Dina memasuki rumahnya malam itu dan melihat ibunya sedang memasak makan malam. Aroma masakan tercium dengan sangat kuat dari arah dapur.
“Sudah pulang?” Tanya Gladys.
“Baru saja Ma.” Jawab Dina dengan santai.
“Mandi dulu ya, makanannya masih belum siap nih.”
“Iya Ma.”
Dina meletakkan tasnya di kamar kemudian menuju ke kamar mandi. Begitu memasuki kamar mandi, ia tidak langsung mandi. Ia berdiri mematung untuk sesaat sambil mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi.
“Aku baru saja menolak laki-laki yang aku suka.” Katanya kepada dirinya sendiri. “Apa yang sebenarnya sedang aku pikirkan?” tanyanya sambil menoyor kepalanya.
“Sudahlah. Yang terbaik pasti akan datang jika sudah waktunya.” Ujar Dina untuk memotivasi dirinya sendiri. “Mungkin bukan dia orangnya.”
Ia bergegas mandi karena perutnya menjadi semakin keroncongan mencium aroma masakan ibunya. Selesai mandi, Dina bergabung dengan ibunya di meja makan untuk makan malam.
“Gimana hari ini?” Tanya Gladys.
“Biasa saja Ma.” Jawab Dina.
“Apa kamu bertemu dia lagi?” Tanya Gladys penuh selidik.
“Iya.”
“Lalu?”
“Dia meminta maaf, itu saja.”
“Bagus kalau kamu sudah bisa memaafkannya. Itu baru anak mama.” Puji Gladys.
Dina dan ibunya melanjutkan makan malam diselingi obrolan yang lebih santai. Gladys masih penasaran dengan kelanjutan kisah Dina bersama laki-laki yang ia ceritakan sebelumnya namun ia tahu bahwa terus mencecar Dina dengan berbagai pertanyaan hanya akan membuat suasana hati anaknya menjadi buruk.
Selesai makan malam Dina membantu ibunya untuk membersihkan dapur agar pekerjaan ibunya itu lebih cepat selesai. Setelah membersihkan dapur, mereka berdua langsung pergi ke kamar untuk beristirahat.
Dina duduk di ranjang sementara ibunya duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut.
“Ma, boleh Dina bertanya sesuatu?”
“Tentu.” Jawab Gladys dengan ramah.
“Tapi mama jangan marah ya?”
“Kalau pertanyaannya terlalu sulit, maka mama akan memilih untuk tidak menjawabnya daripada harus marah.”
Dina menganggukkan kepalanya. Ia kemudian memasang wajah serius dan mulai bertanya, “Ma, apa alasan mama tidak mau bercerai dari papa? Bukankah jika bercerai, maka mama bisa melanjutkan hidup, misalnya menikah lagi dengan orang lain yang barangkali lebih baik?”
Gladys meletakkan sisir yang tadi ada di tangannya kembali ke atas meja rias dan mengarahkan pandangannya kepada Dina.
“Mama bisa saja melakukan itu, tetapi mama yang tidak mau.” Jawab Gladys.
“Apa alasannya?” Dina kembali bertanya.
Gladys meninggalkan meja rias dan pindah ke ranjang. Ia lantas duduk di samping Dina.
“Baiklah. Akan mama jelaskan kepadamu.” Katanya.
“Na, kamu tahu kan kalau menikah itu hanya boleh satu kali seumur hidup dan hanya bisa dipisahkan oleh maut?”
“Iya.”
“Itu artinya jika bukan dipisahkan oleh maut maka dua orang yang sudah menikah tidak boleh bercerai.” Terang Gladys.
“Bagaimana jika kasusnya seperti papa?”
“Apapun alasannya, jika itu bukan karena maut, maka perceraian tidak dibenarkan di mata Tuhan.”
“Tapi mama kan jadi menderita karenanya…”
“Iya benar, tapi asal kamu tahu bahwa setiap pernikahan punya cobaannya masing-masing. Ada yang cobaannya datang dalam bentuk kesulitan keuangan, ada yang cobaannya dalam bentuk kesulitan untuk mendapatkan keturunan, ada juga yang seperti mama ini, dan banyak lagi jenis yang lain. Yang terpenting adalah kamu tidak kalah pada keadaan. Janji pernikahan yang pernah diucapkan harus terus dipegang, bahkan apabila salah satu sudah melupakan janjinya.”
“Bukankah itu sangat menyakitkan, Ma?” Tanya Dina.
“Iya mau gimana lagi. Janji yang sudah dibuat di hadapan Tuhan itu sakral, bukan seperti janji ketemu teman yang bisa kamu batalkan dengan mudah.”
