Pada Saat Yang Sama

1447 Words
Suatu pagi di bulan April 2009, Dina tiba-tiba terserang demam dan sakit perut. Ia tidak bisa berangkat ke kampus dan mengabarkan keadaannya melalui telepon kepada Helen. Oscar harus berangkat kerja, demikian juga dengan Gladys. Dina meyakinkan ibunya bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri sehingga ibu dan kakaknya itu dapat tetap pergi bekerja. Gladys memasakkan bubur ayam dan beberapa telur rebus untuk menu makanan Dina sampai ia pulang dari kantor nanti. Ia juga meninggalkan beberapa paracetamol untuk diminum oleh Dina jika merasa demam lagi. Gladys dan Oscar pun berangkat ke kantornya masing-masing meninggalkan Dina yang sedang berbaring di ranjang. Dina telah menghabiskan sarapannya dan meminum obat penurun panas yang diberikan ibunya dan sekarang ia hendak beristirahat. Ketika Dina sudah hampir tertidur, ia tiba-tiba terjaga kembali karena serangan sakit perut yang sangat hebat. Ia bahkan sampai menangis kesakitan. Sekujur tubuhnya mulai dibasahi oleh keringat dingin. Tangannya sampai gemetar karena menahan sakit. Dina menelepon ibunya untuk memberitahu keadaannya, namun ibunya tidak menjawab teleponnya itu. Dina mengirim pesan dan berharap ibunya menerima pesan itu secepatnya. Ia juga mengirim pesan yang sama kepada kakaknya, Oscar. Dina telah menunggu cukup lama namun tidak ada yang merespon pesan darinya. Ia pun mengirimkan pesan itu kepada Helen. Tidak disangka justru Helen-lah yang membalas pesan itu dengan cepat. “Dina, tahan sedikit ya. Aku dan Kevin akan segera ke sana.” Demikian tulis Helen dalam pesannya kepada Dina. Dina berbaring di ranjang sambil menangis kesakitan. Ia terus berharap seseorang segera datang untuk menolongnya karena ia nyaris tidak sanggup lagi menahan kesakitannya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Helen dan Kevin tiba di rumah Dina. Kevin mengemudi secepat yang ia bisa karena jarak kampus dan rumah Dina memang cukup jauh, berkisar dua puluhan kilometer. Helen mengetuk pintu rumah Dina. Dengan tubuh yang begitu lemah, Dina bangun dari ranjang untuk membukakan pintu bagi Helen dan Kevin. Wajahnya sangat pucat dan terlihat jelas bahwa ia memang sedang sakit. “Dina…” seru Helen yang terkejut melihat keadaan Dina. Helen dan Kevin segera memapah Dina dan mendudukkannya di sofa ruang tamu. “Antarkan aku ke rumah sakit, aku tidak tahan lagi.” Ujar Dina dengan suara yang terdengar begitu lemah. “Mobilku diparkir di luar gerbang, aku bawa kemari dulu ya?” Kata Kevin. Dina mengangguk dengan lemah. Kevin pun berlari meninggalkan rumah itu secepat mungkin. Helen menyiapkan baju-baju Dina untuk dibawa ke rumah sakit, untuk berjaga-jaga kalau Dina diharuskan untuk menginap di sana malam ini. Ketika Helen telah selesai menyiapkan baju yang akan dibawa ke rumah sakit, Kevin juga telah selesai memarkirkan mobilnya di depan rumah. Helen memasukkan tas besar berisi pakaian milik Dina ke bagasi mobil Kevin, lalu mereka berdua memapah Dina untuk masuk ke mobil. Setelah mengunci pintu rumah, Helen pun bergegas naik ke mobil. Mereka melarikan Dina ke rumah sakit terdekat. Ketika tiba di rumah sakit, Dina segera ditangani di Unit Gawat Darurat (UGD). Helen menemani Dina di dalam bilik pemeriksaan, sementara Kevin diminta untuk terus berusaha menghubungi ibu maupun kakak Dina melalui telepon. Dokter mengatakan kepada Helen bahwa Dina membutuhkan beberapa pemeriksaan darah namun mereka membutuhkan kehadiran orang tua Dina untuk melengkapi beberapa administrasi rumah sakit. Kevin tiba-tiba muncul dan memberitahu bahwa ia sudah berhasil menghubungi ibu Dina dan ia sudah dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Sementara untuk meredakan sakit perut yang begitu hebat yang diderita oleh Dina, dokter terpaksa memberi obat penghilang rasa sakit dosis besar yang disuntikkan melalui selang infusnya. Obat itu memberi efek mengantuk dengan cepat kepada Dina dan ketika ibunya tiba ia sudah tertidur. “Helen, bagaimana keadaan Dina?” Tanya Gladys begitu ia tiba di rumay sakit. “Dia sangat kesakitan tadi tapi dokter sudah memberinya obat penghilang rasa sakit, sekarang dia tertidur di dalam.” Jawab Helen. Gladys kemudian meninggalkan Helen untuk menemui dokter yang menangani Dina. Helen dan Kevin hanya bisa melihat dari kejauhan karena merasa tidak enak hati apabila mendekat untuk mendengarkan pembicaraan antara Gladys dan dokter. “Hari ini akhirnya kita membolos…” kata Kevin kepada Helen. “Ini kan yang kamu inginkan?” Balas Helen. “Eh apa maksudmu?” Kevin balik bertanya. “Tadi pagi siapa yang marah-marah sendiri dan mengatakan hari ini sedang tidak mood untuk masuk kelas? Nah sekarang lihat, Tuhan menjawab permintaanmu!” “Iya, tapi bukan dengan cara seperti ini dong…” Kevin mengelak. “Aku ingin kelas dibatalkan, bukan kita yang tiba-tiba lari meninggalkan kelas.” “Oh jadi maksudmu kamu ingin dapat waktu luang tapi tidak absen, begitu?” Tanya Helen untuk memperjelas. “Begitulah…” jawab Kevin sambil tersenyum. Mereka berdua duduk mengobrol di ruang tunggu UGD rumah sakit tersebut. “Aku penasaran, sebenarnya Dina itu sakit apa sih?” Ujar Kevin. “Aku tidak tahu. Dina selalu terlihat sehat-sehat saja selama ini.” “Kamu itu kalau jadi teman harus peka dikit dong!” “Wow… Wow… Tunggu dulu, maksudnya apa nih?” “Iyalah, temanmu sakit dan kamu tidak tahu ia sakit apa, itu karena kamu tidak peka!” “Kev, kenapa jadi aku yang salah sih?” Protes Helen. Kevin kemudian tertawa, “Aku hanya bercanda, Helen….” Helen menatap tajam ke arah Kevin. “Aku hanya bercanda, jangan menatapku seperti itu.” “Aku tidak suka candaanmu yang tadi!” Kata Helen dengan tegas. Gladys tiba-tiba datang dan duduk bersama mereka. “Len, terima kasih ya kamu sudah membantu Dina!” Kata Gladys. “Iya tante, aku dan Kevin segera meninggalkan kampus ketika Dina mengatakan dia sangat kesakitan dan tidak tahan lagi.” “Oh jadi ini yang namanya Kevin ya?” Tanya Gladys sambil menunjuk ke arah Kevin. “Iya tante.” Jawab Kevin dengan ramah. “Yang waktu itu pernah ada cerita tersendiri dengan Dina kan?” Tanya Gladys kepada Helen. Helen tertawa cekikikan, “ Iya tante…” Kevin tersipu malu kemudian menundukkan kepalanya. “Syukurlah kalau sekarang kalian berteman,” Ucap Gladys kepada Kevin. “karena sepertinya itu yang terbaik untuk kalian dibandingkan dengan apabila kalian berpacaran.” Helen mengangguk, “Benar tante, Kevin bukan tipikal laki-laki yang bisa dijadikan pacar soalnya dia orang yang sangat menyebalkan!” Ledek Helen kepada Kevin. “Iya Len, teruskan saja mengolok-olokku!” Balas Kevin. Helen dan Gladys pun sontak tertawa. “Lalu bagaimana keadaan Dina, tante?” Tanya Kevin. “Besok Dina diminta untuk melakukan pemeriksaan darah dan USG perut. Malam ini dia diwajibkan untuk berpuasa dulu dan menginap di rumah sakit agar dapat tetap dipasangi infus saat dia tengah berpuasa untuk menghindari kekurangan cairan.” “Pakaian Dina sudah Helen bawa kok tante, tapi masih di mobilnya Kevin.” “Begitu ya?” Tanya Gladys. “Aku ambilkan dulu ya!” Ujar Kevin kemudian pergi dari situ untuk mengambil barang milik Dina yang masih disimpan di mobilnya. Helen dan Kevin terus menemani Dina di rumah sakit sampai hari beranjak sore. Setelah itu mereka berdua berpamitan dan pulang. Malam harinya, Dina sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Tiba-tiba Gladys harus kembali ke UGD karena ada beberapa hal yang hendak ia tanyakan kepada dokter yang bertugas perihal pemeriksaan darah yang akan Dina jalani besok. Saat Gladys tengah mengobrol dengan dokter, tiba-tiba seorang pasien didorong masuk dengan brankar oleh petugas ambulance dalam keadaan setengah sadar. Sepintas lalu Gladys dapat melihat wajah pasien yang baru datang itu dan dengan cepat mengenalinya. Itu adalah Herman. Gladys begitu terkejut ketika melihat Herman juga berada di rumah sakit itu dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Dokter yang tadi mengobrol bersama Gladys terpaksa harus meninggalkan Gladys untuk menangani pasien yang baru datang itu. “Pasien yang ini kenapa ya?” Tanya dokter tersebut kepada petugas ambulance. “Serangan jantung, dok.” Jawab mereka. Gladys sudah bisa menebak kalau Herman pasti terkena serangan jantung karena ini bukan kali pertamanya. Gladys tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Dengan terburu-buru ia meninggalkan UGD dan kembali ke ruang perawatan Dina. Begitu ia tiba di sana, ternyata sudah ada Oscar yang menemani Dina. “Aku bawakan pakaian bersih yang mama pesan dan makanan untuk mama.” Kata Oscar begitu melihat ibunya datang. “Terima kasih ya, nak.” “Dan kamu bayi gendut,” kata Oscar sambil mencubit hidung Dina. “aku tidak membawakanmu makanan karena aku tahu kamu sedang berpuasa.” Dina hanya mengangguk dengan pelan. “Ayo dong semangat, masa kalah sama penyakit sih?” Ujar Oscar memberi Dina semangat. “Dia diberi obat penghilang rasa sakit dosis besar Os, makanya dia seperti orang yang setengah sadar.” Terang Gladys. Malam itu Oscar ikut menginap di rumah sakit untuk menemani ibu dan adiknya. Sementara Gladys, ia tidak menceritakan kepada Dina maupun Oscar tentang pemandangan yang ia lihat di UGD tadi. Ia berharap kedua anaknya tetap tidak mengetahuinya. Gladys berencana untuk mencari tahu tentang keadaan Herman besok. Sedikit banyak, Gladys masih peduli dengan keadaan suaminya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD