Pelataran parkir sore itu begitu sepi. Hampir semua mahasiswa telah meninggalkan kampus karena itu adalah akhir pekan. Angin bertiup dan menerbangkan dedaunan kering dari pohon ke atas permukaan aspal.
Kevin masih memeluk Dina sementara Dina menjaga tangannya tetap berada di tempat yang seharusnya dan tidak membalas pelukan pria itu.
“I’m so sorry. Aku tidak tahu apa yang telah kamu lalui.” Bisik Kevin.
Dina tidak mengerti apa maksud perkataan Kevin.
“Maaf sudah menghancurkan hatimu, hanya saja…” ucapan Kevin terhenti. Dina menunggu Kevin untuk melanjutkan perkataannya. Kevin tiba-tiba melepaskan dekapannya dari tubuh Dina.
“Aku minta maaf untuk semua yang terjadi hari ini.” Ucap Kevin tanpa menatap Dina. Ia kemudian berlari meninggalkan tempat itu. Dina melihat ia masuk ke sebuah mobil hatchback berwarna merah, yang diketahui sebagai mobilnya. Tidak lama berselang mobil itu melintas dengan cepat di depan Dina dan Helen. Kevin pergi tanpa pamit.
“Dina…” panggil Helen.
Dina masih menatap mobil Kevin yang melaju pergi.
“Maafkan aku! Ini semua salahku.” Kata Helen.
Dina menoleh sebentar ke arah Helen dengan wajah tanpa ekspresi dan sisa-sisa air mata di pipinya kemudian melangkah pergi. Helen mengikuti Dina dari belakang dari terus memanggil namanya.
“Din…”
“Dina…”
“Ayolah…”
“Dina aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau Kevin akan bersikap sekejam itu kepadamu. Aku benar-benar tidak tahu!”
Dina terus berjalan dengan cepat hingga tiba di tepi jalan raya. Begitu ada angkot yang lewat ia segera mencegatnya, naik ke sana dan meninggalkan Helen.
Helen sungguh tidak percaya kalau hubungan persahabatannya dengan Dina juga kini berada di ambang kehancuran hanya karena seorang laki-laki bernama Kevin.
Malam harinya ketika tiba di rumah, Gladys memperhatikan tingkah laku Dina yang terlihat seperti tidak bersemangat dan tidak fokus pada apa saja yang dilakukannya.
“Na…” panggil Gladys.
Panggilan Gladys tidak digubris oleh Dina.
“Dina…” Gladys mencoba memanggil Dina lagi karena ia tampak sedang melamun di hadapan makanannya.
“Dina!” panggil Gladys dengan keras.
Panggilan Gladys itu membuat Dina sangat terkejut hingga menjatuhkan sendok makan yang sejak tadi berada di genggamannya.
“Mama…” balas Dina kemudian.
“Kamu melamun terus sejak tadi!” omel Gladys. “Ada apa sebenarnya?”
“Nanti Dina ceritakan, Ma.” Jawab Dina dengan lesu.
Gladys menunggu dengan sabar hingga Dina menyelesaikan makan malamnya. Gladys duduk di sofa ruang tamu dan menanti Dina kembali dari dapur untuk mencuci piring yang tadi ia gunakan untuk makan.
Begitu melihat Dina sudah kembali, ia langsung menyuruh Dina untuk duduk di dekatnya.
“Sekarang ceritakan kepada mama!”
“Hari ini Dina bertemu dengan anak laki-laki yang Dina suka. Dia yang lebih dulu mengajak Dina untuk bertemu. Sebelumnya Dina mengirimkan hadiah untuknya di acara natal kampus. Hari ini adalah pertama kalinya kami bertemu secara langsung. Dia secara blak-blakan mengatakan bahwa dia tidak suka hadiahnya dan sebagaimana dia tidak suka hadiah itu seperti itulah dia tidak menyukai Dina.” Air mata Dina menetes lagi ketika menceritakan kejadian tadi sore kepada ibunya.
“Lalu apa anak laki-laki itu meminta maaf?”
“Setelah itu ia meminta maaf, mungkin Helen yang menyuruhnya.”
“Lalu apa pendapat Helen?”
“Helen juga minta maaf kepada Dina tapi Dina belum mengatakan apapun kepadanya.”
“Kenapa?”
“Dina merasa bahwa ini semua juga salah Helen. Sejak awal Helen yang mendorong Dina untuk mengikuti acara mengirimkan hadiah natal itu. Dia juga yang membantu menghubungkan Dina dengan anak laki-laki itu.”
“Kamu tidak boleh begitu, Na.” Gladys mendekati Dina dan membelai rambut anak perempuannya itu. “Mama rasa Helen juga tidak tahu jika keadaannya akan jadi seperti ini. Jika Helen sudah tahu akan begini dari awal, mana mungkin dia tega mempertemukan kalian? Itu sama artinya dengan ia ingin menyakitimu, bukan? Sementara Helen tidak punya alasan apapun untuk menyakitimu.”
Dina menatap wajah ibunya sambil tetap berlinang air mata.
“Kamu boleh saja marah kepada anak laki-laki itu, tetapi kepada Helen? Mama rasa ini bukan kesalahannya. Ia memberimu usul di awal soal hadiah itu tapi yang melakukannya kan kamu sendiri, bukan Helen yang menekanmu untuk melakukan itu.”
Dina menganggukan kepalanya.
“Senin nanti kalau kamu ke kampus mama mau kamu sudah baikan lagi dengan Helen! Helen juga melalui hal yang berat dalam hidupnya. Kalian harus tetap bersama sebagai satu tim untuk saling memberi dukungan.” Pesan Gladys.
Gladys mengusap air mata di pipi Dina dengan jari-jarinya.
“Hari ini kamu sudah belajar satu lagi pelajaran berharga. Kadang kebaikan yang kita berikan kepada orang lain ditanggapi dengan cara yang berbeda dan malah melukai diri kita sendiri. Jika mereka sudah meminta maaf, maka maafkan saja, terus menyimpan kemarahan hanya akan membuat luka di hati kamu tidak pernah sembuh.”
“Iya Ma.” Balas Dina.
“Kamu memaafkan bukan untuk kebaikan mereka, tetapi untuk kebaikan dirimu sendiri. Ingat itu ya Na!”
Gladys membelai rambut Dina lagi. “Sekarang tidur ya…” pinta Gladys.
Dina mengangguk dan segera masuk ke kamar. Sementara itu Gladys membereskan sisa pekerjaannya di dapur yang masih belum sepenuhnya terselesaikan.
Senin pagi, begitu Dina turun dari angkot di depan kampus dan berjalan masuk ke gerbang utama, ia melihat Helen sedang menunggunya di sana.
“Dina…” panggil Helen.
“Jangan minta maaf lagi!” hardik Dina.
Helen terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan Dina kepadanya pagi itu. Helen bahkan sampai menarik tubuhnya ke belakang karena terkejut.
Tiba-tiba Dina mendekati Helen dan menggandeng tangannya, “Aku hanya bercanda.” Demikian katanya.
“Kamu membuatku takut, sungguh!” balas Helen.
“Aku hanya bercanda. Kemarin aku memang marah kepadamu tetapi hari ini sudah tidak lagi.”
Mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke ruang kuliah. Di jalan menuju ke kelas mereka tidak sengaja berpapasan dengan Kevin, namun Kevin hanya menundukkan kepalanya, tidak mau menatap Dina dan Helen.
Seketika ingatan Dina kembali pada kejadian Jumat sore ketika ia berada dalam pelukan Kevin untuk beberapa saat. Pelukan itu terasa begitu hangat, namun tidak bisa ia miliki. Meskipun itu membuat hati Dina terasa begitu sakit, namun ia berusaha untuk mengikhlaskannya.
Beberapa dari perkataan Kevin juga tidak bisa Dina pahami, akan tetapi ia merasa tidak perlu lagi untuk mencari tahu maksud perkataan laki-laki itu karena itu semua tidak ada gunanya lagi.
Dina masuk ke ruang kelasnya, sementara Helen masih harus melanjutkan perjalanannya ke lantai yang berikutnya karena semua kelasnya hari ini berada di lantai atas.
Ketika Dina sedang duduk mendengarkan penjelasan dari dosen, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya.
‘Bisakah kita bertemu lagi?’ demikian tulis Kevin dalam pesannya.
Jantung Dina kembali berdebar dengan kencang karena menerima pesan dari Kevin. Ia pun membalas pesan Kevin itu.
‘Maaf, aku sedikit sibuk.’ Balas Dina kepada Kevin.
‘Aku ingin menjelaskan.’ Tulis Kevin kepada Dina lagi.
‘Tidak ada yang perlu dijelaskan. Anggap saja semua itu tidak pernah terjadi.’
‘Dina beri aku kesempatan untuk menjelaskan.’
Merasa bahwa dosen mulai memperhatikan tingkah lakunya yang sejak tadi sibuk mengetik pesan di ponselnya, Dina akhirnya menyimpan ponselnya dan tidak membalas pesan Kevin lagi.
Karena begitu padatnya jadwal kuliah Dina hari itu, ia bahkan tidak ingat kalau masih ada pesan dari Kevin yang belum ia balas hingga semua kelas hari itu selesai dan Dina pulang bersama Helen.
Begitu angkot yang Dina tumpangi berhenti di depan gerbang kompleks perumahan dinas anggota TNI AD, seseorang dari mobil berwarna merah tiba-tiba datang mendekati Dina.
“Dina…” panggilnya.
Dina tidak bisa melihat wajah orang yang memanggilnya itu. Ia hanya mengetahui ada mobil merah terparkir di sekitar gerbang itu namun tidak bisa melihat siapa yang turun dari mobil itu karena pencahayaan di tempat itu yang begitu minim.
“Maaf aku terpaksa membuntutimu.” Kata Kevin. “Sejak tadi mobilku-lah yang berada di belakang angkotmu.”
Dina bahkan tidak menyadari kalau ia diikuti sejak tadi.
“Bisa kita bicara?” Tanya Kevin.
“Apa yang harus dibicarakan?” Dina balas bertanya.
“Semuanya. Ayo bicara di mobilku.” Kata Kevin sambil menarik tangan Dina dan membawanya masuk ke dalam mobilnya. Dina tidak menolak namun juga tidak mengiyakan.
Mereka kini berdua di dalam mobil. Dina dapat mencium aroma pengharum mobil yang begitu menyengat, aroma itu tercium seperti aroma permen karet anak-anak.
“Dina, aku minta maaf atas kejadian kemarin.” Ujar Kevin membuka pembicaraan di dalam mobil itu.
Dina hanya menganggukan kepalanya.
“Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu.” Lanjutnya lagi.
“Tidak apa-apa. Itu sudah berlalu.” Jawab Dina dengan santai.
“Tapi itu baru kemarin?”
“Sungguh, aku tidak apa-apa. Maksudku sudah tidak apa-apa.” Kata Dina memperjelas.
“Helen sempat mengatakan kepadaku saat itu bahwa kamu diabaikan oleh ayahmu sejak kecil. Kamu tahu, aku juga diabaikan oleh ibuku. Aku mengurus diriku sendiri sejak kecil.”
“Iya dan kenyataannya kita baik-baik saja kan sampai hari ini?” balas Dina dengan sinis.
“Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu tahu kalau kita berdua senasib.”
Dina tersenyum kecut. “Aku sudah dengar yang ingin kamu sampaikan, bisa aku pergi sekarang?”
Kevin memasang ekspresi wajah sedih.
“Aku pergi ya…” kata Dina.
Ia lalu membuka pintu mobil dan hendak keluar dari sana. Kevin menarik tangan Dina dengan keras hingga Dina tidak jadi keluar dan mereka kini berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat.
Jantung Dina berdebar semakin kencang. Ia menarik wajahnya sedikit ke belakang agar tidak terlalu dekat dengan wajah Kevin lagi. Mereka berdua sama-sama menjadi salah tingkah.
“Dina, aku mungkin mulai menyukaimu.” Kata Kevin.
Dina tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Aku tahu kamu mulai membenciku sejak kejadian hari Jumat itu, tapi aku mohon berikan aku sedikit waktu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas perasaanmu itu.”
“Tidak perlu!” sergah Dina. “Tidak perlu membuang-buang waktumu untuk berusaha menyukaiku, pada saat kita baru bertemu kamu memandangku dengan tatapan seolah-olah kamu merasa jijik kepadaku, tatapanmu begitu arogan dan dingin. Tidak perlu berusaha menyukaiku hanya karena kita memiliki pengalaman pahit yang sama lagipula aku juga sudah tidak menyukaimu lagi!”
Dina melangkah keluar dengan mantap dari mobil Kevin. Ia sama sekali tidak memberikan kesempatan kedua kepada laki-laki yang telah menyakitinya itu.