisah untuk menyadari betapa berharganya waktu saat kita bersama. Kita juga mungkin harus berpisah jika itu memang hal yang bisa membuat semua orang bahagia. Semoga berhasil dengan hidupmu, Os.’
Air mata Oscar seketika jatuh ke pangkuannya membaca pesan perpisahan dari Karen itu. Ia baru saja ingin menarik ucapannya kepada Karen namun gadis itu ternyata telah menyetujui pernyataan Oscar yang sebelumnya.
Kini semuanya sudah terlambat. Oscar sudah kehilagan gadis yang mencintainya dengan sepenuh hati.