Dina mengangguk pelan. “Apa hanya itu saja atau mama punya pertimbangan lain?”
Sekarang gantian Gladys yang mengangguk. “Pertimbangan mama adalah kalian. Mama tidak mau kalian semakin terluka jika kami bercerai, belum lagi kalian harus menanggung malu karena menjadi bahan gunjingan orang lain.”
“Tapi yang itu kan sudah terjadi Ma.” Bantah Dina.
“Iya, mama tahu itu. Mama hanya tidak ingin yang lebih buruk lagi terjadi kepada kalian. Selain itu jika mama terus menjadi istri papa, papa tidak akan bisa menikah lagi secara resmi sehingga kalian tetap berhak atas seluruh tunjangan papa yang sudah diatur oleh kantor.”
“Kenyataannya kan minta uang ke papa juga susah Ma.” Balas Dina.
“Akan lebih susah lagi jika kami berpisah secara resmi dan papa kemudian menikah lagi dengan orang lain secara sah.”
Dina sedikit banyak memahami maksud perkataan ibunya.
“Ma…” panggil Dina lagi.
“Iya.”
“Mama sangat hebat!” puji Dina. “Mama bisa bertahan dalam situasi yang sangat menyakitkan ini selama bertahun-tahun. Mama sangat tangguh!”
“Tujuan hidup mama sudah bukan tentang diri mama lagi. Sejak kalian lahir, mama tahu kalau tujuan dan alasan hidup mama hanyalah kalian saja, kamu dan Oscar. Mama berusaha untuk kuat demi kalian. Mama tidak akan setangguh ini jika bukan karena memikirkan anak-anak mama.”
“Semoga Dina setangguh mama…” ucap Dina.
“Iya Na. Doa mama juga semoga Dina tidak harus merasakan hal yang sama dengan yang mama rasakan. Itu saja!”
“Kita sudah melalui masa sulit ini selama hampir sembilan tahun dan lihat kita masih baik-baik saja kan sampai saat ini?” Ujar Dina.
“Iya, tapi mama harap kamu terlatih untuk tangguh dalam menghadapi semua masalah hidupmu karena mama tidak mungkin selamanya ada di sini untuk menemanimu. Ada saatnya kamu harus membuat keputusan sendiri karena mama sedang tidak bisa membantumu atau karena mama sudah tidak berada di dunia ini lagi.”
“Ihhh mama, kok ngomongnya begitu sih?” protes Dina.
“Itu kenyataan, Na. Mama pasti akan meninggalkan dunia ini saat Tuhan menghendaki mama untuk kembali ke sisi-Nya. Karena mati adalah takdir semua orang.”
Wajah Dina mendadak berubah menjadi sedih.
“Tidak perlu sedih. Mama hanya ingin kamu berlatih untuk menjadi tangguh agar saat mama tiba-tiba tidak berada di sini lagi kamu tidak kaget, melainkan kamu sudah siap dan bisa melanjutkan hidupmu dengan baik.”
“Dina tidak akan pernah siap untuk hidup tanpa mama, Ma.”
“Kamu pasti siap. Tenang saja!” Gladys meyakinkan.
“Dina mau tidur saja…” kata Dina merajuk. “Ngobrol sama mama malam ini nggak asyik.”
“Mama hanya mencoba memberimu gambaran. Mama tidak bermaksud untuk menakut-nakutimu atau sengaja membuatmu sedih. Mama memberitahumu hal yang sebenarnya.”
“Iya Ma, Dina tahu kok. Hanya saja Dina tidak suka mendengar pembahasan tentang yang satu itu.”
Gladys membelai rambut Dina dengan lembut. “Mama hanya ingin kamu siap jika waktunya tiba nanti.” Bisiknya kepada Dina.
“Dina lelah, Dina mau tidur saja!”
Dina berbaring sambil membelakangi ibunya. Diam-diam Dina menangis. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti jika ibunya benar-benar pergi. Ia sudah diabaikan oleh ayah yang ia cintai sejak kecil, akan seperti apa hidupnya nanti jika satu-satunya orang yang membuatnya kuat menjalani kehidupan juga pergi. Dina terus menangis sampai ia ketiduran.
Perkataan ibunya tadi benar-benar terbawa ke alam bawah sadarnya. Ia bahkan sampai memimpikan kepergian ibunya, ia menangis dalam tidurnya dan suara tangisannya membuat ibunya ikut terbangun. Gladys bahkan sampai harus membangunkan Dina karena kasihan melihat anaknya yang terus menangis dalam tidurnya.