Bab 42
Bukan Saat Yang Tepat
Sekitar pukul lima pagi, Gladys menyelinap keluar dari ruang perawatan Dina setelah memastikan kalau Dina dan Oscar masih terlelap.
Gladys menuju ke UGD untuk mencari tahu tentang kondisi Herman.
“Permisi suster.” Gladys mendatangi seorang perawat yang terlihat sedang menulis sesuatu di buku berukuran besar.
“Iya bu, ada yang bisa dibantu?” Tanya perawat tersebut dengan ramah.
“Apa pasien atas nama Bapak Herman yang semalam diantarkan ke sini masih berada di UGD atau sudah dipindahkan?”
“Oh yang anggota TNI itu ya bu?”
“Benar.”
“Bapak Herman sudah dipindahkan ke ruang perawatan khusus pasien jantung. Bangsalnya ada di gedung ini di lantai tiga.” Perawat memberi penjelasan.
“Oh iya, terima kasih.”
“Maaf bu, kalau boleh tahu apa anda anggota keluarganya?”
“Ehm…” Gladys tergagap. “Saya temannya, saya kebetulan sedang berkonsultasi dengan dokter perihal anak saya yang sedang dirawat dan tidak sengaja melihat ada petugas yang mengantar bapak Herman ke sini.”
“Oh jadi begitu. Bapak Herman mengatakan kalau beliau tidak punya keluarga, sehingga kami sedikit kesulitan untuk melengkapi berkasnya.”
“Saya kenal orang tuanya, nanti saya yang membantu meneruskan berita ini kepada orang tuanya tentang kondisi kesehatan Herman.”
“Baik kalau begitu. Terima kasih ya, bu.”
Dengan tergesa-gesa Gladys meninggalkan UGD dan menuju ke bangsal perawatan yang dimaksud oleh perawat tadi.
Gladys menaiki anak tangga dengan setengah berlari untuk melihat keadaan Herman. Begitu tiba di sana, suasana tampak sepi. Perawat-perawat yang bertugas di bangsal itu tampak sedang tertidur dengan posisi kepala yang diletakkan di meja kerjanya masing-masing. Hari memang masih sangat pagi kala itu sehingga wajar saja bila mereka tertidur.
Gladys membuka pintu bangsal dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik. Ada sekitar sepuluh ranjang untuk pasien di bangsal itu namun hanya tiga yang berisi pasien dan satu diantaranya adalah Herman.
Gladys berjalan mendekat ke arah Herman. Pria itu tampak sedang tidur. Ada monitor yang menyala di samping tempat tidurnya dan beberapa kabel yang saling terhubung dengan monitor itu sedang terpasang di d**a Herman.
“Pria ini pasti masih sering minum makanya jantungnya kumat lagi.” Kata Gladys dalam hati.
Gladys berdiri di ujung ranjang sambil memandangi Herman.
“Sangat memprihatinkan…” ujar Gladys dalam hatinya lagi. “Semoga kamu segera sembuh.”
Gladys tidak berlama-lama lagi di tempat itu. Ia segera meninggalkan Herman dan kembali ke ruang perawatan Dina sebelum Herman terbangun. Ia tidak ingin Herman mengetahui kedatangannya.
Gladys berhasil kembali ke ruang perawatan Dina lagi tanpa ketahuan oleh anak-anaknya karena mereka berdua masih terlelap.
Gladys melihat ke arah jam dan mendapati kalau itu sudah hampir setengah enam pagi. Ia pun segera membangunkan Oscar.
“Os, ayo bangun nak…” kata Gladys dengan lembut sambil mengusap punggung Oscar.
“Os, kamu harus pulang untuk ganti baju, kan?”
Oscar masih tidak bergerak. Ia tampak tertidur dengan begitu pulasnya.
“Oscar, hari ini kamu kerja kan?”
Gladys terus berusaha untuk membangunkan Oscar.
“Oscar, nanti kamu terlambat lho!”
Oscar pun terbangun.
“Kamu harus segera kembali ke rumah untuk ganti baju, Os.” Ujar Gladys. “Kalau tidak, kamu bisa terlambat pergi bekerja.”
Oscar segera bangkit dari sofa tempatnya tidur semalaman dan pergi ke wastafel untuk membasuh wajahnya. Ia membasuh wajahnya dengan air beberapa kali setelah itu ia bercermin.
“Oscar pulang dulu ya, Ma.” Katanya berpamitan kepada sang ibu.
“Nanti pulang kerja ke sini lagi, kan?” Tanya Gladys.
“Iya dong Ma. Mama mau nitip dibawakan apa?”
“Tidak ada sih seingat mama tapi kalau nanti mama ingat sesuatu yang perlu dibawa ke sini mama akan telepon kamu.”
“Okay. Oscar pergi ya Ma.”
Oscar pun pergi meninggalkan rumah sakit.
Tidak berapa lama kemudian Dina terbangun. Ia melihat kakaknya sudah tidak ada.
“Kakak sudah pulang ya Ma?” Tanya Dina.
“Oh Dina sudah bangun rupa ya!” Seru Gladys. “Iya kakak sudah pulang tadi. Dia kan masih harus ganti seragam dulu di rumah sebelum pergi ke kantor.”
Dina mengangguk pelan.
“Nanti sarapannya setelah semua pemeriksaan darah selesai ya, Na.” Gladys mengingatkan Dina kembali.
“Iya Ma.” Jawab Dina.
Mereka menunggu perawat datang untuk menjemput Dina. Sambil menunggu, Dina menonton televisi. Saluran siaran televisi di rumah sakit hanya ada dua, sehingga Dina tidak memiliki banyak pilihan.
“Ma, di sini membosankan. Kapan Dina bisa pulang?” Tanya Dina.
“Na, penyakitmu bahkan belum diketahui jenisnya, kamu udah ngomong mau pulang aja!”
“Di sini Dina bosan Ma, tidak ada saluran TV yang asyik untuk ditonton.”
“Ya emang gitu Na, namanya juga rumah sakit kan, mereka tidak terlalu mengurusi hal-hal seperti itu. Fokus mereka hanya mengurusi kesehatan pasien saja.” Terang Gladys.
Dina akhirnya pasrah saja menonton dua saluran siaran televisi itu secara bergantian, ditambah lagi gambarnya yang juga tidak begitu jernih.
Dina dan ibunya menunggu hampir satu jam ketika seorang perawat perempuan tiba-tiba masuk ke ruang perawatan Dina sambil membawa sebuah kursi roda.
“Selamat pagi, saya mau jemput pasien untuk pergi ke tempat pemeriksaan laboratorium.” Sapa perawat tersebut.
“Selamat pagi suster.” Jawab Dina dan ibunya, kompak.
“Pasiennya nanti di kursi roda saja biar saya yang dorong. Laboratoriumnya ada di lantai dua bangunan ini ya.” Perawat memberi tahu dengan ramah.
Gladys membantu Dina untuk bangun dari posisi berbaringnya tadi.
“Jadi Dina pindah ke kursi roda itu?” Tanya Dina.
“Iya.” Jawab perawat tadi.
“Dina bisa sendiri kok, Ma.” Kata Dina ketika melihat ibunya hendak membantunya lagi.
“Ya sudah, hati-hati ya…” balas ibunya.
Dina pun berdiri, dengan sigap perawat mengambil kantung cairan infus yang tergantung di tiang dekat tempat tidur agar selang yang terpasang di tangan Dina tidak terlepas saat Dina bergerak.
Dina kemudian di dorong keluar dari kamar sementara Gladys yang membawakan kantung infus itu berjalan di samping Dina.
Mereka naik lift khusus pasien untuk menuju ke lantai dua. Tempat pengambilan sampel darah dan pemeriksaan laboratorium yang lainnya itu terlihat belum begitu ramai ketika Dina tiba di sana.
Perawat mengeluarkan sebuah map yang sebelumnya ia selipkan di kantung belakang sandaran kursi roda. Ia menyerahkan map itu di salah satu loket yang ada di sana kemudian kembali ke tempat di mana Dina dan ibunya menunggu.
“Bu, nanti tinggal menunggu panggilan saja ya, kalau sudah di panggil ibu dorong saja anaknya ke pintu yang bertuliskan nomor satu. Kemudian setelah itu menunggu lagi untuk pemeriksaan USG perut, tempatnya di pintu bertuliskan nomor enam. Kalau sudah selesai kedua pemeriksaan itu, ibu sudah bisa membawa anaknya kembali ke kamar lagi. Suster tidak bisa ikut menunggu di sini karena suster mau jemput pasien yang lain, tidak apa-apa kan bu?”
“Tidak apa-apa suster. Terima kasih ya!” Balas Gladys.
Perawat mengangguk sambil tersenyum kemudian perawat itu pun pergi.
Ketika mereka sedang menunggu, pasien-pasien lain mulai berdatangan dengan di antar oleh para perawat.
Dina begitu terkejut ketika melihat sosok pria yang sangat familiar baginya juga didorong dengan kursi roda oleh perawat untuk masuk ke ruang tunggu tersebut.
“Ma, itu papa!” Seru Dina.
Mata Herman dan Dina pun bertemu.
Herman segera meminta perawat untuk membawanya lebih dekat ke arah Dina dan ibunya.
Sementara perawat mengantarkan berkas milik Herman ke loket, pria itu mulai mencoba untuk berbicara kepada Dina dan ibunya.
“Dina sakit ya?” Tanyanya dengan canggung.
Dina mengangguk.
“Sakit apa?”
“Dia sakit perut dan demam.” Gladys segera mengambil alih pembicaraan.
Dina sebenarnya merasa prihatin melihat kondisi ayahnya itu. Dina hanya tidak menunjukkan itu di wajahnya.
Melihat Dina yang tidak merespon banyak perkataannya, Herman pun memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Ia menunggu namanya dipanggil sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain.
Yang Dina rasakan sebenarnya adalah kesedihan karena bertemu dengan ayahnya yang juga sedang dalam keadaan sakit namun Dina berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya itu.
Setelah kira-kira lima belas menit menunggu, nama Dina lantas dipanggil untuk masuk melalui pintu nomor satu. Gladys segera mendorong Dina ke sana. Di dalam sana, darah Dina diambil dan dimasukkan ke dalam tiga buah tabung kecil yang berbeda.
Setelah itu mereka diperbolehkan untuk keluar dari ruangan itu dan menunggu panggilan untuk pemeriksaan selanjutnya. Hanya selang waktu sekitar lima menit, nama Dina sudah dipanggil kembali untuk pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Pemeriksan USG berlangsung lebih lama dibandingkan pemeriksaan darah.
Begitu semua pemeriksaan selesai, Gladys bersiap untuk mendorong Dina kembali ke kamar. Saat mereka keluar dari ruangan tempat melakukan pemeriksaan USG, Herman masih berada di tempatnya yang tadi.
Gladys dan Dina lewat di depan Herman namun mereka sama-sama tidak saling bertegur sapa lagi. Herman sedikit menyunggingkan senyum di wajahnya, namun Dina dan ibunya hanya menunjukkan ekspresi datar di wajah mereka.