Kita Bisa Melewati Ini Mama…

4277 Words
April 2005 Dina dan Oscar akan segera lulus dari sekolah mereka yang sekarang. Dina akan melanjutkan ke bangku SMA sementara Oscar belum memberi kepastian kepada ibunya apakah ia ingin melanjutkan ke bangku kuliah atau tidak. Gladys mendorong Oscar agar melanjutkan pendidikan tetapi anaknya itu tampak enggan. Dina akan melanjutkan pendidikannya ke SMA negeri tempat Oscar menempuh pendidikannya sekarang. Ia sudah memastikan hal tersebut kepada Gladys, ibunya. Malam itu seusai makan malam, Gladys memanggil kedua anaknya untuk bicara. Gladys duduk di sofa merah di ruang tamu menunggu kedua anaknya datang mendekat. “Mama ingin bicara serius dengan kalian berdua,” kata Gladys membuka pembicaraan. Oscar dan Dina duduk di kursi yang berbeda namun keduanya kompak menghadap kepada ibunya. “Jadi Dina apakah sudah pasti mau masuk ke SMA Negeri 1?” “Iya Ma.” “Kalau nanti tidak lulus tes masuknya, gimana?” “Ya cari SMA negeri yang lain Ma,” jawab Dina dengan santai. Gladys tertawa mendengar jawaban Dina yang begitu santai seperti tak berbeban. “Ya sudah kalau begitu. Yang pasti ke SMA negeri kan, bukan ke SMA swasta?” “Iya Ma, sekolah negeri. Dina tahu kok kita tidak punya dana untuk ke sekolah swasta.” Gladys mengangguk sambil tersenyum mendengar Dina yang begitu memahami keadaan mereka. “Jangan lupa untuk rajin belajar ya Na, ujian akhirmu tinggal seminggu lagi tuh…” “Iya Ma…” “Nah sekarang Oscar, apa rencanamu setelah ini?” Oscar sudah selesai mengikuti Ujian Akhir Nasional, ia hanya tinggal menunggu pengumuman hasil ujiannya saja. Oscar terdiam sejenak mendengar pertanyaan ibunya. Ia tampak ragu-ragu untuk mengemukakan pendapatnya. Ia menatap ujung kakinya lalu menatap ke langit-langit beberapa kali. “Oscar…” Panggil Gladys. “Nggg… Begini Ma, Oscar sebenarnya ingin jadi polisi…” Gladys mengangkat sebelah alisnya, “Jadi Oscar tidak ingin kuliah seperti saran mama?” Oscar tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya. “Tapi itu tidak mudah lho nak, bisa jadi kamu tidak langsung lolos seleksi masuknya di tahun ini,” “Oscar tahu itu Ma,” “Lalu apa yang akan Oscar lakukan jika tidak lolos seleksi di tahun ini?” “Nanti kan Oscar bisa ikut lagi di tahun-tahun mendatang. Sekarang Oscar masih delapan belas tahun, setidaknya Oscar punya empat kesempatan untuk mencoba. Jika Oscar tidak lolos sampai pada batas umur yang ditentukan, itu artinya Oscar tidak berjodoh untuk menjadi polisi dan harus mencari pekerjaan lain.” Batas umur untuk mengikuti seleksi masuk anggota POLRI bagi lulusan SMA adalah dua puluh satu tahun. Oscar optimis dia bisa diterima masuk menjadi calon anggota polisi sebelum batas umurnya terlampaui. “Kalau tahun ini belum lolos seleksinya, selagi menunggu seleksi berikutnya dibuka mama harap kamu bisa mencoba untuk mencari pekerjaan dulu daripada kamu menunggu sambil menganggur, cari pekerjaan apa saja ya nak, yang penting halal." “Iya Ma,” jawab Oscar dengan enggan. Setelah itu mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena jam sudah menunjukkan pukul 22.00.   