Sore itu Oscar datang sebelum pukul 16.00 ke lapangan, sebagaimana perjanjiannya dengan Karen di telepon semalam. Sebenarnya Oscar tengah dilanda kebingungan. Karen secara terang-terangan menyatakan suka padanya padahal selama tiga tahun mereka bersama-sama di SMA, Karen sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apapun. Oscar berniat untuk memastikannya lagi, siapa tahu kemarin ia hanya salah menangkap maksud perkataan Karen.
Oscar tiba di lapangan lima menit sebelum jam empat sore. Ia mencari tempat yang teduh di bawah pohon dan duduk santai di sana. Ia menunggu selama lima belas menit namun Karen masih belum juga datang. Ia memutuskan untuk mulai jogging saja daripada menunggu tanpa melakukan apapun.
Ketika Oscar sudah selesai satu putaran, ia melihat kedatangan Karen. Karen segera bergabung dengannya di jogging track. Karen datang dengan senyumannya yang khas. Senyum yang membuat mata sipitnya hilang total sehingga hanya menyisakan sebuah garis. Oscar selalu tertawa melihat itu. Ia merasa wajah Karen justru berubah menjadi lucu saat ia tersenyum.
“Parah nih mulai jogging duluan, nggak nungguin aku…”
“Baru juga satu putaran ini…”
Sore itu Karen mengenakan set pakaian olahraga berwarna pink dengan brand Adidas yang tertulis jelas di bagian depan bajunya.
“Charger-nya ketinggalan di mobil, nanti selesai jogging kita ambil ke sana ya,”
“Okay…”
Oscar sebenarnya merasa sedikit canggung berada di dekat Karen yang sore itu terlihat begitu classy. Saat sedang jogging, sesekali Oscar menatap wajah Karen dari samping.
“Wanita ini sebenarnya tidak cantik, entah apa yang membuat dia menawan?” tanya Oscar dalam hatinya.
“Jangan terus-terusan melihatku seperti itu, aku jadi malu…” kata Karen yang membuat Oscar terkejut. Karen sejak tadi menyadari bahwa Oscar berkali-kali meliriknya.
“Apa sore ini kamu mau sepuluh putaran lagi?” tanya Karen kemudian.
“Kamu mampunya berapa?” Oscar balik bertanya.
“Sepuluh bisa kok,”
“Ya sudah, ayo sepuluh…”
Mereka berjalan santai sambil sesekali berlari. Oscar sebenarnya tidak biasa untuk berjogging sesantai itu, ia lebih suka berlari atau setidaknya berjalan cepat, namun karena ia bersama Karen ia harus menyesuaikan dengan kemampuan Karen.
Saat sudah putaran yang ke delapan, Karen meminta untuk berhenti dan beristirahat saja. Ia terlihat pucat dan kepayahan sehingga Oscar harus memapahnya hingga ke tepi lapangan.
“Sudah kuduga kamu tidak akan mampu sepuluh putaran…” ejek Oscar.
“Semalam aku kurang tidur saja, makanya hari ini tidak begitu fit.”
Semalam mereka berbicara di telepon hingga pukul 02.00 dini hari.
“Siapa suruh kamu ngomong terus? Itu juga berhenti karena baterai handphone habis, coba kalau baterainya nggak habis pasti kamu masih ngomong terus tuh sampai pagi…”
Oscar mengambil handuk kecil milik Karen dan membantu Karen menyeka keringatnya di wajah dan leher. Karen terdiam lalu menutup matanya.
“Nggak usah tutup mata, aku bukan mau cium kamu lho…” bisik Oscar.
Karen pun membuka matanya dan seketika tawa mereka berdua pecah sehingga menarik perhatian orang-orang lain yang berada di situ juga.
“Tapi nanti kamu akan menciumku, kan?” tanya Karen perlahan.
Oscar meletakkan handuk milik Karen ke atas pangkuan gadis itu lalu memegang pipi Karen dengan kedua tangannya. Ia menatap mata Karen dalam-dalam lalu berkata, “Aku bukan pacarmu, ingat?” Lalu tawa mereka berdua pun kembali pecah.
