Helen dan Hidupnya

1681 Words
Suatu malam Helen menelepon Dina dan menanyakan apakah ia boleh menginap di rumah mereka. Dina menjawab akan menanyakan kepada ibunya terlebih dulu apakah boleh atau tidak. Dina lantas bertanya kepada Gladys perihal temannya yang ingin menginap di tempat mereka malam itu, apakah Gladys membolehkannya atau tidak. Gladys sama sekali tidak keberatan. Rumah mereka menjadi semakin sunyi sejak Oscar masuk asrama untuk menjalani pendidikan di Sekolah Polisi Negara. Ia mungkin akan pulang sesekali namun ia belum memberi kabar soal itu. Kamarnya masih tertata rapi dan dibersihkan oleh Gladys setiap hari. “Nanti Helen disuruh tidur di kamarnya kakak saja…” kata Gladys kepada Dina. Dina menganggukan kepala kemudian mengambil ponselnya untuk menghubungi Helen. “Len, kata mamaku kamu boleh menginap di sini. Kamu di mana sekarang?” kata di telepon. “Begitukah? Baiklah aku dan mamaku ke sana sekarang…” balas Dina lagi. Gladys menguping pembicaraan telepon antara Dina dan Helen. Dina berlari mendapati ibunya yang sedang menyiapkan kamar Oscar untuk ditempati oleh Helen malam ini. “Ma, Helen sudah di gerbang utama ternyata. Ayo kita jemput dia…” kata Dina. “Hah secepat itu?” Tanya Gladys dengan terkejut. “Ya sudah ayo kita jemput.” Jam di dinding menunjukkan kalau itu sudah jam sepuluh. Dalam perjalanan dari rumah mereka menuju ke gerbang utama kompleks perumahan dinas, Gladys bertanya beberapa kepada Dina tentang Helen. “Kenapa Helen tiba-tiba mau menginap di rumah kita?” “Dina tidak tahu Ma, tiba-tiba saja dia menelepon dan mengatakan seperti itu.” “Saat menelepon dia terdengar seperti apa, apakah dia menangis atau marah?” “Dia hanya terdengar seperti sedang terburu-buru.” “Begitu ya?” Gladys sangat penasaran dengan hal yang membawa Helen ke rumah mereka. “Mama belum pernah melihat Helen sebelumnya. Apa kesanmu tentang Helen?” “Helen itu orangnya lucu, Ma. Maksud Dina dia humoris.” “Na, apa kamu tahu kalau orang humoris itu biasanya ada dua jenis.” “Dua jenis?” tanya Dina. “Iya. Ada yang memang orangnya humoris tetapi dia bisa serius saat dituntut untuk bersikap serius. Tetapi ada juga yang bersikap humoris untuk menyembunyikan sesuatu. Orang yang seperti ini biasanya menutupi perasaannya dengan melucu. Menurut kamu Helen tergolong orang humoris yang mana?” Belum sempat Dina menjawab pertanyaan ibunya, mereka sudah sampai di gerbang utama tempat Helen menunggu. Dari jarak beberapa meter, mereka melihat Helen yang berdiri menenteng tas ransel yang tidak terlalu besar. “Helen…” panggil Dina. Helen segera menoleh kemudian melambai kepada Dina dan ibunya. Gladys memberitahu petugas piket kompleks perumahan bahwa Helen adalah tamunya sehingga Helen diizinkan untuk melewati pos pemeriksaan itu dengan mudah. “Selamat malam, Tante. Maaf merepotkan malam-malam begini.” “Tidak apa-apa. Ayo langsung ke rumah saja.” Ajak Gladys. Mereka berjalan menuju ke rumah tanpa mengobrol. Sepanjang perjalanan mereka semua diam membisu. Gladys memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Helen. Ia memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana jeans pendek berwarna biru muda serta ada tas ransel berwarna hitam di punggungnya. Begitu tiba di rumah, Gladys membuka pintu dan mempersilakan Dina dan Helen untuk masuk lebih dulu. Dengan malu-malu, Helen berjalan memasuki rumah. “Maaf ya, rumah dinas anggota TNI memang begini.” Kata Gladys. Yang di maksud oleh Gladys adalah rumah mereka berukuran kecil. “Tidak apa-apa. Yang terpenting adalah perasaan orang di dalamnya.” Jawab Helen. “Mari duduk dulu.” Gladys mempersilakan. Mereka bertiga kemudian duduk di sofa ruang tamu. Gladys terus mengamati Helen. Ia cukup cantik menurut Gladys. “Jadi kalau boleh tahu apa yang membawa Helen kemari malam-malam begini?” “Ehm…” Helen terlihat ragu-ragu. Ia duduk dengan gelisah. Ia merubah posisi duduknya beberapa kali. Matanya memandang ke sekelilingnya. Ia terlihat seperti ingin mulai bicara namun mengurungkan niatnya lagi. “Helen kenapa?” tanya Dina dengan penasaran. “Aku kabur.” Jawab Helen. “Dari rumah?” tanya Dina lagi. “Dari Garry.” Jawab Helen sambal menundukkan kepala. Garry adalah pacar Helen. Menurut cerita Helen, ia dan Garry mulai berpacaran ketika kuliah di mulai karena mereka baru saling mengenal saat sama-sama berada di antrian untuk mendaftar di universitas tersebut. Sehingga itu berarti bahwa mereka baru berpacaran selama tiga bulan. Mereka tidak suka menunjukkan kebersamaan mereka saat berada di kampus sehingga banyak orang tidak tahu dan menduga kalau Helen tidak punya pacar. Beberapa laki-laki bahkan berusaha untuk mendekati Helen. “Garry adalah pacar Helen, Ma.” Dina menerangkan. “Memangnya ada apa dengan Garry?” tanya Gladys. “Garry mengundangku untuk menginap di rumahnya. Aku tidak mau tetapi Garry menyuruh ibunya untuk berbicara kepadaku di telepon dan meyakinkanku bahwa ibunya yang mengundangku dan itu memang keinginan ibunya. Saat meminta izin kepada orang tuaku aku juga tidak bilang mau ke rumah Garry, aku bilangnya mau ke sini. Begitu sampai di sana, ternyata orang tuanya tidak ada. Orang tuanya sedang bepergian ke luar negeri, yang meneleponku bukan ibunya melainkan pembantu rumah tangga di rumah mereka. Pembantu mereka hanya bekerja sampai waktu makan malam, setelah itu ia akan pulang. Aku sangat ketakutan saat pembantu itu berpamitan kepada kami untuk pulang. Tadinya aku pikir dia juga tinggal di rumah itu.” Napas Helen terdengar tidak beraturan. Ia menceritakan pengalamannya dengan terburu-buru dan ia terlihat seperti orang yang sedang panik. “Helen, tenangkan dirimu dulu. Tarik napas dan embuskan.” Gladys menyarankan. Helen menuruti saran Gladys. Setelah itu ia mulai bercerita kembali. “Dia tidak mengizinkan aku untuk pergi. Aku tahu dia pasti punya niat yang tidak baik terhadapku. Jika ia tidak mau berbuat apa-apa kepadaku, kenapa harus membohongiku saat di telepon dengan mengatakan  bahwa itu adalah ibunya?” Helen lantas menunjukkan beberapa bekas cakaran di tangannya yang ia dapat saat ia berusaha melarikan diri dari Garry. “Dalam perjalanan dengan angkot kemari aku baru menyadari kalau tanganku sudah jadi seperti ini.” Pada waktu itu mungkin ia tidak sadar sudah terkena kuku Garry saat mereka saling tarik menarik. “Bagaimana caranya kamu bisa kabur?” “Aku melempar barang-barang yang ada di sekitarku kepadanya. Yang terakhir adalah sebuah vas bunga. Aku tidak tahu vas itu mengenainya atau tidak. Itu adalah moment di mana aku bisa melarikan diri.” “Helen di lehermu juga ada bekas cakaran.” Kata Dina. Helen menyentuh lehernya kemudian merasakan perih. “Aku sudah tidak menyadarinya.” Jawab Helen. “Tapi kamu baik-baik saja kan, Len? Kamu tahu kan maksud tante?” tanya Gladys. “Iya tante, aku baik-baik saja kok.” Jawab Helen lagi. “Jika dia sudah menyentuhmu maka tante akan mengantarmu untuk membuat laporan polisi malam ini juga.” Kata Gladys dengan tegas. “Tidak kok tante, hanya bekas-bekas cakaran ini saja.” “Ya sudah, kamu mau makan atau mau diambilkan sesuatu yang lain, tidak?” tanya Gladys. “Tidak perlu tante. Terima kasih.” Jawab Helen. Dina lalu pindah untuk duduk tepat di sebelah Helen. Dina melingkarkan lengannya di pundak Helen. Helen kemudian bersandar ke bahu Dina. Tangis Helen tiba-tiba pecah. “Aku sangat takut.” Kata Helen dalam tangisnya. Gladys juga pindah ke samping Helen dan mengusap punggung Helen untuk menenangkannya. “Kami mengerti…” kata Gladys kepada Helen. “Kamu baru saja melewati saat yang buruk dalam hidupnya. Anggap saja ini pelajaran untukmu agar tidak mudah percaya kepada orang lain, meskipun itu adalah pacarmu sendiri.” Helen mengangguk pelan. “Na, antar Helen ke kamar dan temani dia beristirahat sebentar ya.” Perintah Gladys kepada Dina. Dina kemudian membantu Helen untuk berdiri dari sofa, ia juga mengambilkan tas ransel Helen dan mengantar temannya itu ke kamar yang telah disiapkan. Begitu pintu kamar terbuka, Helen menatap sekelilingnya dengan bingung. “Ini kamar siapa?” tanyanya. “Kamar kakakku.” “Dia masih di asrama?” tanya Helen untuk memastikan. “Iya.” Helen lantas duduk di ranjang diikuti oleh Dina. “Aku selalu memiliki perasaan yang tidak baik terhadap Garry, tetapi apa yang ia lakukan hari ini benar-benar kelewatan.” Helen hanya terdiam dan tidak membalas perkataan Dina. “Kamu masih mau melanjutkan hubungan dengannya?” “Aku tidak tahu.” Jawab Helen kemudian mulai menangis lagi. Dina mengusap punggung Helen. “Kamu mau aku menemanimu di sini atau kamu mau tidur sendiri?” tanya Dina. “Aku bisa sendiri kok, jangan khawatir.” Jawab Helen sambil menyeka air matanya. “Ya sudah, aku tidur di kamar sebelah ya. Kalau kamu butuh apa-apa panggil saja aku. Kalau kamu tidak enak kepada mamaku, kamu bisa meneleponku saat membutuhkanku di tengah malam.” Helen mengangguk. “Terima kasih ya…” “Sama-sama.” Jawab Dina sambil tersenyum. Dina kemudian meninggalkan Helen sendiri di kamar itu dan pergi ke kamarnya. Di sana sudah ada ibunya yang tengah berbaring di ranjang. “Helen sudah tidur?” “Belum Ma. Dina bertanya apa dia mau ditemani tetapi dia bilang tidak perlu.” “Mama kasihan kepadanya karena harus melewati hal semacam ini.” “Iya Ma.” “Ini juga pelajaran untukmu Na, hati-hati dalam memilih teman pria.” “Kalau pacar Helen, Dina sendiri pun tidak suka melihat tingkah lakunya.” “Memangnya pacar Helen seperti apa orangnya?” “Badannya tinggi dan besar tetapi tidak sebesar kakak. Dia juga tidak setinggi kakak. Wajahnya sangat aneh, seperti wajah orang bule tetapi matanya sipit seperti orang Tiong Hoa. Alisnya tebal dan disalah satu alisnya ada bekas luka seperti luka jahitan sehingga alisnya terlihat seperti putus di tengah-tengah. Di tangan kanannya ada tattoo berbentuk Salib yang sangat besar. Ia juga memakai anting berlian di salah satu telinganya. Orangnya sangat arogan, Ma. Ia suka memaki orang seenaknya. Misalnya jika mereka makan di luar, ia tidak segan-segan memarahi dan mempermalukan pelayan meskipun itu hanya sebuah kesalahan kecil. Helen pernah menceritakan itu kepada Dina.” “Pasti anak orang kaya ya?” tanya Gladys. “Menurut cerita yang Dina dengar, ayahnya adalah kepala dari sebuah bank milik pemerintah. Sementara ibunya adalah dokter bedah. Dia juga anak tunggal.” “Begitu ya?” Dina pun mengangguk. “Ya sudah, mari kita tidur. Besok kita bicara dengan Helen lagi.” Dina dan ibunya pun tidur. Sementara Helen yang berada di kamar yang lain justru tidak bisa tidur. Ia terus terbayang kejadian yang baru saja menimpanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD