Semakin Berat

2950 Words
Dina akhirnya berhasil masuk ke SMA Negeri 1, sekolah negeri pilihannya. Ia hampir saja gagal karena ia malah bangun kesiangan pada hari pelaksanaan tes. Ibunya terus memarahinya sepanjang perjalanan ke tempat tes. Beruntungnya meskipun datang terlambat hampir tiga puluh menit, ia tetap dapat menyelesaikan semua tes tepat waktu. Beberapa jam setelah tes, hasil langsung diumumkan. Ia menjadi salah satu dari sepuluh orang terakhir dari kuota tiga ratus orang yang lulus tes dan diterima masuk ke sekolah tersebut. Gladys segera melakukan pembayaran paket seragam dan buku pelajaran yang menjadi persyaratan lanjutan setelah calon siswa dinyatakan lulus tes. Dina melihat ibunya yang sedang mengantri di loket pembayaran bersama ratusan orang lainnya, ia tahu itu akan memakan waktu yang sangat lama, untuk menghabiskan waktu ia memilih untuk berjalan berkeliling bangunan sekolah. Sekolah itu terdiri dari empat buah bangunan berbeda namun saling terhubung satu dengan yang lain dan ditengah-tengahnya ada lapangan basket. Masing-masing bangunan memiliki tiga lantai. Ada sekitar tiga puluh ruang kelas, belum termasuk ruang perpustakaan, lab komputer, ruang musik, ruang kesehatan, ruang guru, dan beberapa kantin. Mungkin jika dihitung secara keseluruhan kira-kira ada lima puluh ruangan bahkan lebih di sekolah itu. Urusan pendaftaran Dina baru selesai saat matahari hampir tenggelam. Dina dan ibunya berjalan meninggalkan sekolah itu dengan menenteng kantong plastik berisi seragam baru dan buku-buku pelajaran. Sementara di dalam sekolah antrian masih panjang dan ramai, kemungkinan baru akan selesai di malam hari. Gladys bersyukur ia tidak harus mengantri di sana sampai malam hari seperti mereka yang lain. Hari itu Gladys sengaja meminta izin untuk tidak masuk kantor karena harus mengurus pendaftaran Dina di SMA sebab Dina mungkin tidak dapat menangani hal itu jika seorang diri. Mereka tiba kembali di rumah saat hari sudah benar-benar gelap. Oscar tampak sedang duduk menikmati sepiring mie goreng instan di ruang makan. “Mama pulangnya lama sih jadi Oscar sudah memasak mie instan…” Oscar segera memberikan penjelasan sebelum ibunya mulai mengomel. Gladys memang tidak mengizinkan anak-anaknya untuk mengkonsumsi mie instan terlalu sering. “Baiklah, kali ini tidak apa-apa.” Gladys yang merasa sangat lelah pun tidak ingin berdebat dengan Oscar. “Kalau begitu Dina juga boleh ya, Ma?” tanya Dina. “Baiklah…” “Dina buatkan juga untuk mama ya?” “Boleh, mama satu bungkus saja ya. Mama mau mandi dulu, selesai mandi baru mama makan. Kalau sudah selesai Dina makan saja duluan.” “Oke Ma…” Karena kelelahan dengan segala urusan pendaftaran Dina, Gladys jadi tidak sempat memasak makan malam untuk kedua anaknya sehingga mereka semua harus makan mie instan. Selesai makan malam Gladys mencuci piring-piring kotor bekas makan malam tadi, setelah itu langsung pergi ke kamar untuk beristirahat.   * * *   Dina mulai menjalani kesehariannya sebagai anak SMA. Ia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang sekarang dan segera memiliki teman baru. Bulan pertamanya di SMA berjalan dengan lancar tanpa kendala. Memasuki bulan kedua, para siswa diingatkan untuk segera melakukan pembayaran uang sekolah sebelum tanggal sepuluh. Dina memberitahukan hal tersebut kepada ibunya. Oleh karena Dina sekarang sudah kembali ke jadwal sekolahnya seperti dahulu, maka Gladys pun mengutus Oscar untuk pergi ke kantor ayahnya dan meminta gaji yang menjadi hak mereka. Keesokan harinya, Oscar berangkat menuju ke kantor ayahnya sesaat setelah ia selesai sarapan. Ia berangkat hampir bersamaan dengan ibunya yang hendak ke kantor. Hari itu Oscar tidak berhasil menemui Ibu Bendahara yang bertugas untuk menyerahkan uang itu kepada mereka karena orang yang dimaksud sedang dirawat di rumah sakit dan tidak ada yang dapat memastikan kapan ia akan kembali masuk kantor. Oscar kemudian mendapat ide untuk menemui langsung ayahnya. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di situ di mana ruangan ayahnya dan mereka mengarahkannya langsung kepada ayahnya. Herman terkejut melihat kedatangan Oscar di kantornya. Ia sudah lama tidak melihat Oscar, kira-kira hampir tiga tahun. Herman terkejut melihat Oscar yang kini memiliki tubuh lebih tinggi, lebih atletis, bahkan lebih besar dari dirinya. Herman merasa seperti bercermin ketika melihat Oscar. Rupa Oscar setelah beranjak dewasa kini amat mirip dengan dirinya kala muda dulu. Ia lalu mengajak Oscar untuk berbincang di halaman belakang kantor yang sepi. “Oscar, kamu semakin besar…” kata Herman sambil memijat-mijat pundak Oscar. “Pa, aku tidak kemari untuk berbasa-basi,” sontak Herman menurunkan tangannya yang berada di pundak Oscar. Ia bisa langsung tahu bahwa pembahasan kali ini sepertinya tidak akan menyenangkan baginya. “Katakan…” balasnya dengan wajah datar. “Dina perlu uang untuk bayar uang sekolah. Sebulan yang lalu saat Dina butuh uang untuk bayar biaya pendaftaran masuk SMA, papa malah mengambil semua gaji yang sudah disepakati setengahnya sebagai hak kami…” Herman lantas memotong ucapan Oscar, “Itu karena papa punya urusan yang sangat mendesak,” “Tadi aku ke tempat ibu bendahara dan dia tidak masuk hari ini,” “Dia mengalami kecelakaan motor,” potong Herman lagi. “Jadi kepada siapa aku harus meminta uang untuk membayar uang sekolah Dina?” “Uang gaji papa bulan ini sebenarnya juga sudah papa ambil semuanya. Papa sudah menggunakannya untuk keperluan lain. Uang sekolah Dina minta mamamu saja yang membayarnya,” jawab Herman dengan dingin. “Pa… Papa tidak bisa begitu!” Oscar meninggikan nada bicaranya. “Mau bagaimana lagi?” Herman justru balik bertanya. Ia lantas berpaling dari hadapan Oscar dan melangkah pergi. Oscar mengejar ayahnya, ia meraih pundak ayahnya dan begitu ayahnya menoleh ia menghajar ayahnya tepat di wajah. Tubuh Herman terhempas ke tanah karena tinju Oscar yang begitu keras mendarat di wajahnya. “Papa sama sekali tidak berubah!” kata Oscar lalu meninggalkan Herman yang masih dalam posisi terduduk di tanah. Herman tidak mengatakan apapun. Ia tidak bisa memungkiri keterkejutannya atas apa yang dilakukan Oscar kepadanya. Ia tidak menyangka Oscar berani melakukan itu kepadanya apalagi ini terjadi di lingkungan kantornya sendiri. Oscar pulang dengan kesal. Begitu ia tiba di rumah, ia melempar sepatunya ke sembarang arah dan langsung membuka kulkas untuk mengambil air dingin. Ia segera meminum air dingin itu untuk mendinginkan kepalanya yang terasa begitu panas. Perut Oscar mulai keroncongan, ia mengambil ikan mentah yang sudah dibumbui oleh ibunya pagi tadi dari dalam kulkas dan menggorengnya untuk menu makan siangnya. Saat makan pun ia tetap tidak bisa berhenti berceloteh tentang kekesalannya terhadap ayahnya. Selesai makan ia duduk untuk menonton televisi sejenak, ketika hari beranjak sore ia lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga dan pergi untuk berolahraga di lapangan dalam kompleks perumahan. Sore itu Oscar melakukan jogging di jogging track sekitar lapangan sepak bola sebanyak sepuluh kali putaran untuk meluapkan kekesalannya kepada ayahnya. Ia tidak habis pikir bagaimana ayahnya bisa kembali melakukan hal jahat yang dulu pernah ia lakukan kepada mereka. Selain itu ia juga tidak habis pikir bagaimana mereka yang berwenang di kantor ayahnya itu melakukan pengambilan keputusan secara sepihak tanpa melibatkan mereka yang juga berhak. Setelah putaran ke sepuluh, Oscar terduduk kelelahan di pinggir jogging track. Ia meraih botol minum yang dibawanya dan meneguk air minumnya tanpa henti selama beberapa menit. “Jangan minum banyak dan terburu-buru seperti itu…” sebuah suara mengejutkannya yang tengah asyik minum. Oscar pun berhenti minum, meletakkan botolnya dan mencari asal suara yang menegurnya tadi. Ternyata suara itu milik Karen, teman sekelasnya di SMA. “Hey… Olahraga juga?” tanya Oscar. “Jogging santai saja,” jawabnya. Karen berperawakan tinggi dan kurus. Kulitnya sangat putih khas orang Tionghoa. Wajahnya sangat oriental, tidak begitu cantik, namun terkenal karena kepintarannya di sekolah dan kemampuannya berbahasa Inggris dan Mandarin yang begitu fasih. Ia sering di daulat untuk menjadi penerima tamu jika ada tamu penting yang berkunjung ke sekolah mereka. “Kamu mendaftar ke universitas mana, Os?” tanyanya kemudian. Ia lalu duduk bersila tepat di samping Oscar. “Aku nggak kuliah, Ren…” “Lho kenapa?” “Aku mau jadi polisi,” “Kan bisa tuh kuliah dulu sampai selesai S1 lalu lanjut ke sekolah polisi?” “Ya sebenarnya bisa juga sih seperti itu, tapi aku tidak mau semakin memberatkan mamaku. Waktu itu saja mama sudah pusing setengah mati waktu Dina mau lanjut ke SMA.” “Papamu bukannya anggota TNI ya?” “Iya, tapi dia sudah mengabaikan kami sejak aku dan Dina masih SD.” Karen terdiam dan mendadak jadi salah tingkah karena merasa bahwa ia sudah menanyakan pertanyaan yang tidak seharusnya ia tanyakan. Oscar menyikut lengan Karena lalu berkata, “Tidak usah salah tingkah gitu dong. Biasa aja, nggak usah merasa nggak enakan. Aku memang selalu menyimpan masalah keluargaku ini rapat-rapat. Yang tahu ya paling teman-teman yang sudah mengenalku sejak SD atau SMP,” Karen lalu pindah tempat yang semula di samping kini berhadap-hadapan dengan Oscar. Ia memegang kedua tangan Oscar dan meminta maaf sambil menundukan kepalanya beberapa kali, “Maaf ya… sekali lagi maafkan aku, aku tidak bermaksud mengulik kehidupan pribadimu…” Oscar tertawa melihat tingkah Karen itu, “Sudahlah… tidak apa-apa, jangan begitu lagi, aku malu dilihat orang selapangan…” Karen lantas kembali ke tempat duduknya semula sambil menggaruk kepalanya. “Oh ya, ini kan lapangan kompleks perumahan anggota TNI, kenapa kamu bisa nyasar ke sini?” tanya Oscar yang baru menyadari kejanggalan itu. Lapangan tersebut bukanlah fasilitas umum yang terbuka untuk semua orang. Berbeda dengan lapangan yang ada di luar kompleks yang juga sering Oscar datangi. “Aku sudah beberapa kali lho datang berolahraga di sini,” jawabnya dengan bangga. “Tunggu… tunggu… gimana ceritanya kamu bisa masuk?” Karen mendadak tertawa mendengar Oscar yang begitu penasaran. “Jadi begini, waktu lewat di pos penjagaan yang di gerbang utama itu aku bilangnya mau ke rumah Oscar…” “Jadi kamu bawa-bawa namaku di pos penjagaan?” tanya Oscar setengah berteriak. Karen tersenyum dan menganggukan kepala. Oscar menyikut lengan Karen dengan keras hingga tubuhnya terjatuh ke tanah. Namun Karen masih tetap tertawa. “Woooy, banyak kalee lapangan lain, kenapa coba harus ke lapangan ini? Pake acara bawa-bawa namaku tanpa sepengetahuanku pula. Coba beri aku penjelasan, aku mau dengar…” “Aku cari lapangan yang nggak rame, kalau lapangan milik KONI kan sudah pasti rame ya sore-sore gini…” Oscar menggelengkan kepalanya mendengar jawaban dari Karen, “Dasar perempuan…” “Aku juga mau ketemu kamu sih sebenarnya,” lanjut Karen. Oscar lantas menatap Karen sambil mengangkat salah satu alisnya. “Kamu suka sama aku ya?” Goda Oscar kemudian. Karen menundukan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. “Woooy, aku hanya bercanda, nggak usah sampe malu gitu kalee…” Karen mendadak bangun dari tempatnya duduk dan pindah ke hadapan Oscar lagi. Ia memegang kedua pundak Oscar dan menatap matanya, “Aku memang suka kamu kok, serius!” Oscar menarik tubuhnya ke belakang dengan mulut menganga seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, sementara Karen tetap pada posisinya yang tadi. “Mau ya jadi pacarku?” tanya Karen sambil menatap mata Oscar dalam-dalam. “Karen, hentikan!” sergah Oscar. Karen spontan melepaskan tangannya dari pundak Oscar. “Kita bisa membahas ini pelan-pelan, bukan? Tidak harus semendadak ini,” kata Oscar. “Aku ingin membahas ini sejak lama, tapi aku selalu tidak punya kesempatan. Aku bahkan tidak punya nomor handphone-mu,” “Aku memang tidak punya handphone,” “Ternyata yang dikatakan teman-teman itu benar ya kalau kamu tidak punya handphone,” “Ibuku saja tidak punya handphone, gimana ceritanya aku bisa punya…” Karen lalu membuka ritsleting pouch nylon berwarna pink yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel lipat berwarna pink dan menyerahkannya kepada Oscar, “Kalau begitu bawa pulang milikku ya…” Oscar menatap ponsel lipat itu dengan bingung, “Lalu kamu gimana?” “Aku masih punya satu lagi.” Jawabnya sambil menunjukkan sekilas satu lagi ponsel dari dalam pouchnya. “Tapi ini warnanya pink,” keluh Oscar. “Ya mau gimana lagi, punyaku semuanya warnanya pink…” “Ya sudah, sini HP-nya. Nanti telepon aku agak malaman dikit ya, biasanya jam sepuluh aku sudah balik ke kamar.” “Baiklah.” Mereka lalu melanjutkan pembicaraan dengan santai di tepi lapangan itu hingga hari beranjak petang. Saat lampu lapangan satu per satu mulai dinyalakan, mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Oscar mengantar Karen sampai ke gerbang utama kompleks perumahan. Begitu tiba di depan gerbang, Oscar terkejut karena melihat Karen ternyata datang dengan mengendari mobil sendiri. Mobil Honda Jazz berwarna pink yang tampak masih baru dan mengkilap terparkir di sana. Karen masuk ke mobil itu dan mengatakan bahwa ia akan menelpon Oscar nanti malam. Oscar mengacungkan jempolnya sebagai tanda setuju, Karen pun tancap gas dan pergi.   * * *   Malam itu seusai makan malam Oscar menceritakan kepada ibunya hal yang terjadi siang tadi di antara ia dan ayahnya. Gladys terkejut luar biasa mendengar Oscar berani meninju ayahnya bahkan di dalam kompleks kantor ayahnya sendiri. “Batas pembayaran uang sekolah Dina sebentar lagi lho Ma, nanti mama bayarnya pake uang dari mana?” tanya Oscar sambil berbisik kepada ibunya agar tidak terdengar oleh Dina yang sedang mencuci piring-piring bekas malam mereka di dapur. “Nanti mama usahakan, pasti bisa sebelum tenggat waktunya berakhir.” “Mau jual bunga lagi?” “Ya bisa jadi…” jawab Gladys dengan ekspresi wajah tidak yakin. “Ya sudah, tapi uang dari nenek yang buat Oscar mendaftar jangan dipakai ya Ma?” kata Oscar mengingatkan. “Iya nak, mama tahu. Uangnya sudah dipisah kok…” “Baguslah kalau begitu. Oscar masuk kamar dulu ya Ma, capek tadi lari sepuluh putaran di lapangan…” Gladys menggelengkan kepalanya mendengar Oscar yang berolahraga begitu keras. “Lain kali jangan dipaksakan ya, nanti giliran hari seleksi kamu-nya yang sakit terus tidak bisa hadir. Masa iya mau menunggu setahun lagi,” “Iya Ma, Oscar tahu kok.” Oscar lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Ia naik ke tempat tidurnya dan memeriksa ponsel pink milik Karen yang sejak tadi ia sembunyikan di bawah bantalnya. Ternyata Karen sudah meneleponnya sebanyak dua kali saat ia masih berbincang dengan ibunya. Ketiga kali Karen menelepon, tanpa menunggu lama Oscar langsung menjawabnya. Malam itu Oscar dan Karen menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol di telepon. Pembicaraan mereka terhenti karena ponsel yang digunakan Oscar sudah kehabisan baterai sementara Karen tidak memberikan kabel pengisi dayanya. Sebelum ponsel itu mati, Karen sempat berpesan akan membawakan pengisi dayanya besok sore di lapangan. Ia akan menunggu Oscar di sana jam empat sore. Oscar tidak sempat mengucapkan salam perpisahan, ponsel itu sudah terlanjur mati.   * * *   Keesokan harinya saat jam istirahat makan siang, Gladys buru-buru meninggalkan kantornya dan menuju ke pusat kota dengan menumpang angkot. Ia pergi ke toko perhiasan dan berniat untuk menjual sepasang anting-anting emas miliknya. Harga emas sedang tidak terlalu baik saat itu. Anting-anting yang dijual oleh Gladys dihargai sedikit lebih murah dibandingkan saat ia membelinya beberapa tahun yang lalu. Namun ia tidak memiliki pilihan lain selain menjualnya saat itu juga meskipun ia harus sedikit merugi. Selesai menjual anting-anting itu, Gladys pergi ke Bank yang ditunjuk oleh sekolah Dina sebagai mitra untuk pembayaran uang sekolah. Uang yang dihasilkan Gladys dari penjualan anting-antingnya cukup untuk membayar uang sekolah sebanyak empat bulan. Ia memutuskan untuk menggunakan uang itu sepenuhnya untuk membayar uang sekolah dan tidak menahannya sepeser pun. “Setidaknya aku bisa bernafas lega hingga bulan November,” kata Gladys dalam hatinya. Setelah semua urusannya selesai, Gladys bergegas kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya yang masih menumpuk. Meskipun ia masih kesal terhadap Herman yang sudah dua bulan ini melalaikan tanggung jawabnya, namun tidak ada yang dapat ia lakukan untuk membuat Herman sadar. Satu-satunya yang dapat ia lakukan demi kelangsungan masa depan pendidikan Dina adalah mengambil alih tanggung jawab yang dilalaikan Herman. Sebenarnya uang sekolah Dina dapat dibayarkan dengan gaji Gladys, namun bulan ini terjadi penundaan pembayaran gaji karena alasan yang tidak jelas. Dina akan diberi surat panggilan apabila terlambat membayar dan itu pasti akan membuat Dina merasa sangat malu. Gladys tidak ingin hal semacam itu menimpa Dina, apalagi ini masih bulan-bulan awalnya di SMA, sehingga ia berinisiatif untuk segera menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri. Sementara Gladys juga harus menabung untuk keperluan Oscar apabila ia nanti akan mengikuti seleksi masuk anggota polisi. Oscar pasti harus membeli sejumlah pakaian, sepatu, dan keperluan lainnya. Itu akan membutuhkan dana yang tidak sedikit dan Gladys benar-benar harus mengantisipasinya dengan cara menabung gajinya dari jauh-jauh hari. Gladys berharap Herman tidak melupakan tanggung jawabnya pada bulan-bulan berikutnya sehingga akan ada cukup dana untuk memenuhi segala keperluan mereka. Gladys merasa tidak akan mampu jika harus memikul beban ini seorang diri seperti dahulu, sebab biaya pendidikan anak-anaknya sekarang tidak lagi sama seperti dahulu. Semakin tinggi jenjangnya, semakin besar pula biayanya. Gladys tidak dapat melakukan apapun selain berdoa siang dan malam kepada Tuhan agar membukakan pintu hati Herman sehingga mau memperhatikan kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya serta membiayai pendidikan anak-anaknya juga. Hanya itu saja yang selalu ia minta kepada Tuhan dalam setiap doanya. Ia tidak lagi meminta kepada Tuhan agar hubungan mereka dipulihkan, karena ia benar-benar sudah kehilangan harapannya untuk melanjutkan rumah tangganya dengan Herman. Gladys memang masih memiliki sedikit rasa cinta untuk Herman, tetapi ia kini lebih menggunakan akal sehatnya ketimbang perasaannya. Sejak kematian Anissa beberapa tahun silam, Gladys memang belum mendengar berita Herman sudah memiliki wanita lain pengganti Anissa. Namun itu bukan berarti tidak ada, bisa saja Herman kini lebih berhati-hati untuk menyembunyikan wanitanya dan memilih untuk tidak mengekspose hubungan yang ia jalani sekarang. Selain itu, anak hasil hubungan Herman dan Anissa juga entah berada di mana kini. Anak itu bak hilang ditelan bumi. Gladys mungkin sedikit penasaran, tetapi untuk menyelidiki lebih lanjut Gladys merasa bahwa itu tidak perlu dan itu bukan urusannya. Pikirannya kini hanya terpusat pada anak-anak dan pekerjaannya saja. Ia tidak mengizinkan hal lain untuk mengusik ketenangan pikirannya seperti dulu lagi. Ia ingin fokus untuk membawa anak-anaknya menuju keberhasilan sebelum ia pensiun dari pekerjaannya, meskipun dalam proses menuju kesana ia harus bersusah payah berjuang sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD