Malam harinya, masih pada hari yang sama, Dina mendapat telepon dari Gilbert sekira jam sembilan ketika Dina dan ibunya baru selesai membersihkan dapur sehabis makan malam.
Dina menjawab telepon itu di dalam kamar sementara ibunya menonton tayangan berita di ruang tamu. Sesekali Gladys mengintip Dina dari balik pintu dan melihat Dina sedang mengobrol dengan posisi yang berubah-ubah. Dina kadang berbicara sambil berdiri, kadang berbaring, kadang duduk di depan meja rias, Gladys sampai tertawa melihat tingkah anak perempuannya itu.
Dina dan Gilbert hanya membicarakan hal-hal ringan selayaknya orang yang baru berkenalan, seperti tentang makanan kesukaan, tempat nongkrong yang bagus, genre film favorite masing-masing, dan sebagainya.
Selera mereka berdua benar-benar jauh berbeda. Ketika Dina menyukai film drama Asia, Gilbert ternyata menyukai film laga dari Amerika dan Eropa. Demikian halnya soal makanan, saat Dina menyukai seafood, Gilbert ternyata alergi dengan semua jenis makanan laut. Gilbert tipe orang yang suka nongkrong bersama teman-teman, sementara Dina adalah tipe gadis rumahan.
Gilbert mengajak Dina untuk keluar di hari Sabtu nanti. Dina mengatakan akan meminta izin kepada ibunya terlebih dahulu, sehingga Dina belum mengiyakan ajakan Gilbert itu. Setelah mengakhiri panggilan telepon itu, Dina berbaring di ranjang sambil merenung.
“Apa aku menyukainya?” Tanya Dina dalam hatinya.
Gladys tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan mendapati Dina yang tengah berbaring telentang sambil menatap langit-langit kamar.
“Calon pacar baru lagi?” ledek Gladys kepada Dina.
“Ih Mama…” protes Dina.
“Semoga kali ini tidak seperti yang sebelumnya ya!” ujar Gladys.
“Dina belajar dari kejadian sebelumnya Ma, kali ini Dina memilih untuk bersikap lebih hati-hati.” Ujar Dina.
“Berhati-hati untuk apa?” Tanya Gladys, tak mengerti.
“Untuk menjatuhkan hati.” Jawab Dina kemudian tertawa.
Mereka berdua kemudian tertawa bersama.
“Belajar juga dari pengalaman Helen ya…” pesan Gladys.
Dina mengangguk pelan.
“Mama sangat kasihan kepada Helen. Ia mengambil keputusan yang salah hanya karena jatuh cinta kepada orang yang salah. Ya mau gimana lagi kan, sudah kejadian juga.”
Dina sudah menceritakan kepada ibunya tentang semua hal yang menimpa Helen. Gladys mengatakan bahwa ia sudah menduga hal itu akan terjadi jauh sebelumnya karena Helen terlihat plin plan dan tidak segera membuat keputusan. Dugaan Gladys pun terbukti.
“Lantas siapa nama laki-laki itu?” Tanya Gladys.
“Laki-laki yang mana?” Dina balas bertanya.
“Yang baru saja meneleponmu.”
“Oh. Dia bernama Gilbert. Mahasiswa tingkat dua dari jurusan yang sama denganku.”
“Kapan kamu mengenalnya?”
“Baru tadi siang di warnet depan kampus.”
“Dan malam ini dia langsung meneleponmu dan berbicara selama itu?”
“Memangnya berapa lama kami mengobrol?”
“Sekitar satu jam.”
“Itu tidak lama, Ma!” protes Dina.
“Tentu saja itu lama!” bantah Gladys.
“Dia mengajak Dina keluar di hari Sabtu nanti, boleh tidak Ma?”
“Jika dia anak baik-baik, minta dia ke sini dan menjemputmu. Dia harus meminta izin langsung kepada mama. Kalau dia tidak berani, maka mama akan mencurigainya seumur hidup mama!” kata Gladys sambil menunjukkan ekspresi wajah seram.
“Ih Mama, jawabannya kok gitu amat sih?” Protes Dina lagi.
“Bilang saja seperti yang mama sampaikan.” Pungkas Gladys.
“Jika mama bersikap seperti itu, maka tidak ada laki-laki yang mau mendekati Dina, Ma.”
“Umurmu bahkan belum dua puluh tahun, Na. Kamu tidak sedang terburu-buru untuk urusan cinta, bukan? Jangan berbicara seperti wanita yang masih single di usia empat puluhan.”
Dina tidak lagi mendebat ibunya. Besok ia akan mengatakan hal yang disampaikan ibunya kepada Gilbert. Setelah dipikir-pikir, Dina juga sebenarnya ingin tahu apakah Gilbert orang baik atau tidak dan jalan satu-satunya mungkin adalah dengan memakai cara yang disampaikan oleh ibunya.
Keesokkan harinya di kampus, Dina bertemu dengan Gilbert lagi.
“Jadi gimana?” Tanya Gilbert.
“Kata mamaku kamu harus ke rumahku dan meminta izin langsung kepada mama Sabtu nanti.” Kata Dina dengan ragu-ragu.
“Begitu ya?” Gilbert balik bertanya.
Dina kemudian menganggukkan kepala dengan ekspresi wajah masam.
“Baiklah. Tidak ada salahnya.” Gilbert menyanggupi. “Aku ke rumahmu Sabtu nanti jam dua siang ya!” katanya kemudian.
“Oh ya, aku mau masuk kelas dulu,” pamit Gilbert dan langsung menuju ke kelasnya. “Kita bicara lagi nanti.” Katanya dari kejauhan.
Dina terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Gilbert. Tidak ada penolakan, tidak ada protes, Gilbert mengiyakan permintaan Dina dengan begitu mudahnya.
Hati Dina begitu berbunga-bunga karena merasa bahwa mungkin Gilbert adalah laki-laki yang ia cari untuk menjadi tambatan hatinya selama ini.
Ia tak sabar menunggu saat pulang kuliah untuk memberitahukan hal ini kepada ibunya.
“Ma… Mama…” panggil Dina ketika ia tiba di rumah.
Gladys yang sedang memasak di dapur segera berlari menuju ke ruang tamu untuk menemui Dina.
“Ada apa, Na?” Tanya Gladys dengan panik. “Baru pulang sudah teriak-teriak gitu, ada apa sih?”
“Dia akan datang untuk meminta izin langsung kepada mama hari Sabtu nanti.”
“Bagus kalau begitu.” Jawab Gladys dengan dingin.
“Katanya dia akan datang jam dua siang.” Lanjut Dina dengan penuh semangat.
“Tapi mama berhak untuk tidak memberimu izin jika menurut pandangan mama dia bukan orang baik.”
“Iiiih Mama… Syaratnya kenapa di tambah-tambah terus sih?” protes Dina.
“Na, ini untuk kebaikan kamu!” balas Gladys. “Bukankah sudah mama bilang banyak-banyak belajarlah dari pengalaman Helen? Mama tidak mau hal yang sama juga terjadi kepadamu.”
Dina hanya mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya berdiri dan langsung menuju ke kamar tidur untuk meletakkan barang-barang bawaannya.
Malam itu Dina menelepon Helen dan menceritakan tentang Gilbert, laki-laki yang baru dikenalnya itu, hingga keluh kesahnya tentang ibunya yang terkesan menghalang-halangi acara jalan-jalannya dengan Gilbert. Helen mencoba menjawab dengan bijaksana bahwa ibunya hanya mencemaskan keselamatan Dina saja. Ia tidak ingin hal buruk menimpa Dina dan Helen meminta Dina untuk mengerti. Selain itu Gilbert juga belum menjadi pacar Dina yang resmi sehingga segala sesuatu masih mungkin terjadi, misalnya Gilbert memang suka kepada Dina atau malah ia tidak punya perasaan sama sekali kepada Dina.
“Jadi aku harus bagaimana?” Tanya Dina dengan lesu kepada Helen di telepon.
“Dengarkan nasihat mamamu dulu, jangan terlalu mengikuti hatimu. Kamu tahu, pada awal hubunganku dengan Garry, aku begitu mengikuti kata hatiku dan menganggap semua orang salah. Aku bahkan menganggap semua orang sengaja ingin memisahkan kami. Tapi begitulah cinta. Kamu akan dibutakan hingga akhirnya kamu akan ditampar hingga tersadar oleh kenyataan!” terang Helen.
“Begitu ya?” Tanya Dina lagi.
“Percayalah kepadaku!” Helen meyakinkan.
“Baiklah. Lalu kapan kamu akan masuk kuliah lagi? Aku sudah mulai merindukanmu.” Rengek Dina.
“Hahaha Senin depan ya…” jawab Helen sambil tertawa. “Sikapmu yang seperti ini yang membuat mamamu tidak rela melepasmu untuk pergi berpacaran.”
“Sikapku yang mana?”
“Sikapmu yang sama seperti anak kecil ini!”
“Aku tidak seperti itu!” bantah Dina dengan keras.
“Iya, kamu memang seperti itu!” ledek Helen.
“Aku benci saat kamu mulai meledekku.”
“Itu artinya kamu tidak siap untuk berpacaran.”
“Lho kenapa?” Dina kebingungan.
“Saat berpacaran, kamu akan sering berada dalam situasi-situasi yang lebih menjengkelkan daripada diledek.”
“Kamu memang tahu segalanya…”
“Tentu saja.” Jawab Helen kemudian tertawa lagi.
“Ya sudah, teleponnya aku tutup dulu ya. Malam ini aku akan merenungkan perkataanmu dan perkataan mamaku.”
“Nah begitu lebih baik!”
Dina dan Helen mengakhiri pembicaraan telepon mereka dan Dina pun masuk ke kamar untuk beristirahat. Di dalam kamar ia mendapati ibunya yang sudah tertidur pulas. Dina berusaha untuk tetap tenang sehingga ibunya tidak sampai terbangun.