Sudah seminggu setelah keberangkatan Oscar untuk melakukan tugas pengamanan di daerah Papua. Setiap hari ia menelepon Gladys, ibunya untuk memberitahu kabarnya. Sementara Gladys setiap malam menonton tayangan berita terkait kerusuhan yang terjadi di tempat Oscar bertugas dan itu membuatnya semakin ketakutan. Oscar berulang kali meminta ibunya untuk berhenti menonton tayangan berita dan mempercayainya saja bahwa ia baik-baik saja di sana.
Sementara itu, Dina dan Kevin sudah tidak saling berkomunikasi lagi. Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di kampus, mereka akan saling membuang muka dan berlagak seperti tidak saling mengenal. Dina sudah selesai dengan semua hal tentang Kevin.
Suatu pagi salah satu kelas Dina dibatalkan oleh dosennya karena alasan yang tidak disebutkan. Karena masih ada kelas lain setelah itu, maka Dina memutuskan untuk duduk menunggu di bawah pohon ketapang saja, tempat ia dan Helen biasa duduk untuk menunggu jam pergantian kelas. Beberapa teman laki-laki dari kelas yang sama dengan Dina juga ikut duduk di sana bersama Dina dan sesekali mengajak Dina mengobrol.
Helen tiba-tiba lewat di depan mereka namun ia tidak memperhatikan keberadaan Dina di tempat itu karena ia terus menundukkan kepalanya.
“Helen…” Panggil Dina.
Helen terus berlalu, mungkin ia tidak mendengar Dina memanggilnya.
“Len…” Panggil Dina dengan lebih keras, bahkan teman-temannya yang duduk bersama di tempat itu sampai menatap bingung ke arah Dina.
Dina meletakkan tasnya di bangku beton, “Titip tasku ya…” kata Dina kepada mereka kemudian pergi mengejar Helen.
Dina berhasil meraih tangan Helen dan menariknya dengan keras. Helen tetap menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap Dina.
“Kenapa sih Len?” Tanya Dina, kebingungan.
Dina menarik tangan Helen dan membawanya ke bawah pohon ketapang tempat ia meninggalkan tasnya. Helen menurut saja namun tetap diam seribu bahasa.
Kehadiran Helen menjadi pusat perhatian teman-teman laki-laki Dina yang berada di tempat itu.
“Kamu kenapa, Len?” Tanya Dina lagi.
Helen mengangkat wajahnya dan menunjukkan mata kanannya yang lebam. Semua yang ada di situ menjadi sangat terkejut.
“Matanya kenapa tuh?” seru salah seorang teman laki-laki Dina.
Dina memperhatikan wajah Helen lebih dekat lagi. Ternyata di sudut kiri bibir Helen juga ada luka kecil.
“Siapa yang melakukan ini kepadamu?” Tanya Dina dengan marah.
Teman-teman laki-laki Dina ikut riuh melihat keadaan Helen.
“Apa Garry orangnya?” Dina mencoba menggali informasi dari Helen.
“Boleh dihajar rame-rame nggak nih orangnya?” Salah seorang teman Dina menawarkan kepada Dina.
Helen diam saja.
“Kenapa dia melakukan ini kepadamu?” desak Dina.
Helen hanya menggelengkan kepalanya.
“Helen, aku mencoba membantumu!” bentak Dina.
Helen menundukkan kepalanya dan mulai menangis.
“Din, dibawa ke klinik kampus saja,” usul seorang temannya. “Kasihan lebam-lebam begitu.”
Dina mengangguk menerima usul temannya itu. Dina tidak bertanya kepada Helen lagi. Ia langsung menarik tangan Helen agar berdiri dari tempat duduknya.
“Kelas setelah ini aku nggak masuk ya, nanti bilang ke dosennya aku lagi di klinik kampus.” Pesan Dina kepada teman-temannya.
Dina menarik tangan Helen dan pergi dari situ. Mereka berjalan menuju klinik kampus sementara Helen tetap menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya.
Tiba di klinik kampus, seorang perawat wanita berumur kira-kira empat puluh tahunan menyambut mereka. Seluruh bagian dalam ruangan klinik itu dicat dengan warna baby pink. Benar-benar di luar ekspektasi Dina dan Helen. Mereka membayangkan ruangan yang dicat putih selayaknya sebuah klinik kesehatan.
“Ini kenapa kok sampai lebam begini?” Tanya perawat kepada Helen dan Dina.
Helen dan Dina saling berpandangan, mereka tidak tahu harus menjawab apa.
“Jangan bilang jatuh atau terbentur, aku tahu ini bukan seperti itu.”
Helen seketika dihinggapi rasa takut. Ia takut jika pihak kampus akan memperpanjang masalah ini dan melibatkan orang tuanya.
Perawat di klinik memeriksa lebam di wajah Helen.
“Satu di mata kanan dan satu di bibir sebelah kiri ya?” katanya.
“Apa ada lagi yang lain?” Tanya perawat itu kemudian.
Helen menggelengkan kepala.
“Aku akan memeriksa seluruh tubuhmu!” katanya dengan tegas.
“Dik, kunci pintunya!” perintah perawat itu kepada Dina.
Dina pun melakukan yang diperintahkan. Tidak lupa ia juga menutup tirai jendela klinik.
Helen diminta untuk melepaskan kaos dan rok yang dipakainya. Perawat itu kemudian menyuruh Helen mengangkat kedua tangannya, berputar kemudian berbalik lagi.
“Syukurlah tidak ada apa-apa. Berarti hanya yang di wajah saja ya?”
Helen mengangguk pelan. Ia lantas mengenakan pakaiannya lagi.
“Sekarang coba jelaskan apa yang terjadi?”
“Kami bertengkar di dalam mobil tadi.” Jawabnya pelan.
“Aku sudah banyak melihat pertengkaran pasangan yang berujung kekerasan di kampus ini, tetapi kasusmu kali ini adalah yang paling parah yang pernah aku lihat.”
Dina pindah untuk duduk di samping Helen. Dina mengusap punggung Helen beberapa kali. “Bukankah sudah aku peringatkan untuk berhenti berhubungan dengannya!”
“Siapa nama pelakunya? Apa dia mahasiswa di sini juga?” Tanya perawat itu kemudian.
“Garry Kosama.” Jawab Dina dengan mantap.
Helen seketika menatap wajah Dina dengan mata terbelalak. Ia tidak menyangka Dina akan bersikap blak-blakan seperti itu.
“Jadi kamu pacarnya?” demikian reaksi perawat itu.
“Memangnya kenapa suster?” Tanya Dina.
“Kira-kira sebulan yang lalu dia dan seorang mahasiswa lain di antar ke sini juga oleh petugas keamanan. Mereka bertengkar di pelataran parkir hingga keduanya babak belur.”
Helen ingat saat ia dan Garry bertemu sebulan lalu, Garry memang datang dengan wajah penuh lebam namun Garry tidak menceritakan kejadian persisnya kepada Helen.
“Dia bertengkar dengan mahasiswa tingkat tiga kalau tidak salah. Benar-benar anak yang tidak kenal rasa takut. Biasanya mahasiswa baru merasa segan kepada yang lebih senior tetapi dia berbeda. Benar-benar seorang pembuat onar tanpa rasa takut!”
Dina melirik ke arah Helen sementara temannya itu hanya bisa tertunduk lesu.
Perawat memberi kompres berisi es batu untuk mengompres mata Helen yang lebam.
“Kamu tahan agar kompresan ini tetap di matamu ya…” katanya dengan lembut. Sementara ia mengoleskan betadine di luka yang berada di sudut kiri bibir Helen.
Helen sedikit meringis kesakitan.
“Tahan sedikit ya. Ini tidak lama kok.” Bujuknya.
“Sudah selesai.” Katanya kemudian.
“Aku akan meminta kamu berbaring di sini sebentar untuk beristirahat.” Kata perawat sambil menunjuk ke ranjang yang ada di sisi lain ruangan klinik.
“Kamu mau menemaninya atau mau masuk kelas?” Tanya perawat kepada Dina.
“Aku mau masuk kelas jam sebelas, suster, nanti aku kembali lagi kemari membawakannya makan siang setelah kelas selesai.”
“Iya, masuk kelas saja dulu. Temanmu aman di sini bersamaku.” Katanya sambil tersenyum.
Dina mendekati Helen dan membelai rambut Helen yang sedang berbaring.
“Aku masuk kelas dulu ya…” kata Dina berpamitan. Helen mengangguk.
“Nanti aku bawakan makanan ya, kamu mau makan apa?”
“Terserah. Aku bisa makan apa saja.” Jawab Helen pelan.
Dina pun bergegas meninggalkan klinik untuk masuk kelas yang akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi.
Ketika Dina berlari menuju kelasnya yang berada di lantai lima gedung perkuliahan, di tangga secara tidak sengaja Dina berpapasan dengan Garry.
Dina berpura-pura tidak melihat Garry namun laki-laki itu justru berbalik arah dan mengejar Dina.
“Dina…” panggilnya.
Dina terus berlari menaiki tangga tanpa memedulikan panggilan Garry.
“Dina!” teriak Garry.
Dina terkejut mendengar suara Garry yang begitu menggelegar di tangga yang sunyi kala itu. Dina akhirnya menghentikan langkahnya.
Garry mendapati Dina dan menanyainya.
“Kamu lihat di mana Helen?”
“Tidak.” Jawab Dina, berbohong.
“Kamu pasti tahu di mana dia!” bentak Garry.
“Jangan memperlakukanku seperti kamu memperlakukan Helen!” Dina balik membentak Garry. “Aku bukan Helen yang selalu takut kepadamu!”
Garry tidak memperpanjang urusannya dengan Dina. Ia pun berlalu dari hadapan Dina. Sementara Dina bergegas menuju ke kelasnya.
Selesai kelas di jam dua belas siang, Dina langsung pergi membelikan makanan untuk Helen di warung makan yang tepat berada di seberang gerbang kampus. Setelah itu ia bergegas kembali menuju ke klinik. Ia memberikan makanan itu kepada Helen dan Helen pun segera memakannya.
“Kamu harus bersyukur memiliki teman yang baik seperti dia.” Kata perawat kepada Helen dan menunjuk ke arah Dina. Dina hanya tersenyum sementara Helen mengangguk.
“Oh ya, aku mau pergi istirahat makan siang dulu ya. Soal kejadian yang menimpamu hari ini, aku sudah mengirimkan laporan ke bagian kemahasiswaan nanti mereka yang akan memprosesnya lebih lanjut.”
Perawat itu kemudian keluar dari klinik, meninggalkan Helen dan Dina yang sedang makan bersama.
Sambil makan, Dina mencoba menasihati Helen.
“Aku ingin ini jadi pengalaman burukmu yang terakhir bersama Garry.”
Helen mengangguk pelan.
“Dia tidak mencintaimu, sadarlah!”
Helen tidak merespon.
“Sekarang jelaskan apa yang terjadi di antara kalian?”
“Dia mengatakan orang tuanya mengundangku untuk makan malam di rumah mereka…”
“Iya, kembali mengulang trik lama!” potong Dina.
“Aku menolaknya dan mengingatkannya bahwa terakhir kali aku ke sana dia mencoba untuk ya kamu tahu sendirilah, jadi aku bilang kali ini aku tidak akan tertipu lagi. Dia menjadi marah dan menamparku, hingga menimbulkan luka di bibir.”
“Lalu lebam yang di mata?”
“Karena dia mencoba meyakinkanku bahwa saat itu dia hanya khilaf dan kali ini benar-benar adalah undangan dari orang tuanya.”
“Kamu menolak lagi dan matamu ditonjok?”
“Begitulah…”
“Entah monster macam apa laki-laki itu!” umpat Dina.
Helen hanya terdiam.
“Aku mohon kali ini berhentilah mencintainya!” ucap Dina. “Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari laki-laki itu. Mungkin saja belum saat ini, bersabar saja sampai kamu mendapatkannya. Tidak apa-apa jika kamu harus sendiri dulu untuk beberapa saat.”
“Apa aku akan terkena masalah setelah ini?” Tanya Helen.
“Itu sudah pasti. Suster sudah melaporkan kejadian ini ke bagian kemahasiswaan. Kamu pasti akan dipanggil untuk menghadap, semoga saja mereka tidak ikut memanggil orang tuamu. Tetapi jika itu sampai terjadi maka kamu tidak punya pilihan selain menceritakan yang sebenarnya kepada mereka. Aku dan ibuku bersedia menjadi saksi untukmu jika itu memang diperlukan. Tenang saja, aku selalu berada dipihakmu.” Kata Dina dengan serius.
Mereka berdua mengobrol sambil makan siang, hingga akhirnya tiba waktunya bagi Dina untuk masuk ke kelas jam satu.
Suster masih belum mengizinkan Helen untuk masuk kelas jam satu. Ia ingin mengobservasi keadaan Helen satu jam lagi sampai ia benar-benar yakin bahwa Helen bisa masuk kelas.