Rude

1655 Words
Telah dua minggu berlalu sejak acara natal mahasiswa waktu itu. Dina telah melupakan kejadian yang ia anggap sebagai hal terbodoh yang pernah ia lakukan dalam hidupnya, yaitu mengirim hadiah kepada laki-laki yang ditaksirnya. Tidak ada balasan dari laki-laki itu, ia bahkan tidak mengirimkan ucapan terima kasih kepada Dina. Perasaan Dina kepada laki-laki bernama Kevin itu tidak lagi menggebu-gebu seperti sebelumnya. Dina masih menyukainya namun menempatkan dirinya sebagai pengagum saja bukan sebagai seseorang yang memiliki peluang untuk menjadi kekasih. Kevin adalah pribadi pendiam yang tidak memiliki banyak teman, di lingkungan pergaulannya ia terkenal sebagai orang yang lebih suka untuk mendengarkan ketimbang berbicara sehingga dianggap tidak asyik untuk diajak berteman. Ia sangat fasih berbahasa Inggris karena ia berasal dari sebuah sekolah internasional sebelum melanjutkan pendidikannya di universitas tersebut. Wajahnya cukup tampan dengan kulit putih, hidung mancung, bibir tipis dan bentuk rahang yang tegas. Tubuhnya tinggi namun terkesan kurus, mungkin karena ia terlalu tinggi. Rambutnya hitam dan dipotong bergaya fauxhawk. Suatu hari saat jam makan siang, Helen berlari dengan penuh semangat ke arah Dina yang sedang menunggunya di pintu keluar kampus sambil tersenyum senang. “Dina…” teriaknya dari jauh. Dina menoleh ke arah datangnya suara dan melihat Helen yang begitu bersemangat, sangat tidak biasa. “Din, aku punya kabar untukmu!” kata Helen dengan napas terengah-engah karena baru berhenti berlari. Dina menatap Helen dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan aneh. “Girang kenapa nih?” Tanya Dina. “Kamu diajak ketemuan tuh sama si Kevin.” Bisik Helen. Mata Dina terbelalak lebar tak percaya. Ia sampai harus menutup mulutnya dengan tangan sebagai ekspresi keterkejutannya. “Masa sih?” tanyanya untuk memastikan. “Iya…” kata Helen kemudian menggandeng tangan Dina dan sedikit menariknya untuk ikut dengan Helen menuju ke luar kampus dan mencari makan siang. “Nanti di tempat makan aku cerita.” Dina pasrah saja ketika Helen menariknya pergi dari situ. Mereka berhenti di sebuah warung makan yang dipilih Helen secara acak. Mereka kemudian masuk dan memesan makanan. Sementara menunggu pesanan mereka diantarkan, mereka mengobrol lagi. “Ayo ceritakan yang tadi…” rengek Dina. “Jadi ceritanya begini, tadi aku di kelas statistik dan kebetulan Kevin sekelas denganku. Selesai kelas ia mendatangiku dan bertanya apa aku mengenal seseorang bernama Dina, karena semua orang yang ditanyai oleh Kevin sebelumnya mengatakan bahwa hanya aku yang memiliki teman bernama Dina.” “Lalu apa jawabanmu?” Tanya Dina dengan penasaran. “Ya tentu saja aku langsung menjawab iya dan dia mengatakan kalau ia ingin dipertemukan denganmu.” “Ekspresinya bagaimana, apa dia tampak senang atau marah?” “Entahlah aku tidak tahu, wajahnya memang begitu setiap hari.” “Datar?” “Iya.” Jawab Helen kemudian tertawa. “Jadi apa kalian sudah membuat janji?” “Belum. Yang akan membuat janji adalah kamu!” “Lah, kok jadi aku?” Dina keheranan. “Ya iyalah, ini kepentingan siapa coba?” Helen balik bertanya. Dina menggaruk kepalanya. “Tapi aku takut.” Ujarnya kemudian. “Takut apa sih?” protes Helen. “Kamu suka dia, giliran sudah ada kesempatan untuk bertemu malah takut, aneh deh!” “Kalau jadi bertemu kamu ikut ya?” pinta Dina. “Kalau Kevin mengizinkan maka aku akan ikut.” Helen mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan memberikannya kepada Dina. “Ini nomor Kevin. Tadi dia memberikannya kepadaku. Kirim pesan saja kepadanya.” “Baiklah.” Dina mengambil ponsel dari tangan Helen dan mencatat nomor Kevin. Setelah itu ia mengembalikan ponsel itu kepada Helen. “Jadi aku harus tulis apa nih?” “Waduh… Masa itu juga ditanyakan kepadaku?” “Ya mau bagaimana lagi…” balas Dina sambil memasang ekspresi konyol. “Tulis saja, hai Kevin ini Dina. Sudah begitu saja!” Dina pun mengikuti saran Helen. Tidak lama kemudian ia segera mendapat balasan dari Kevin. “Aku ingin bertemu. Kapan kamu ada waktu?” Dina membaca pesan balasan dari Kevin. Wajah Dina seketika berubah menjadi merah karena malu sementara Helen hanya bisa tertawa melihat pemandangan itu. “Sekarang kamu yang atur waktu pertemuannya, aku tidak mau ikut campur.” Tutur Helen. Ketika Dina masih saling berbalas pesan dengan Kevin, makanan mereka diantarkan. Helen segera menyantap makanannya berbeda dengan Dina yang begitu serius berbalas pesan hingga tidak menghiraukan makanannya. “Woooy, makan dulu woooy…” ledek Helen. “Katanya Jumat besok setelah kelas terakhir. Dia juga bilang kamu boleh ikut.” “Ya sudah, sekarang makan ya.” Sembari menikmati makanannya, sesekali Dina tersenyum sendiri. “Tuh kan…” ledek Helen lagi. “Apa?” “Jatuh cinta!” Dina segera menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.   Malam harinya ketika sudah waktunya untuk tidur, Dina justru tidak bisa tidur. Tidak seperti Dina yang biasanya yang sangat cepat mengantuk saat telah selesai makan malam. Ketika Gladys memasuki kamar tidur pada pukul sebelas, ia mendapati Dina yang belum tidur. “Na, kok belum tidur?” “Dina tidak bisa tidur, Ma.” “Ada masalah?” “Tidak kok Ma.” “Jatuh cinta?” Dina segera menutup wajahnya yang memerah dengan bantal agar tidak terlihat oleh ibunya. “Dina… Dina… Kalau jatuh cinta kan tinggal bilang saja.” “Ihhh Mama…” protes Dina. “Masa hal seperti itu harus bilang-bilang sih?” “Ya tidak apa-apa kan kalau kamu mau menceritakannya kepada mama. Mama siap mendengarnya.” “Belum jadian kok Ma.” Terang Dina. “Begitu ya? Mama hanya mau pesan, cinta itu bisa memberi kamu kebahagiaan tetapi bisa juga memberi kamu kesedihan yang mendalam. Jadi berhati-hatilah, belajar juga dari pengalaman Helen ya...” “Iya Ma.” Dina tetap terjaga hingga lewat tengah malam. Ia akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Helen untuk menanyakan apakah Helen sudah tidur atau belum. Tidak ada balasan dari Helen dan itu hanya berarti satu hal, Helen sudah tertidur. Dina melihat ibunya sudah tertidur lelap sementara dirinya masih mondar mandir dalam kamar karena memikirkan pertemuannya dengan Kevin nanti. Malam berganti pagi dilalui Dina tanpa tidur. Wajahnya terlihat letih dan tidak segar. Pagi itu ia bersiap ke kampus dengan penuh semangat meskipun wajahnya mengisyaratkan hal yang sebaliknya. Begitu tiba di kampus ia disambut Helen dengan wajah riang. “Siap untuk hari ini, teman?” Tanya Helen begitu Dina menghampirinya. Dina mengangguk penuh percaya diri. Kelas demi kelas Dina lalui dengan tidak fokus. Pikirannya hanya tertuju pada pertemuannya dengan Kevin nanti sore. “Apa yang harus aku katakan kepada Kevin nanti?” Tanya Dina kepada Helen saat mereka sedang makan siang. “Kamu harus dengar dulu apa yang mau dia katakan.” Jawab Helen. “Respon sesuai pertanyaan dan jangan keluar dari konteks, itu saja.” “Anda sangat berpengalaman dalam hal ini ya, Bu?” ledek Dina. “Tidak terlalu, Bu.” Jawab Helen dan mereka berdua pun tertawa.     Jam menunjukkan pukul 17.00 dan dosen menutup kelas hari itu. Dina bergegas meninggalkan kelas dan menemui Helen di pelataran parkir. Kevin mengajak mereka bertemu di atap gedung kuliah baru yang masih sedang dalam proses pembangunan, entah apa alasannya memilih tempat itu sebagai tempat pertemuan. Dina dan Helen berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh Kevin. Dina merasa sangat gugup. Jantungnya berdebar sangat kencang dan telapak tangannya basah oleh keringat. Begitu mereka sampai di tempat itu, Kevin telah berada di sana. Dina sangat gugup hingga salah tingkah. “So, you are Dina, am I right?” Tanya Kevin kepada Dina. Satu hal yang lupa Helen katakan kepada Dina tentang Kevin adalah dia berbicara dalam dua bahasa, karena menurut gossip yang pernah Helen dengar Kevin sempat tinggal cukup lama di luar negeri. Dina mengangguk mendengar pertanyaan Kevin. “Kamu mengirim hadiah itu untukku?” tanyanya lagi. “Iya.” Jawab Dina dengan suara bergetar karena gugup. “Do you have a crush on me?” Kevin bertanya dengan angkuh. “Wow… Wow… Wait a minute!” potong Helen. “Is it the way you thank her?” Dina merasa bahwa ada yang salah di sini. “Let me get straight to the point, Helen.” Balas Kevin. “Aku tidak suka hadiah itu dan tidak akan pernah!” Helen mengangkat sebelas alisnya mendengar pernyataan Kevin. “Sebagaimana aku tidak suka hadiah itu, aku juga tidak suka dia!” kata Kevin sambil menunjuk tepat ke wajah Dina. Dina begitu terkejut dan merasa hatinya hancur berantakan hanya dalam hitungan detik. Dadanya sakit seperti ada orang yang meninju tepat ke sana. “Jangan pernah berpikir untuk menyukaiku, aku tidak punya waktu untuk membalas perasaanmu!” lanjutnya lagi. Helen tidak tahan dengan cara Kevin berbicara kepada Dina. Ia maju beberapa langkah ke arah Kevin dan menampar pipi laki-laki itu. Kevin sangat terkejut dengan tindakan Helen. Ia tidak menyangka gadis itu akan melakukan hal itu kepadanya. “Tidak suka ya tinggal bilang dengan baik, tidak perlu bersikap kejam seperti ini!” Meskipun terkejut, Kevin tidak bergeming. Dina mundur perlahan dan meninggalkan tempat itu sambil menangis. Kevin melihat Dina sudah meninggalkan tempat itu sementara Helen tidak menyadarinya. “Kamu sangat arogan, tidak heran banyak orang tidak mau sekelompok denganmu di kelas!” “Temanmu sudah pergi.” Katanya dengan ekspresi wajah datar. Helen menoleh dan mendapati Dina memang sudah tidak lagi berada di tempatnya berdiri semulai. “Kevin, kamu sudah menghancurkan hatinya. Dia hanya seorang anak yang diabaikan oleh ayahnya sejak kecil dan dibesarkan oleh ibu tunggal. Dia hanya ingin mencari kebahagiaan, teganya kamu bersikap seperti itu kepadanya.” Kevin mengangkat sebelah alisnya mendengar perkataan Helen. Helen berlalu dari hadapan Kevin dan hendak mencari Dina. Namun Kevin berlari mendahului Helen dan dengan cepat menuruni anak tangga. Helen ikut turun dengan cepat karena ingin melihat ke mana Kevin akan pergi. Dina telah berada di pelataran parkir, berjalan dengan gontai dengan air mata yang terus jatuh membasahi pipinya. “Dinaaaa…” teriak Kevin. Kevin berhasil mengejar Dina. Sementara Helen berjarak beberapa meter di belakang Kevin. Kevin menarik tangan Dina yang terus berjalan tanpa memedulikan panggilannya tadi, ia lalu menarik Dina masuk ke dalam pelukannya. Ia memeluk Dina dengan erat dan membuat kepala Dina bersandar ke dadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD