Sebuah Pengakuan

1550 Words
Kekerasan yang dilakukan Garry terhadap Helen akhirnya berbuntut panjang. Laporan suster dari klinik kampus dengan cepat diproses oleh wakil rektor III bagian kemahasiswaan. Keesokkan harinya Helen dan Garry dipanggil untuk menghadap ke kantornya secara terpisah. Garry datang sendiri, sementara Helen didampingi Dina. Dina ikut memberi kesaksian tentang bagaimana hal itu bermula pada beberapa minggu yang lalu ketika Helen tiba-tiba mengatakan ingin menginap di rumahnya. Tidak lupa Dina juga menceritakan jika pada saat Helen datang ke rumahnya pada malam itu ada beberapa bekas cakaran kuku di tangan Helen. Lebam di mata Helen telah berubah warna pada satu hari setelah kejadian. Hari ini lebamnya sudah berwarna ungu tua dengan pinggiran berwarna agak kehijauan. Sementara luka di pinggiran bibir Helen tampak mulai mengering. Lebam di mata Helen hari ini justru terlihat lebih mengerikan daripada hari sebelumnya. Selesai menghadap di kantor wakil rektor III, Dina dan Helen duduk di bawah pohon ketapang tempat nongkrong favorit mereka berdua sebelum mereka mengikuti kelas berikutnya di siang hari. “Bagaimana kemarin setelah kamu tiba di rumah, apa kata orang tuamu?” Tanya Dina dengan penasaran. “Mereka sangat marah. Hari ini sebenarnya rencananya mereka akan membawaku melapor ke kantor polisi tetapi aku mengatakan aku ada kelas sampai sore jadi mereka menundanya.” “Iya, laki-laki jahat itu memang sudah seharusnya di penjara. Aku tidak tahan lagi melihat perlakuannya kepadamu!” Balas Dina dengan berapi-api. Mahasiswa lain yang lalu lalang di depan mereka tidak ada satu pun yang tidak melirik ke arah Helen. Semua memandang Helen dengan tatapan aneh, beberapa dari mereka tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat lebam yang begitu besar di sekitar mata Helen. “Aku tidak tahu apakah orang tuaku masih akan mengizinkanku untuk melanjutkan kuliah di sini atau tidak. Mereka sudah berencana untuk memindahkanku ke kampus lain bahkan mungkin ke kota lain.” Kata Helen dengan lirih, sambil menahan air mata yang nyaris tumpah. “Aku tidak tahu harus berkata apa.” Dina mendadak ikut sedih. “Tidak salah memang jika mereka sampai kepikiran untuk memindahkanmu ke tempat lain.” “Jika aku pindah ke kampus lain, kita masih bisa bertemu di luar. Tapi bagaimana jika aku dipindahkan ke kota lain?” balas Helen. “Aku tidak bisa membayangkannya.” Ucap Dina dengan lesu. “Mari kita sama-sama berharap agar itu tidak terjadi.” Dina mengusap punggung Helen beberapa kali. “Kamu harus kuat menghadapi ini. Setelah ini mungkin semuanya akan menjadi lebih berat.” Katanya. Ketika Dina dan Helen sedang mengobrol, beberapa mahasiswi datang dan duduk di tempat itu juga. Mereka mencuri-curi pandang ke arah Helen kemudian tertawa cekikikan. Dina tidak mengenal satu pun dari mereka tetapi Helen sepertinya kenal. “Kenapa cuma sebelah sih yang di bogem, kalo dua-duanya kena kan lucu ya, jadi kayak Panda!” Kata salah seorang di antara mereka dengan nada meledek. “Azab seorang penikung!” Seorang yang lain menimpali.           Helen berdiri dari tempat duduknya dan menarik Dina pergi dari situ. Mereka berdua pergi ke pelataran parkir dan duduk di bawah pohon ketapang lain yang ada di sana. “Siapa sih mereka?” Tanya Dina. “Mereka teman-teman Lisa.” Jawab Helen. “Siapa Lisa?” “Lisa adalah rekan satu jurusan kami. Dia berasal dari SMA yang sama dengan Garry. Menurut cerita yang aku dengar, Lisa menyukai Garry sejak lama. Namun Garry tidak membalas perasaannya sejak dulu, tapi sumpah aku tidak menikung Lisa. Aku baru tahu dia menyukai Garry saat aku sudah bersama Garry. Itu pun aku ketahui dari cerita Garry.” “Okay, sekarang semuanya masuk di akal bagiku.” Kata Dina sambil menganggukan kepala. “Tetapi sungguh tingkah mereka tadi sangat menyebalkan, aku benar-benar ingin menghajar mereka!” kata Dina dengan geram. “Mereka selalu bersikap seperti itu ketika bertemu denganku. Tenang saja, aku sudah terbiasa kok.” Balas Helen untuk menenangkan Dina. “Hubunganmu bersama Garry benar-benar rumit!” “Aku berusaha untuk mengakhirinya.” “Berusaha?” protes Dina. “Tidak ada alasan untuk tetap bersamanya, jadi jangan bilang kamu sedang berusaha. Kamu tidak perlu berusaha, kamu hanya harus melakukannya tanpa memikirkan apa-apa lagi!” “Tidak semudah itu, Din.” Jawab Helen. “Sudah babak belur seperti ini dan masih belum siap untuk berpisah?” Tanya Dina, keheranan. “Aku hanya…” Helen tidak melanjutkan perkataannya. “Aku akan jelaskan lain kali.” Dina merasa ada yang tidak beres dari perkataan Helen maka ia pun mendesak Helen. “Aku tidak mau lain kali. Jelaskan sekarang!” Dina memaksa. “Din, aku…” Helen menjawab dengan ragu-ragu. “aku…” Helen tidak melanjutkan perkataannya. Dina mengangkat sebelah alisnya dan menatap Helen dengan penuh selidik. “Kamu kenapa?” tanyanya. Helen masih terdiam. Air matanya menetes dan mengenai telapak tangannya. “Jangan bilang kamu sudah…” Dina pun tidak melanjutkan perkataannya. Sambil berderai air mata, Helen menatap Dina dan mengangguk. Dina segera memeluk tubuh Helen dengan erat. “Aku sudah berusaha mencegahmu, kenapa kamu begitu keras kepala?” omel Dina. “Ini semua memang salahku.” Kata Helen sambil menangis sesenggukan. “Karena dia sudah mendapatkan semua yang dia inginkan darimu, makanya ia semakin memperlakukanmu dengan semena-mena.” Dina lantas melepaskan pelukannya dari tubuh Helen. “Aku pikir dia akan mencintaiku setelah itu!” balas Helen. “Kenapa kamu bisa memiliki pemikiran sebodoh itu?” Helen tertunduk lesu. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menyembunyikan rahasia itu selamanya dari Dina. Kini Dina mengetahuinya dan ia siap untuk dimarahi habis-habisan. “Ini adalah kesempatan terbaikmu untuk memutuskan. Kamu mau menjalani kesempatan kedua dan memperbaiki hidupmu atau kamu mau tetap seperti ini saja selamanya. Aku yakin orang itu tidak akan pernah berubah. Kamu akan menderita jika tetap bersamanya. Percaya padaku!” Helen tidak memberikan jawaban. Obrolan mereka belum selesai namun mereka sudah harus pergi ke kelas mereka masing-masing. Selama berada di kelas, Dina tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang baru saja ia ketahui tentang Helen. “Anak itu benar-benar membawa dirinya dalam masalah!” Dina menggerutu dalam hatinya. “Bagaimana jika dia hamil dan harus menikah dengan laki-laki seperti Garry, bukankah ia akan babak belur setiap hari?” Memikirkan Helen membuat Dina sakit kepala. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada kelas yang sedang diikutinya. Ketika hari beranjak sore, Dina dan Helen pulang bersama. Mereka duduk bersebelahan di dalam angkot. Dalam perjalanan itu, mereka tidak banyak mengobrol. Dina masih shock dengan pengakuan Helen siang tadi dan Helen masih diliputi rasa bersalah kepada Dina karena tidak menceritakan yang sebenarnya sejak awal. “Dina, maafkan aku.” Bisik Helen tiba-tiba. “Untuk apa?” Tanya Dina. “Karena tidak jujur padamu sejak awal.” “Katakan, kapan kejadiannya?” “Di malam saat aku datang untuk menginap di rumahmu.” “Aku tidak percaya kamu membohongi kami semua sejak saat itu. Tega sekali!” “Maafkan aku!” kata Helen lalu menyandarkan kepalanya di pundak Dina. “Helen, kita bahkan belum berada di usia yang legal untuk menikah, apa kamu sudah berpikir bahwa perbuatanmu itu bisa membuat kalian harus menikah?” bisik Dina di telinga Helen. Helen mengangguk. “Jika kamu tahu, kenapa kamu nekat melakukannya? Aku bingung sebenarnya kamu mencintainya atau sedang menjadi budaknya?” Helen tidak menjawab, ia hanya menggeleng. “Orang tuamu sudah tahu?” Tanya Dina kemudian. “Tidak. Aku tidak memberitahu mereka tentang yang satu ini.” “Setelah ini berhentilah membuat masalah untuk orang tuamu!” “Aku bahkan takut untuk pulang ke rumah karena pasti akan dimarahi lagi.” “Kamu harus pulang.” Dina menasihati. “Hadapi dan selesaikan apa yang kamu mulai!” “Aku takut…” bisik Helen dan mulai menangis lagi. “Ini akan berlalu kok. Kamu tidak akan berada dalam situasi buruk ini selamanya asalkan kamu membuat keputusan yang tepat.” Kata Dina kemudian memegang tangan Helen dengan erat. Setelah itu mereka berdua berpisah jalan dan Helen melanjutkan dengan angkot yang berbeda. Dina sangat mencemaskan keadaan Helen. Ia takut jika sahabatnya itu salah membuat keputusan lagi.   Tengah malam Helen menghubungi Dina. Dina dan ibunya sebenarnya sudah tertidur, namun karena suara deringan telepon itu Dina terbangun lagi. Ia menjawab panggilan telepon itu di ruang tamu agar tidak membangunkan ibunya. “Dina, tadi Garry datang bersama orang tuanya.” Kata Helen memulai pembicaraan. “Ke rumahmu?” Tanya Dina. “Iya.” “Wah… Bagaimana ceritanya?” Dina tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mereka datang untuk meminta maaf dan ingin berdamai.” “Lalu apa kata orang tuamu?” Tanya Dina dengan penasaran. “Orang tuaku menolak untuk berdamai. Orang tuaku tetap ingin membawa masalah ini untuk diproses oleh polisi.” “Wah jadi semakin rumit ya?” “Begitulah.” “Tetapi orang tuamu melakukan hal yang benar. Percayalah, kamu akan berterima kasih kepada mereka nanti. Garry tidak akan kapok jika tidak berhadapan dengan hukum. Jika orang tuamu memaafkannya dengan mudah maka ia akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, meskipun bukan kepadamu. Tetapi aku yakin dia pasti akan mengulanginya lagi jika ia tidak diberi ganjaran kali ini.” Helen terdiam sejenak. “Aku besok tidak akan pergi ke kampus ya.” Katanya kemudian. “Kamu mau ke mana?” “Aku dan orang tuaku akan pergi membuat laporan di kantor polisi.” “Baiklah. Itu lebih baik.” “Din, sekarang kamu istirahat ya. Aku juga mau istirahat.” “Baiklah.” Helen lalu menutup teleponnya. Dina kembali ke kamarnya dan mencoba untuk tidur kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD