Pagi hari berikutnya begitu terbangun Dina langsung pergi untuk melihat Helen di kamar Oscar. Ia mendapati Helen sedang duduk di ranjang sambil memegang ponsel.
“Selamat pagi.” Sapa Dina.
Helen menatap Dina tanpa menjawab sepatah katapun. Dina bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dina pun bergerak masuk ke dalam kamar dan duduk di samping Helen.
“Dia mencarimu lagi?” Tanya Dina.
“Iya.” Jawab Helen dengan lesu.
“Kamu tidak tidur semalaman ya?” Tanya Dina karena melihat wajah Helen yang tampak begitu lelah.
“Iya. Dia tidak berhenti meneleponku semalaman.”
“Apa katanya?” Tanya Dina dengan penasaran.
“Awalnya ia meminta maaf, setelah itu ia mulai membujukku untuk kembali ke sana, setelah aku menolak ajakannya itu dia mulai mengajak bertengkar. Ia melempar segala macam tuduhan yang sangat tidak mengenakkan di telingaku.”
“Tuduhan macam apa?” Tanya Dina lagi.
“Dia mengatakan aku sok suci. Dia mengatakan aku berpura-pura tidak berpengalaman padahal aku sudah ahli dalam hal itu.”
Mata Dina terbelalak lebar mendengar ucapan Helen itu. Ia terkejut dengan betapa jahatnya tuduhan Garry kepada Helen.
“Saranku kamu lebih baik putus saja dengannya.”
Helen terdiam mendengar saran Dina.
“Hubungan kalian sudah tidak sehat. Lama kelamaan kamu akan luluh dan menuruti keinginannya.” Lanjut Dina.
“Aku berada dalam posisi yang sulit.” Balas Helen.
“Sesulit apa?”
“Terlalu cinta untuk melepaskan tetapi terlalu sakit untuk melanjutkan.”
“Iya, maka dari itu aku menyarankanmu untuk tidak melanjutkan hubungan dengannya lagi.” Dina berkeras. “Pada akhirnya ia akan berhasil memonopoli pikiranmu dan kamu akan menuruti semua keinginannya dengan sukarela.”
“Aku akan memikirkannya lagi.”
“Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi!” bantah Dina dengan keras. “Sadarilah kalau dia tidak mencintaimu. Seorang pria tidak akan mencoba menodai wanita yang dicintainya!”
Helen mulai menangis lagi. “Aku masih mencintai Garry.”
“Helen, itu bukan cinta! Kamu hanya ingin memilikinya saja. Jika mau mencintai orang lain, kamu harus mencintai dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika kamu hanya mencintainya saja sementara kamu tidak mencintai dirimu sendiri maka hubungan kalian pasti tidak akan berhasil.”
Helen terdiam sejenak. Ia tidak menjawab perkataan Dina. Ia hanya menundukkan kepalanya dan menatap tepat ke lantai.
“Bisakah kita bicarakan ini lain kali?” pinta Helen kemudian. “Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam enam pagi.”
“Aku lelah.” Kata Helen.
“Aku akan meninggalkanmu sendiri di sini untuk beristirahat.” Dina lantas merebut ponsel Helen dari tangannya. “Ponselmu akan aku simpan supaya kamu bisa beristirahat tanpa gangguan darinya.”
“Tapi Din…” protes Helen.
“Tidak ada protes. Tidur sekarang!” kata Dina sambil menutup pintu kamar itu dan pergi membawa ponsel Helen.
Dina kembali ke kamar ibunya dan meletakkan ponsel Helen di meja rias yang ada di kamar. Ponsel itu terus bergetar di atas meja. Dina mengintip ke layar ponsel dan melihat kalau panggilan tersebut berasal dari Garry. Dina membiarkan ponsel itu terus bergetar tanpa menjawabnya.
Lima panggilan masuk secara berturut-turut ke ponsel Helen dan semuanya berasal dari Garry.
“Kenapa Helen bisa cinta setengah mati kepada orang sakit jiwa seperti dia ini sih?” umpat Dina.
Gladys ternyata mendengar apa yang dikatakan oleh Dina.
“Ya begitulah cinta, Na. Kadang orang waras bisa kehilangan akal sehat, orang pintar bisa bersikap tidak rasional, semuanya karena cinta.” Jawab Gladys.
“Mama…” Dina tidak tahu jika ibunya sudah bangun dan memperhatikan gerak-geriknya sejak tadi.
“Helen sangat keras kepala Ma!” Dina mengadu. “Helen masih ingin bersama Garry meskipun laki-laki itu sudah memperlakukannya dengan buruk.”
“Kamu cukup mencegahnya saja, keputusan tetap ada di tangannya.”
“Dia akan celaka kalau memilih untuk tetap bersama pria itu.” Dina berkeras.
“Kadang itu yang dinamakan dengan takdir. Kamu berusaha mencegah hal yang buruk terjadi kepada orang lain, namun jika mereka sendiri yang berjalan ke arahnya, kamu bisa apa?”
Belum sempat Dina membalas perkataan ibunya, ponsel Helen bergetar lagi. Dina pergi melihatnya dan mendapati kalau itu adalah panggilan dari ibu Helen.
Dengan buru-buru Dina meraih ponsel Helen dan menuju ke kamar tempat Helen berada untuk memberikan ponsel itu. Namun ketika pintu kamar dibuka, Dina melihat Helen sedang tertidur.
Akhirnya Dina memutuskan untuk menjawab telepon itu.
“Hallo.”
“Helen?” kata orang yang berada di ujung telepon.
“Selamat pagi tante, ini Dina.”
“Oh Dina, ini mamanya Helen. Di mana Helen?”
“Helen masih tidur tante.”
“Jam segini masih tidur?”
“Sebenarnya dia belum lama tidur.”
“Kalian begadang?”
“Eh iya tante, kami mengobrol semalaman.” Jawab Dina, berbohong.
“Dasar anak muda ya…” balas ibu Helen kemudian tertawa. “Dina, nanti kalau Helen sudah bangun suruh dia hubungi tante ya.”
“Baik tante.”
“Tante tutup dulu ya. Selamat pagi.”
“Selamat pagi tante.”
Setelah menutup telepon, Dina meletakkan ponsel Helen kembali di atas meja rias.
“Berbohong demi menutupi kesalahan Helen?” Tanya Gladys.
Dina memonyongkan bibirnya, “Maaf Ma…” katanya.
“Itu persis seperti yang mama jelaskan tadi. Kamu berusaha untuk mencegah Helen berada dalam masalah tetapi tetap dia yang akan menentukan takdirnya sendiri.”
Dina tidak menjawab lagi perkataan ibunya. Ia tahu bahwa perkataan ibunya memang benar.
Hari itu hari Minggu. Dina membantu ibunya untuk memasak di dapur. Jam menunjukkan pukul sembilan namun Helen masih belum juga bangun. Bahkan ketika sarapan pagi sudah tersaji di atas meja, Helen masih belum juga bangun.
“Dina bangunkan Helen dulu ya Ma…” kata Dina.
“Biar saja. Biarkan dia beristirahat dulu.” Cegah Gladys. “Ayo kita sarapan saja lebih dulu.” Ajak Gladys.
Dina dan ibunya pun mulai sarapan tanpa menunggu Helen bangun. Ketika mereka selesai sarapan, Helen tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar Oscar.
“Selamat pagi, tante.” Katanya kepada Gladys.
“Ayo sarapan dulu.” Ajak Gladys. “Dina temani Helen sarapan ya, mama mau mencuci piring-piring yang kotor dulu.”
Helen duduk di meja makan dengan ditemani oleh Dina.
“Tadi mamamu menelepon. Aku bilang kamu masih tidur karena kita berdua mengobrol semalaman jadi kamu baru tidur saat hari sudah pagi. Mamamu menyuruh kamu untuk menelepon balik jika kamu sudah bangun.”
“Baiklah. Nanti saja selesai sarapan aku telepon mamaku.” Jawab Helen.
Suasana menjadi hening untuk sesaat.
“Din…” Panggil Helen.
“Iya.” Jawabnya.
“Apa aku bisa hidup tanpa Garry?” Tanya Helen.
“Tentu bisa!” jawab Dina dengan yakin. “Sebelum bertemu dengannya hidupmu baik-baik saja, kan?” Helen hanya mengangguk. “Maka kembalilah ke hidupmu yang dulu, tanpa kehadirannya juga kamu baik-baik saja kan waktu itu?”
Helen kembali terdiam. “Kamu hanya akan terluka sedikit di awal, tetapi setelah itu kamu akan mensyukuri keputusan yang kamu buat itu.”
“Menurutmu apa aku perlu menceritakan kejadian semalam kepada orang tuaku?” Tanya Helen lagi.
“Itu terserah kamu. Jika kamu merasa mereka perlu tahu, maka pilihlah waktu yang tepat untuk membahas ini dengan mereka.”
“Lihat nanti sajalah…” jawab Helen.
“Aku ambilkan ponselmu dulu ya.” Dina kemudian pergi ke kamar ibunya untuk mengambil ponsel Helen. Begitu Dina mengambil ponsel itu, ia mendapati ada belasan panggilan telepon dari Garry.
Dina memutuskan untuk menghapus semua riwayat panggilan Garry itu sehingga Helen tidak mengetahui jika sejak tadi pria itu terus berusaha menghubunginya. Setelah itu Dina menyerahkan ponsel itu kepada Helen.
Helen memeriksa riwayat panggilan di ponselnya dan merasa lega karena Garry tidak mencarinya. “Syukurlah dia sudah menyerah untuk menghubungiku.” Kata Helen.
Helen lantas menghubungi ibunya. Ibunya hanya menanyakan kabarnya dan jam berapa dia akan pulang. Helen menjawab kalau ia akan pulang sore nanti.
Sepanjang hari hanya dihabiskan oleh Dina dan Helen untuk mengobrol di dalam kamar. Saat Helen akan pulang, Dina dan ibunya memutuskan untuk mengantar Helen sampai ke depan rumahnya. Mereka hanya ingin memastikan bahwa Garry tidak mengikuti Helen dan Helen tiba dengan selamat di rumahnya.