Setelah tawa yang panjang, Karen mengatur napasnya kembali dan berbicara, “Tapi aku menyukaimu, mau ya jadi pacarku?”
Kemarin mereka sepakat untuk membicarakan hal tersebut di telepon, tapi nyatanya semalam ketika mereka berbincang di telepon selama berjam-jam mereka justru tidak membahas hal tersebut. Inilah yang membuat Oscar ragu tentang keseriusan perkataan Karen. Jangan-jangan Karen hanya sedang menjebaknya ke dalam sebuah permainan.
“Karen, dengarkan aku…”
“Iya…”
“Aku pikir kita butuh waktu untuk lebih saling mengenal lagi. Kamu harus tahu siapa aku, demikian sebaliknya. Kita tidak bisa langsung memulai tanpa saling mengenal, kamu mengerti?”
“Kalau begitu kita harus bertemu setiap hari agar saling mengenal ya…”
“Selama tiga tahun di SMA bukannya kita tiap hari juga ketemu? Tapi lihat kan, kita tetap belum saling mengenal…” balas Oscar.
Karen lantas memegang tangan Oscar. Oscar menatap tangan Karen yang kini berada di atas tangannya. Ia lalu mengambil tangan Karen itu dan menggenggamnya erat-erat.
“Mungkin kita bisa mencobanya, tapi jika itu tidak berhasil aku ingin kita tetap menjadi teman bukan musuh, ya?”
Karen menjadi kegirangan mendengar hal itu dan tanpa sadar ia memeluk Oscar. Oscar tidak membalas pelukan itu, ia hanya mengusap punggung Karen beberapa kali dan berbisik, “Sudah… Sudah… Malu dilihatin banyak orang…” Karen yang tersadar pun segera melepaskan tangannya yang melingkar di tubuh Oscar.
“Eh pergi makan bakso yuk...” usul Karen. “Laper nih!”
“Tapi aku nggak bawa dompet, Ren…”
“Nanti sama aku aja ya, kan aku yang ngajak,”
“Hmmm... Aku punya uang sih di rumah, atau aku ambil dompet dulu ya di rumah?”
“Nggak usah, Os. Aku laparnya udah parah banget ini…” Karen menggandeng tangan Oscar dan menariknya pergi dari situ. Mereka berjalan ke gerbang utama kompleks perumahan. Begitu tiba di sana Karen mengajaknya untuk naik ke mobilnya.
Ketika Oscar membuka pintu mobil Karen, aroma strawberry yang berasal dari pengharum mobil langsung menusuk hidungnya. Interior dalam mobil mulai dari sarung jok, sarung setir, hingga hiasan untuk sabuk pengaman seluruhnya berwarna pink. Begitu Oscar duduk dan memasangkan sabuk pengamannya, Karen pun langsung tancap gas.
“Waduh aku bisa demam pink kalo lama-lama di mobilmu,”
“Hahahahaha…” Karen tergelak. “Kaget kan? Mau gimana lagi, pink itu sudah mendarah daging kalau buat aku...”
Setelah sepuluh menit berkendara, mereka akhirnya sampai di warung bakso yang sore itu terlihat sangat ramai. Mereka harus mengantri untuk mendapatkan tempat duduk karena warung itu memang tidak terlalu besar dan jumlah tempat duduknya sangat terbatas. Beberapa saat kemudian, mereka berhasil mendapatkan tempat duduk. Mereka duduk saling berhadapan. Karen langsung memesan dua porsi bakso sapi lengkap dengan mie kuning, tetelan dan pangsit goreng untuk mereka berdua.
“Enak nggak?” tanya Karen setelah melihat Oscar mulai memakan makanannya.
“Ya enak-enak aja sih, apalagi ini gratis…”
“Jawabannya kok gitu sih?”
“Aku hanya bercanda… Ini enak kok,”
Karen tersenyum dan menampakkan wajah lucunya lagi yang kemudian membuat Oscar tertawa. Selesai dari warung bakso itu, Karen mengajak Oscar untuk jalan-jalan keliling kota dengan mobilnya. Tadinya Oscar menolak karena merasa tidak percaya diri dengan keadaannya yang sangat berantakan usai berolahraga, namun Karen berhasil meyakinkannya dengan mengatakan bahwa ia juga berada dalam keadaan yang sama sehingga tidak ada yang perlu Oscar pikirkan.
Mereka jalan-jalan dengan mobil menyusuri pusat kota yang ramai. Sepanjang perjalanan mereka membahas hal-hal menarik yang terjadi selama mereka bersekolah di SMA. Oscar tidak banyak bertanya, ia lebih banyak menjawab pertanyaan Karen.
“Oh ya, kamu belum cerita soal rencana ke depanmu. Kamu mau kuliah di mana nanti?”
“Aku lanjut ke fakultas kedokteran.”
“Wah calon dokter nih yee…” ledek Oscar.
“Tapi bukan di sini, Os…” nada bicara Karen terdengar sedikit sedih.
Karen lalu mencari tempat untuk menepi lantas memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.
“Aku diterima di fakultas kedokteran UI,”
Seketika Oscar menjadi tidak mengerti. Sejumlah pertanyaan mendadak memenuhi pikirannya. Jika Karen akan kuliah di Jakarta, kenapa ia ingin mereka berpacaran? Bukankah itu hanya akan menempatkan mereka pada posisi yang sulit ketika harus menjalin hubungan jarak jauh?
Karen memutar badannya agar menghadap kepada Oscar. Ia memegang tangan Oscar erat-erat dan berkata, “Aku menyukaimu sejak lama, entah kamu mau percaya atau tidak. Tapi aku tidak diperbolehkan untuk berpacaran oleh mama papaku sebelum aku berhasil diterima di UI. Mereka mengingatkanku tentang hal itu setiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Sekarang aku sudah berhasil membuktikan kepada mereka kalau aku diterima menjadi mahasiswa UI. Makanya aku baru bisa mengungkapkan perasaanku padamu sekarang.”
Semuanya terdengar masuk akal bagi Oscar sekarang. Sebenarnya saat masih sama-sama bersekolah di SMA, Oscar tidak terlalu mempedulikan urusan wanita. Selain karena ia fokus pada cita-citanya untuk diterima di sekolah polisi, ia juga memang tidak menemukan teman wanita yang mampu menggetarkan hatinya.
Oscar lalu meremas jari-jari Karen yang sedang menggenggam erat tangannya. Ia kagum akan keberanian Karen mengungkapkan perasaannya tepat di hadapan lelaki yang disukainya. Oscar lalu mendekat ke arah Karen dan mencium dahinya dengan lembut.
“Berapa lama waktu yang kita punya sampai waktu keberangkatanmu?” tanya Oscar kemudian.
“Dua minggu,”
“Baiklah, kita akan menggunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.”
Karen lalu memeluk Oscar dengan erat. Oscar pun spontan membalas pelukan itu. Ia memeluk tubuh kurus Karen yang terasa begitu hangat. Ini adalah pertama kalinya bagi Oscar memeluk dan mencium dahi seorang wanita. Ia pun tidak menyangka kalau ia memiliki keberanian untuk melakukan hal semacam itu.
Karen kemudian melanjutkan mengemudi untuk mengantar Oscar pulang karena jam telah menunjukkan hampir pukul 21.00. Tiba di depan gerbang utama kompleks perumahan, Oscar bersiap untuk turun dari mobil. Karen menyerahkan kabel pengisi daya ponsel yang kemarin lupa ia berikan dan berpesan bahwa ia akan menghubungi Oscar nanti malam sekitar jam sebelas agar baterai ponsel sudah terisi penuh. Sebelum turun dari mobil, Oscar mencium dahi Karen sekali lagi dan itu membuat Karen sangat bahagia.
* * *
Oscar tiba di rumah saat jam menunjukkan pukul 21.35. Gladys merasa heran dengan waktu pulang Oscar hari ini. Tidak mungkin ia hanya pergi berolahraga saja dari sore hingga malam hari.
“Kenapa pulangnya malam sekali?” tanya Gladys penuh selidik.
“Oscar pergi makan bakso dengan teman setelah berolahraga, Ma.” Jawabnya singkat.
“Lalu ponsel pink ini milik siapa?” tanya Gladys seraya mengangkat sebuah ponsel lipat berwarna pink di tangannya. “Tadi mama membereskan kamarmu dan menemukan benda ini di bawah bantal.”
“Itu dipinjamkan teman, Ma.”
“Teman atau pacar?”
Oscar tidak menjawab pertanyaan ibunya itu, ia hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia pun berlalu dari hadapan ibunya dan menuju ke kamar mandi untuk mandi. Gladys tidak keberatan jika Oscar mulai berpacaran. Usianya yang sudah delapan belas tahun adalah usia yang wajar baginya untuk memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya. Malah dapat dikatakan Oscar sedikit terlambat mengalami fase itu, ketika teman-temannya bahkan sudah mulai berpacaran sejak masih di bangku SMP.
Selesai mandi, Oscar baru teringat untuk mengisi daya ponsel pink milik Karen. Sambil menunggu ponsel itu selesai mengisi daya, Oscar pun berbaring di ranjangnya sembari memikirkan tentang keputusan yang baru dibuatnya untuk berpacaran dengan Karen. Akan tetapi yang terjadi kemudian malah Oscar ketiduran dan lupa untuk menyalakan ponsel itu.
* * *
Keesokan paginya Oscar terbangun saat semua anggota keluarganya sudah pergi. Dina sudah berangkat ke sekolah, ibunya sudah pergi ke kantor, dan sarapan untuk Oscar sudah tersaji di meja. Oscar bangun kesiangan dan belum menyadari hal yang ia lewatkan semalam.
Tok! Tok! Tok! Terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Oscar berjalan dengan malas menuju pintu depan. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Ia lantas membukakan pintu itu tanpa menengok terlebih dahulu dari jendela untuk mengetahui siapa yang datang. Begitu pintu terbuka ternyata yang datang adalah Karen. Ia datang dengan pakaian serba kuning dan terlihat begitu menyala berlatar cahaya matahari pagi.
“Kamu tidak mengaktifkan ponsel itu semalam…” katanya.
Oscar baru teringat kalau itulah hal yang ia lewatkan semalam.
“Maaf aku lupa…”
“Sudah kuduga…” jawab Karen sambil merangsek masuk ke dalam rumah meskipun belum dipersilakan oleh Oscar.
“Gimana ceritanya kamu bisa tahu rumahku?”
“Ya aku tanya-tanya lah…” Jawab Karen masih dengan nada kesal.
Oscar dibuat kagum oleh kegigihan Karen. Ia selalu berusaha mendapatkan apa yang ia inginkan dengan upayanya sendiri. Karen menghempaskan dirinya ke sofa tua di ruang tamu rumah Oscar itu.
“Sarapan yuk… Kayaknya mamaku sudah masak sesuatu,”
Oscar berjalan menuju ke meja makan dan membuka penutup makanan yang ada di atas meja itu. “Ada nasi goreng nih, yuk makan…”
Karen mengacuhkan ajakan Oscar dan mulai mengomel, “Kamu tahu aku hampir saja datang mencarimu tengah malam tadi…”
“Karen…” Oscar memotong ucapan Karen. “Ayo sarapan dulu…”
Karen pun tidak dapat berkata apa-apa lagi selain menuruti perkataan Oscar.
“Setelah makan, kita jalan-jalan ya…” ajak Karen. Oscar tidak menjawab, ia hanya mengangguk. Selesai sarapan, Oscar menuju ke kamar mandi untuk mandi sementara Karen menunggu sambil menonton TV.
“Jadi kita mau kemana nih?” Oscar yang telah selesai mandi dan berpakaian kaos oblong dan celana jeans pendek serba hitam kini berdiri di hadapan Karen.
“Ke Danau Tondano yuk…”
“Buseeeeeet…” seru Oscar dengan terkejut. “Apa nggak kejauhan tuh?”
Danau Tondano yang dimaksud oleh Karen terletak di luar kota Manado, tepatnya di Kota Tondano. Kota Tondano sendiri berjarak 35 kilometer ke arah selatan dari kota Manado, di mana sebelum tiba di kota Tondano harus terlebih dahulu melewati kota Tomohon.
“Kenapa tiba-tiba jadi pengen jalan-jalan keluar kota sih?” tanya Oscar lagi.
“Ya nggak kenapa-kenapa, pengen aja… Yuuuk jalan!”
Mengingat tidak banyak lagi waktu yang mereka miliki untuk bersama menjelang keberangkatan Karen ke Jakarta, Oscar memilih untuk tak lagi mendebat. Ia menurut saja pada perkataan Karen dan mereka pun langsung berangkat.
Jalan yang harus mereka lalui adalah jalan menanjak yang berkelok-kelok. Di sisi kiri dan kanan jalan tampak berbagai pepohonan besar yang sudah tua, mulai dari pohon jati, pohon cengkih, hingga pohon buah-buahan. Oscar sudah cukup lama tidak bepergian ke luar kota sehingga ia begitu menikmati perjalanannya kali ini bersama Karen.
Perjalanan mereka menuju Danau Tondano memakan waktu yang cukup lama yaitu hampir sembilan puluh menit. Jalanan cukup sepi pagi itu, sebenarnya waktu tempuh dapat dipersingkat namun Karen memang sengaja memelankan laju mobilnya karena ia ingin tetap berduaan dengan Oscar.
Setelah perjalanan yang memakan waktu satu setengah jam itu, mereka akhirnya tiba di tepi Danau Tondano. Tepian danau itu dipenuhi oleh restoran-restoran yang bangunannya terbuat dari kayu. Bangunan restoran memanjang dari tepi danau hingga ke atas danau sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Karen memilih sebuah restoran secara acak lalu mengajak Oscar masuk ke sana bersamanya.
Mereka duduk di bagian restoran yang tepat berada di atas permukaan danau. Karen duduk berhadapan dengan Oscar. Kemudian Karen mengambil sebuah kamera saku berwarna pink dari dalam tas tangan yang dibawanya dan secara diam-diam memotret Oscar beberapa kali.
“Lagi foto apa sih?” tanya Oscar begitu menyadari bahwa kamera itu mengarah kepadanya.
“Foto bareng yuk Os…”
Karen lalu pindah ke samping Oscar untuk berfoto bersama. Awalnya mereka duduk dengan sedikit menjaga jarak karena masih merasa canggung satu dengan yang lain, namun Karen ingin lebih dekat dengan Oscar, ia pun mendekatkan dirinya kepada Oscar sebelum mereka berfoto. Karen menyandarkan tubuhnya sambil membelakangi Oscar. Tanpa disangka Oscar tiba-tiba memeluk tubuh Karen dari belakang. Ia melingkarkan kedua tangannya ke perut Karen dan menempelkan pipinya ke pipi Karen. Wajah Karen sampai memerah karena malu bercampur bahagia. Mereka mengambil beberapa foto sebelum memilih makanan untuk menu santap siang mereka. Setelah santap siang, mereka memutuskan untuk segera kembali ke Manado sebelum hari beranjak sore. Karen merasa sangat bahagia hari itu. Demikian halnya dengan Oscar.
Perlahan-lahan Oscar menyadari bahwa kebersamaannya dengan Karen pada tiga hari terakhir ini telah membuat ia menyukai wanita itu. Oscar yang tadinya merasa Karen biasa saja dan cenderung tidak cantik, kini memuja wanita itu seakan ia adalah wanita tercantik di dunia. Ia tidak dapat mengelak dari fakta bahwa ia bukan hanya menyukai Karen, melainkan ia telah jatuh cinta pada wanita itu. Ia terus memikirkan Karen, tidak peduli apa yang sedang dilakukannya.
Setiap hari mereka bertemu untuk jogging kemudian mereka akan keluar untuk makan malam bersama. Tidak sekalipun Karen mengizinkan Oscar untuk mentraktirnya. Karen yang selalu mentraktir Oscar. Karen cukup memahami keadaan Oscar sehingga tidak ingin pertemuan mereka setiap hari itu justru malah akan membebani Oscar.
Sementara Oscar tidak ingin waktu cepat berlalu sehingga mengharuskan ia dan Karen menjalani hubungan jarak jauh. Ia sudah dibuat jatuh cinta oleh Karen dan dalam waktu singkat mereka akan segera berpisah tanpa tahu kapan mereka bisa bertemu lagi.
* * *
Hari ini adalah H-3 keberangkatan Karen ke Jakarta. Oscar telah memperkenalkan Karen pada ibu dan adiknya seminggu yang lalu. Respon mereka sangat positif terhadap Karen. Saat Oscar mengajak Karen ke rumahnya untuk diperkenalkan kepada keluarganya, Gladys bahkan memasakkan hidangan spesial untuknya.
Hari ini Karen datang mengunjungi Oscar lagi dirumahnya. Semalam saat berbincang melalui telepon, mereka berdua telah sepakat untuk tidak pergi kemana-mana hari ini dan hanya akan berada di rumah Oscar saja seharian. Tepat pukul 09.00 Karen tiba di rumah Oscar. Ia datang dengan membawa banyak buah-buahan.
“Kok bawa buah? Memangnya mau jenguk orang sakit, apa?” tanya Oscar ketika membukakan pintu untuk Karen.
“Biar ada cemilan, kan…” jawab Karen sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Karen lantas menuju ke dapur dan mencuci buah-buahan yang dibawanya itu dan menyajikannya di meja makan di atas sebuah nampan plastik besar. Setelah itu ia bergabung dengan Oscar yang sedang duduk di sofa sambil menonton tayangan berita selebritis.
“Aku baru tahu lho kalau laki-laki juga suka menonton berita gosip-gosip artis seperti ini,”
“Ya mau nonton apa lagi, semua channel kalau pagi ya isinya begini semua…”
Karen menyandarkan kepalanya ke pundak Oscar sehingga bunbunannya mengempel tepat di pipi kanan Oscar. Hal itu membuat jantung Oscar berdegup kencang karena gugup.
“Aku bisa mendengar jantungmu lho…” kata Karen kemudian.
Oscar bisa mencium aroma strawberry yang berasal dari rambut Karen pada posisi itu. Beberapa detik kemudian Oscar mengecup bunbunan itu. Karen membalasnya dengan mencium pipi kanan Oscar.
“Aku sayang kamu, Os…” kata Karen sambil menatap mata Oscar.
“Aku nggak…” balas Oscar sambil tersenyum.
Karen spontan melotot ke arah Oscar sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa ia menantikan sebuah jawaban.
“Iya, aku memang nggak sayang kamu. Aku cinta sama kamu, bangeeeet…”
Karen langsung memeluk Oscar erat-erat. Oscar membalas pelukan Karen dengan tidak kalah eratnya. Karen menyandarkan wajahnya ke d**a Oscar yang bidang.
“Aku ingin menghentikan waktu dan terus berada dalam moment seperti ini…” bisik Karen.
“Aku juga…” balas Oscar.
Sepanjang hari itu mereka hanya duduk sambil menonton televisi di rumah tanpa melakukan apapun. Sesekali mereka berpelukan. Karen bahkan tertidur di pangkuan Oscar selama beberapa saat. Hari itu benar-benar menjadi saat yang membahagiakan bagi keduanya.