Tahun ini Gladys merasa bahwa ia tidak harus terlalu memusingkan biaya pendidikan bagi Dina yang akan melanjutkan ke SMA karena tunjangan dari Herman yang masih ia dapatkan atas bantuan dari Kapten Nugroho. Sudah tiga tahun ini Dina dan Oscar menikmati tunjangan itu. Meskipun jumlahnya pas-pasan untuk biaya sekolah mereka, tetapi tidak bisa dipungkiri dana itu membuat mereka sangat terbantu. Minggu berikutnya Dina mengikuti ujian akhir nasional untuk jenjang SMP. Setiap hari Gladys mengingatkan Dina untuk belajar dengan lebih keras. Dina sampai harus begadang untuk mempelajari kembali semua pelajaran yang sudah ia dapatkan selama di SMP. Kadang Dina memilih untuk tidur lebih awal kemudian bangun di tengah malam untuk belajar. Ia belajar hingga dini hari atau bahkan sampai pagi hari menjelang berangkat sekolah. Prestasi Dina di sekolah memang tidak terlalu menonjol selama ini. Sejak SD ia tidak pernah berhasil menduduki posisi sepuluh besar di kelasnya. Berbeda dengan Oscar yang selalu menjadi bagian dari sepuluh besar di kelasnya sejak di bangku SD. Gladys sendiri tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk menjadi juara kelas. Ia memahami bahwa anak-anaknya itu tidak sama dengan anak-anak lain yang berasal dari keluarga yang harmonis, sehingga ia tidak bisa menuntut lebih dari mereka. Ia berpendapat, kedua anaknya bersedia untuk melanjutkan sekolah hingga lulus saja itu sudah merupakan sebuah prestasi, sebab pada beberapa kasus anak-anak yang menyaksikan perpisahan orang tua, bahkan ada anak yang sampai putus sekolah karena mengalami depresi. Ia sangat bersyukur kedua anaknya tidak mengalami depresi. Mereka terluka secara batin, namun itu tidak sampai mempengaruhi pendidikan mereka. Dampak paling signifikan terlihat pada pola makan berlebih yang dialami Dina sehingga menyebabkan obesitas. Gladys menaruh perhatian besar akan hal ini, akan tetapi ia tidak bisa memantau anak-anaknya terus menerus karena ia sendiripun harus bekerja di kantor sepanjang hari. Sementara Oscar terus mengisi waktunya dengan berolahraga sehingga jarang berada di rumah. Entah tujuannya berolahraga untuk persiapannya mengikuti seleksi anggota POLRI atau ia memang sengaja tidak ingin berada di rumah. * * * Suatu sore Wanda datang mengunjungi Gladys. Kala itu Gladys sedang mengurusi bunga-bunganya, hal yang selalu Gladys lakukan di sore hari kalau ia pulang tepat waktu dari kantor. “Sebentar lagi Oscar lulus SMA, sungguh tidak terasa ya?” kata Wanda. “Iya. Oscar sudah beranjak dewasa,” “Dia mau melanjutkan kuliah kemana?” “Dia tidak ingin kuliah katanya, dia mau ikut seleksi anggota polisi.” “Benarkah? Tapi postur tubuh Oscar sangat bagus kok, aku yakin dia bisa masuk.” “Ya semoga saja, dia tampak sangat menginginkannya…” “Oh ya, kamu sudah tahu belum kalau Kapten Nugroho mau dimutasi?” “Benarkah?” Tanya Gladys dengan sedikit terkejut. “Begitu yang aku dengar dari Carlos. Katanya mau dimutasi ke pulau Jawa, tapi belum tahu ke kota mana. Beliau memang sudah cukup lama di sini. Aku bahkan tidak ingat kapan beliau mulai bertugas di sini.” “Aku ingin bertemu dengan beliau sebelum beliau pindah. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena beliau banyak membantu kami selama ini…” “Iya benar. Beliau sangat membantu kalian pada tahun-tahun yang lalu.” Keesokan harinya Gladys mewujudkan kata-katanya untuk datang menemui Kapten Nugroho. Gladys harus menunggu cukup lama hingga akhirnya bisa masuk ke ruangan Kapten Nugroho. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Bu Herman?” Tanya Kapten Nugroho. “Selamat siang Pak. Sebenarnya tidak ada. Saya datang kesini karena kemarin saya dengar dari Ibu Carlos kalau anda akan segera dimutasi,” “Oh iya, itu memang benar.” “Saya hanya ingin berterima kasih kepada Bapak karena telah sangat banyak membantu kami selama ini. Saya juga minta maaf jika selama ini banyak melibatkan Bapak dalam urusan pribadi kami.” “Iya bu, tidak apa-apa. Saya melakukan itu dengan ikhlas. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Ibu dan anak-anak ibu. Selanjutnya saya tidak bisa membantu Ibu lagi, Ibu bisa menghubungi atasan yang baru jika ada kendala terkait Sertu Herman.” Herman telah mengalami kenaikan pangkat dari Sersan Dua (Serda) menjadi Sersan Satu (Sertu) karena masa dinasnya yang telah memenuhi syarat untuk memperoleh kenaikan pangkat. “Baik Pak, terima kasih banyak.” “Oh ya ada satu hal lagi,” Kapten Nugroho membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana. “Ibu ingat surat pernyataan yang waktu itu?” Gladys menganggukan kepalanya. Surat pernyataan yang dimaksud oleh Kapten Nugroho adalah surat yang menyatakan bahwa Herman akan membiayai kedua anaknya. “Kali ini saya akan menyerahkan surat aslinya. Karena saya tidak akan berada di sini lagi, sehingga Ibu boleh memegang aslinya. Jika Ibu mengalami kendala seperti sebelumnya, maka surat ini dapat Ibu serahkan kepada atasan yang baru. Saya harap Ibu dapat menyimpan surat ini dengan baik dan jangan sampai hilang.”    “Baik Pak. Terima kasih atas bantuan Bapak. Sekali lagi saya dan anak-anak mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak.” “Sama-sama Bu. Jangan terlalu dipikirkan.” Gladys dan Kapten Nugroho lalu berjabat tangan. Gladys lantas berpamitan dan meninggalkan kantor itu. Seminggu setelah itu Gladys mendengar kabar bahwa Kapten Nugroho telah berangkat menuju tempat tugasnya yang baru di Kodam V/Brawijaya di kota Surabaya.   * * *   Dina akhirnya menerima amplop berisikan surat pengumuman kelulusannya dari SMP. Dengan semangat yang menggebu-gebu ia pergi sendiri untuk mendaftar ke SMA negeri pilihannya. Ibunya sudah melengkapi semua berkas yang diminta oleh pihak sekolah pada malam sebelumnya, sehingga Dina tinggal membawanya saja ke sana dan ditukar dengan nomor peserta ujian masuk. Dina yang cekatan berhasil menyelesaikan semua urusan itu tidak sampai setengah hari. Sebab ia berangkat pagi-pagi sekali dan telah berada di sana bahkan sebelum loket penyerahan berkas di buka. Menurut jadwal yang terpasang di papan pengumuman sekolah, tes masuk akan dilaksanakan seminggu kemudian. Jumlah siswa yang akan diterima hanya tiga ratus orang. Hasil tes masuk akan langsung dapat diketahui pada hari yang sama karena pemeriksaannya menggunakan sistem komputerisasi dan bagi tiga ratus siswa yang sudah dinyatakan lolos tes masuk harus langsung melakukan pendaftaran kembali dan pembelian buku teks dan seragam. Apabila tidak langsung dilakukan dalam waktu tiga hari setelah pengumuman maka calon siswa tersebut dianggap mengundurkan diri dan akan digantikan oleh calon siswa lain. Beberapa hari sebelum tes masuk SMA, Dina pergi ke kantor ayahnya seperti yang biasa ia lakukan setiap bulan. Ia datang untuk mengklaim lima puluh persen dari gaji ayahnya yang sudah dinyatakan secara resmi sebagai hak mereka. Biasanya proses pengambilan gaji seperti itu berlangsung sangat cepat, entah mengapa hari ini tampak begitu lama. Dina harus menunggu padahal tidak ada antrian di sana. Dina datang pada pukul 13.30 untuk memastikan bahwa pegawai bagian keuangan sudah kembali dari makan siang. Begitu ia tiba di sana, ia melihat ibu yang biasa menyerahkan uang itu kepadanya setiap bulan baru saja masuk ke salah satu ruangan. Setidaknya Dina merasa lega mengetahui orang yang akan membantunya ada di kantor hari ini. Saat Dina menunggu di depan ruangan ibu itu, rekan-rekan seruangannya malah meminta Dina untuk kembali lagi besok hari saja karena orang yang ingin Dina temui hari ini sedang tidak masuk kantor. Padahal Dina melihatnya sendiri tadi. Dina merasa kecewa dengan perlakuan itu namun ia tetap menjaga sikapnya untuk tidak langsung mengkonfrontasikan apa yang ia lihat dengan apa yang mereka sampaikan. Ia segera meninggalkan kantor itu dan kembali ke rumah. Malam harinya saat makan malam bersama ibu dan kakaknya Dina menceritakan hal yang terjadi kepadanya tadi. Gladys memiliki sedikit firasat jelek namun ia tidak mengatakan itu kepada Dina dan Oscar. Ia meminta Dina untuk berpikir positif dan kembali lagi ke sana besok harinya. Keesokan harinya sesuai perintah ibunya, pagi-pagi Dina sudah pergi lagi ke kantor ayahnya. Saat baru memasuki halaman kantor, Dina bertemu dengan Carlos yang akan kembali ke rumah setelah berpiket semalaman. Dina menanyakan apakah Ibu Bendahara yang biasa membayarkan tunjangan mereka hari ini hadir atau tidak, Carlos menjawab bahwa ibu tersebut sudah datang dan saat ini berada di ruangannya. Dina pun bergegas menuju ke sana. Dari kejauhan Dina sudah bisa melihat ibu tersebut sedang duduk sambil menulis di meja kerjanya. Ketika ibu tersebut menoleh ke luar dan tidak sengaja melihat kedatangan Dina, tiba-tiba ia bangkit dari kursinya dan masuk ke bagian dalam dari ruangan itu sehingga Dina tidak bisa melihatnya lagi. Begitu tiba di depan ruangan itu, Dina menanyakan keberadaan ibu itu kepada pegawai lain yang berada di situ. Namun mereka menjawab bahwa hari ini ibu tersebut masih belum masuk. Sementara Dina dapat melihat bahwa di meja kerjanya ada buku besar yang terbuka dengan pulpen di atasnya, serta tas wanita berukuran besar ada di kursinya. “Tolong jangan bohongi kami lagi…” Seru Dina yang kemudian membuat seisi ruangan terkejut. Mereka semua sontak menatap ke arah Dina. “Kemarin saya melihat yang bersangkutan berjalan di koridor, tetapi semua mengatakan beliau tidak masuk. Barusan saya juga lihat kok beliau duduk dan menulis di sini,” kata Dina sambil menunjuk ke meja kerja ibu tersebut. “Saya mau masuk SMA, uangnya tidak ada, saya ke sini untuk meminta uang yang menjadi hak kami, kenapa semuanya seperti menghindari saya?” nada suara Dina meninggi. Ibu yang sejak kemarin dicari oleh Dina kemudian menampakkan diri. Ternyata sejak tadi ia hanya bersembunyi di balik lemari arsip yang besar dan mendengarkan semua yang disampaikan oleh Dina. Ia berjalan menuju ke meja kerjanya lalu duduk di kursi miliknya itu. “Silakan duduk…” katanya mempersilakan Dina untuk duduk. Dina menyeka peluh yang memenuhi dahinya dengan sapu tangan kecil yang dibawanya. Napasnya masih belum beraturan karena emosi. Ia lalu mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan ibu tersebut. “Jadi begini,” Ibu itu memulai pembicaraan setelah melihat Dina sudah duduk. “Saya minta maaf atas semua kejadian yang kamu keluhkan tadi. Sebenarnya saya bukan melakukannya dengan sengaja, tetapi ada satu hal yang harus kamu ketahui.” Dina mendengarkan dengan seksama dan menatap lawan bicaranya itu tanpa berkedip. “Sebenarnya ayahmu sudah mengambil seluruh gajinya bulan ini. Ia mengatakan bahwa ia memiliki kebutuhan mendesak sehingga harus mengambil keseluruhan gajinya. Ia berjanji bahwa ia sendiri yang akan menjelaskan hal ini kepada kalian.” “Kami sudah lama tidak bertemu…” jawab Dina dengan lirih. “Jadi dia belum menjelaskan hal ini kepada kalian?” Dina tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Dina merasa penjelasan yang ia dapatkan sudah cukup. Ia lalu berpamitan dan pergi dari sana lantas menuju ke kantor Gladys, ibunya. Begitu tiba di kantor Gladys, Dina segera menerobos masuk ke ruang kerja ibunya. Tanpa berbicara terlebih dahulu, Dina langsung menangis di pelukan ibunya dan menjadi tontonan seisi ruangan. Gladys langsung bisa menebak apa yang terjadi. Ia lantas mengajak Dina keluar dari ruangan itu dan menuju ke pelataran parkir. Mereka duduk di bawah pohon ketapang yang rimbun. Gladys menunggu hingga Dina menghentikan tangisnya barulah ia mulai bertanya. “Kamu berhasil menemui Ibu itu?” “Iya Ma,” “Lalu apa katanya?” “Tadinya dia sembunyi lagi, tapi Dina sempat melihatnya. Dina marah-marah di situ,” Gladys mengangkat sebelah alisnya dan menatap Dina keheranan. “Ibu itu akhirnya keluar dari belakang lemari tempat dia sembunyi,” “Iya, terus apa katanya?” tanya Gladys dengan sangat penasaran. “Katanya papa sudah ambil semua gajinya untuk bulan ini,” Gladys terkejut mendengar perkataan Dina. Dina akan segera masuk SMA tetapi Herman justru menarik semua gajinya untuk dirinya sendiri. Seketika kepala Gladys dihantam migrain. Ia lalu meminta Dina untuk pulang ke rumah dan berjanji untuk membahas hal ini nanti ketika ia sudah berada di rumah. Sepanjang sisa hari itu Gladys pusing memikirkan nasib Dina yang hendak melanjutkan pendidikannya ke bangku SMA. Ia baru menghabiskan semua tabungannya pada akhir tahun lalu untuk membeli rumah yang ia impikan selama ini. Tak disangka Herman akan melakukan hal semacam ini di saat Dina memerlukan uang dalam jumlah besar untuk masuk SMA. Gladys terjebak dalam berbagai macam perasaan. Ia sedih memikirkan Dina, ia kesal kepada Herman, namun ia juga menyesali keputusannya yang terlalu cepat untuk membeli rumah impiannya secara tunai. Sore itu Gladys pulang kantor dalam keadaan letih, wajahnya tampak sangat lesu. Saat berjalan mendekati rumahnya, ia melihat bunga-bunga yang ia tanam sudah bermekaran dengan indah dan itu memberinya sebuah ide. Ia akan menjual semua bunga miliknya untuk menutupi biaya masuk SMA Dina. Ia punya sangat banyak bunga di halaman bahkan pot-pot itu diatur hingga ke teras rumah. Gladys berhenti sejenak dan menghitung jumlah bunga-bunga yang ia miliki. “Lima puluh, lima puluh satu, lima puluh dua…” Dina tiba-tiba muncul dari dalam rumah dan mempehatikan ibunya yang sedang menunjuk ke pot-pot bunga. “Lagi apa, Ma?” Gladys terkejut mendengar suara Dina. Ia melihat Dina sudah berdiri di ambang pintu. “Lagi hitung bunga, Na…” “Lima puluh dua kan?” tanya Dina. “Tahu dari mana?” “Tiap hari Dina hitung ma, takut sudah ada yang hilang atau mati…” Gladys berjalan menuju ke teras rumah, melepaskan sepatu yang ia gunakan, lalu masuk ke dalam rumah. “Bunganya mau mama jual saja,” “Untuk biaya pendaftaran?” “Iya,” Dina memasang wajah sedih, karena selama ini ia dan ibunya yang mati-matian mengurus bunga itu. Mereka sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merawat bunga itu di pagi dan sore hari. “Jangan sedih, pendidikan kamu lebih penting. Mama bisa mulai dari awal lagi asalkan kamu sudah diterima di SMA.” “Iya Ma…” “Nanti tolong buatkan tulisan di karton yang besar ya, terus ditempel di kaca depan. Tulis aja bunganya dijual, begitu.” Dina tidak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya. Malam harinya setelah makan malam, Gladys dan Dina mulai membuat daftar harga untuk bunga-bunga yang akan dijual. Gladys membuat tabel harga tertinggi, tengah hingga terendah untuk setiap pot bunga. Hal ini dimaksudkan agar Dina tidak salah menjual bunga milik ibunya jika nanti ada yang mau membeli bunga itu saat ibunya sedang berada di kantor. “Nanti kalau ada yang nawar, Dina bertahan di harga tengah ya… Usahakan jangan sampai ke harga terendah. Tapi kalau orangnya mau beli lebih dari dua, ya tidak apa-apalah dikasihkan di harga yang terendah. Mengerti tidak?” “Mengerti kok, Ma…” Oscar yang sejak tadi menonton televisi, kemudian datang mendekati Gladys dan Dina yang sedang berada di meja makan. “Ma, daripada repot-repot begitu, kenapa tidak minta saja ke kakek dan nenek? Mereka kan orang tua papa, mereka kan yang harus bertanggung jawab jika anak mereka lalai memenuhi kewajiban,” “Mama sudah malu untuk kesana, Nak. Tiga tahun lalu saat Oscar mau masuk SMA dan Dina mau ke SMP kan mama juga mintanya kesana…” “Tapi kan setelah itu mama tidak pernah minta-minta kesana lagi…” jawab Oscar. “Iya sih…” jawab Gladys. “Ya sudah, kalau begitu kali ini minta saja kesana lagi,” tegas Oscar. “Kita lihat hasil penjualan bunga dulu ya…” “Ma, tes masuknya Dina itu tinggal tiga hari lagi. Apa bisa puluhan pot bunga ini habis terjual dalam dua hari?” “Ya akan mama coba…” Oscar menjadi kesal dengan sikap mamanya yang tidak mau meminta bantuan dari kakek dan neneknya. Ia lalu masuk ke kamarnya, mengunci pintu dan tidak keluar lagi sepanjang malam.     Keesokan paginya setelah Gladys berangkat ke kantor, Dina menempelkan karton yang ia buat sebagai pemberitahuan bahwa bunga-bunga tersebut dijual. Sekitar jam 09.00, Oscar keluar dari kamar dengan pakaian rapi. “Kak, mau kemana?” tanya Dina. “Mau pergi cari uang buat kamu masuk SMA,” jawabnya singkat. “Carinya kemana?” “Ya dimana saja yang bisa mendatangkan uang. Sudah ya, aku pergi.” Oscar memakai sneakers-nya yang sudah tampak kotor dan sedikit robek di bagian depan kemudian berlalu pergi. Dina tidak tahu kemana kakaknya itu akan pergi. Ia kembali duduk di ruang tamu sambil menatap keluar menunggu datangnya pembeli. Sudah berjam-jam Dina duduk di situ namun belum ada satupun yang mampir untuk membeli. Berjualan dalam kompleks perumahan anggota TNI memang agak sulit karena itu merupakan area terbatas yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang luar, sehingga calon pembeli yang menjadi target penjualan mereka pun pastilah hanya orang dalam kompleks perumahan itu saja. Dina mulai kehilangan semangatnya karena hingga sore hari masih belum ada pembeli. Ia melihat ke arah jam dan mendapati bahwa sebentar lagi ibunya akan pulang kantor. Ibunya pasti akan kecewa jika tahu belum ada yang terjual seharian ini, pikir Dina. Kemudian ia melihat ibunya pulang. Namun ia melihat bahwa ibunya tidak sendiri, melainkan datang bersama dengan beberapa teman kantornya. “Na, ini teman-teman mama mau datang beli bunga,” Dina menyambut mereka dengan mata berbinar dan senyum sumringah. “Selamat sore tante, silakan dilihat-lihat dulu…” “Eh aku buatkan teh dulu ya, nanti transaksinya sama Dina, ini jualannya dia kok…” kata Gladys kepada teman-temannya lantas masuk ke dalam rumah untuk membuatkan teh. Dina sudah menghafal harga dari kelima puluh dua tanaman bunga tersebut, sehingga saat akan bertransaksi dengan teman-teman ibunya ia tidak memerlukan daftar harga itu lagi. Teman Gladys yang datang berjumlah lima orang. Mereka masing-masing sibuk memilih bunga yang ada di halaman dan teras rumah. Salah seorang dari mereka kemudian memanggil Dina. “Na, tante mau yang ini ya…” sambil menunjuk ke pot bunga berukuran kecil yang ditanami bunga Mawar pink yang sudah mekar. “Kalau tante mau yang ini ya, Na…” kata seorang yang lain menunjuk ke pot berisi tanaman Sansevieria. Tak lama kemudian Gladys kembali dari dalam rumah dengan membawa nampan berisi lima cangkir teh. “Mari silakan diminum…” Gladys meletakkan nampan itu di atas meja kecil di teras. Gladys melihat bahwa ada tujuh pot bunga yang sudah dipisahkan oleh Dina dan diletakkan agak jauh dari bunga-bunga yang lain. Dina berlari masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa kantong-kantong plastik bekas belanjaan yang berukuran besar. Setengah jam kemudian setelah menghabiskan teh dan membayar bunga-bunga yang mereka beli, teman-teman Gladys itu pun berpamitan kepada Dina. Gladys mengantar mereka sampai ke gerbang kompleks perumahan. Dina menghitung uang yang dihasilkan dari penjualan bunga hari ini, dan ternyata hanya Rp. 225.000. Wajah Dina kembali menyiratkan kesedihan karena uang yang ia hasilkan masih jauh dari cukup untuk membayar biaya masuk SMA-nya. Ketika ibunya kembali dari mengantar teman-teman kantornya tadi, ia menyerahkan semua uang yang ia hasilkan ke tangan ibunya. “Hanya ini, Ma…” katanya dengan lirih. “Tidak apa-apa, masih ada hari esok kan?” jawab Gladys untuk menghibur Dina, padahal ia sendiri sebenarnya sama sedihnya dengan Dina. Ia bahkan cemas tidak akan mengumpulkan uang tepat waktu. “Oh ya, mana kakak?” “Lagi keluar, Ma. Dari pagi lho, kira-kira jam sembilanan gitu lah kakak berangkat.” Gladys melihat ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul 18.10 dan Oscar masih belum pulang. “Tadi perginya pakai pakaian olahraga?” “Pakaian resmi,” jawab Dina. Gladys semakin bingung karena Oscar tidak biasanya keluar sejak pagi dan belum kembali hingga malam hari, apalagi jika ia bukan pergi untuk berolahraga seperti yang biasa ia lakukan. Hingga Gladys dan Dina selesai makan malam, Oscar masih belum juga kembali. Hati Gladys mulai gelisah, karena malam semakin larut dan ia tidak tahu dimana anaknya itu berada. Hampir pukul 22.00 ketika Gladys mendengar suara ketukan pintu. Ia dan Dina buru-buru keluar dan mengintip dari jendela sebelum membuka pintu. Ternyata itu adalah Oscar yang sudah pulang. Mereka langsung membukakan pintu dan Oscar bergegas masuk. “Oscar, kamu dari mana sih jam begini baru pulang?” Oscar merogoh kantung celananya dan mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat banyak dalam pecahan seratus dan lima puluh ribu rupiah lalu meletakkannya di meja. “Oscar ini uang dari mana?” tanya Gladys dengan terkejut. “Ceritanya panjang, Ma…” jawabnya dengan malas. “Mama tidak peduli sepanjang apa, mama mau dengar sekarang juga!” “Jadi tadi pagi Oscar dari tempat kakek dan nenek…” “Sudah mama duga,” sela Gladys. “Kan sudah mama bilang mama malu untuk minta kesana lagi,” “Tapi kan kali ini bukan mama yang minta,” balas Oscar. Ia lalu melanjutkan, “Terus kata nenek, nenek tidak punya uang tunai, adanya perhiasan. Jadi Oscar sama nenek dan kakek tadi pergi ke pusat kota dulu untuk jual gelangnya nenek. Uangnya lumayan, ini setengah dari hasil penjualan gelang di kasih sama nenek katanya untuk Dina masuk SMA dan untuk tambahan biaya kalau Oscar nanti mau melengkapi berkas ujian masuk Polisi,” Oscar lalu menarik satu lembar uang lima puluh ribu dari tumpukan uang itu dan dimasukkan ke kantungnya lagi. “Buat Oscar ya, ongkos capek kesana kemari dari pagi…” Ia lalu masuk ke kamarnya untuk mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi. Gladys menghitung uang itu dengan disaksikan oleh Dina. Tumpukan uang itu berjumlah Rp. 4.950.000. “Berarti sebenarnya ada lima juta dong ya…”kata Dina. “Iya tidak apa-apa yang lima puluh ribu diambil kakak, anggap saja itu duit capeknya…” Setelah Oscar selesai mandi, Gladys mengajaknya untuk bicara berdua tanpa kehadiran Dina. “Oscar, kamu bilang apa sama kakek dan nenek?” “Ya Oscar cerita apa adanya Ma, gaji papa sudah diambil sama papa sepenuhnya, Dina jadi tidak punya uang untuk masuk SMA, mama mau jual semua bunga milik mama, ya Oscar cerita semuanya…” “Reaksi nenek dan kekek gimana?” “Ya kakek marah lah sama papa, cuma mau bagaimana lagi kan, papa sudah tidak pernah muncul juga katanya ke tempat mereka…” “Mereka pasti menduga mama yang menyuruh kamu kesana…” “Oscar sudah bilang kok, mama tidak tahu Oscar akan datang ke tempat mereka,” “Akhir pekan ini mama akan berkunjung kesana untuk berterima kasih kepada mereka.” “Tidak perlu, Ma.” “Lho kenapa?” “Oscar sudah bekerja seharian di sana tadi. Oscar sudah berbenah rumah, membersihkan halaman, sampai membersihkan kamar mandi juga…” “Di suruh nenek?” “Iya, pulang dari menjual gelang di pusat kota Oscar dimintai tolong untuk berbenah, katanya nenek sudah tidak kuat lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah, ya sudah Oscar kerjakan semua, makanya pulangnya sampai malam begini. Sebenarnya nenek meminta Oscar untuk menginap disana, tapi Oscar menolak karena tidak punya baju ganti.” Gladys menepuk pundak Oscar beberapa kali, “Terima kasih ya Nak…” “Tidak apa-apa, Ma. Ini kan untuk kita semua juga… Sekarang Oscar mau tidur dulu, capek…” Oscar beranjak dari kursi dan masuk ke kamarnya. Gladys kini merasa lega karena permasalahan biaya masuk SMA Dina sudah berhasil terselesaikan dan yang membuat Gladys semakin tidak percaya dengan situasi ini adalah Oscar yang biasanya cuek kini sangat peduli akan nasib kelanjutan pendidikan adiknya hingga ia mengambil inisiatif sendiri untuk mendatangi kakek neneknya dan meminta bantuan. Malam itu Gladys, Dina dan Oscar tertidur nyenyak. Masalah yang mereka anggap sangat besar dan hampir membuat mereka putus asa ternyata dapat berlalu semudah itu. Setengah tak percaya, namun keberuntungan masih berpihak kepada mereka bertiga setidaknya sampai hari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD