Kerinduan

1149 Words
Oscar mempersilakan Karen duduk sementara dirinya duduk di sofa yang berbeda. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Karen tidak bisa tersenyum ketika memandang Oscar. Ia tidak bisa membendung kebahagiaannya karena bisa melihat pria itu lagi. “Rumahmu belum berubah sama sekali…” ujar Karen sambil melihat sekelilingnya. “Ini hanya rumah dinas, kami tidak diperbolehkan merubah apapun.” Terang Oscar. “Maksudku tata letak barangnya.” Karen memperjelas. “Ya begitulah.” balas Oscar. “Oh ya, kapan kamu datang?” tanya Oscar dengan penasaran. “Aku datang hari Jumat. Kemarin aku bertemu Dina di mall.” “Oh ya? Dina tidak menceritakannya kepadaku!” “Aku memang mengatur kejutan ini bersama Dina.” Kata Karen kemudian tertawa. Dina dan Gladys, ibunya, menguping pembicaraan Oscar dan Karen dari dalam kamar. “Jadi ternyata kamu bagian dari rencana ini ya?” bisik Gladys kepada Dina. Dina tertawa cekikikan, “Itu tidak benar-benar direncanakan, Ma. Dina dan Kak Karen tidak sengaja bertemu di mall kemarin dan Kak Karen bertanya tentang kabar kakak, Dina menjawab apa adanya saja. Tiba-tiba Kak Karen mencetuskan ide ini dan Dina pun menyetujuinya.” Papar Dina kepada ibunya. “Mama sih pesimis dengan hubungan mereka!” Ucapan Gladys membuat Dina terkejut, “Kenapa begitu, Ma?” “Kamu masih ingat kan dulu kakak pernah cerita tentang bagaimana sikap orang tua Karen kepadanya?” Dina mengangguk. “Jika mereka tidak menyukai kakakmu pada saat itu maka mama yakin mereka juga masih seperti itu hingga hari ini…” Ujar Gladys. “Dan untuk seterusnya.” Lanjut Gladys. Dina memonyongkan bibirnya. “Sayang sekali.” Katanya. “Ya mau gimana lagi, Na. Kita memang bukan orang yang sederajat dengan mereka.” Dina mengangguk sedih.   Sementara itu di ruang tamu Oscar dan Karen masih asyik mengobrol. “Kuliahmu bagaimana?” tanya Oscar. “Sekarang sudah tahun ketigaku.” “Laki-laki yang dijodohkan denganmu, bagaimana rupanya?” “Jangan menanyakan hal itu dulu. Aku masih ingin menikmati perasaan bahagiaku ini dulu karena bertemu denganmu lagi...” “Jangan berselingkuh darinya!” potong Oscar. “Aku tidak sedang berselingkuh kan?” balas Karen. “Menemui mantan kekasih itu adalah sebuah perselingkuhan menurutku.” Jawab Oscar, tegas. “Kamu berbicara seperti seorang polisi!” “Maksudnya?” tanya Oscar, kebingungan. “Sangat tegas.” Jawab Karen kemudian tertawa. “Kamu tidak ingin membahas tentang tunanganmu itu?” “Dia bukan tunanganku!” bantah Karen dengan keras. “Kamu sudah menjalani itu bertahun-tahun dengannya, bagaimana mungkin itu bukan tunangan. Itu tunangan namanya.”   “Os, bagaimana kalau kita keluar saja? Aku ingin jalan-jalan denganmu.” “Orang-orang akan melaporkannya kepada mamamu dan kamu akan berada dalam masalah.” “Jadi kita akan di rumah saja dan mengobrol?” tanya Karen. “Kalau di rumah saja tidak ada yang akan mengadukan kedatanganmu ini kepada mamamu.” Jawab Oscar kemudian tertawa. “Aku akan mencoba menanyakan kepada mamaku apa dia ingin menantu seorang polisi.” Goda Karen. “Dia pasti tidak akan mau.” Jawab Oscar dengan pesimis. “Kamu tahu dari mana?” “Sebagaimana ia tidak menginginkanku empat tahun yang lalu, aku yakin ia masih akan bersikap sama. Aku hanya seorang polisi berpangkat rendah dari keluarga abdi negara yang tidak punya apa-apa. Apa yang bisa aku berikan untuk anak tunggal mereka?” “Jadi kita tidak bisa kembali bersama?” tanya Karen dengan sedih. Oscar mengangguk. Wajah Karen tampak sedih namun ia berusaha menutupi itu dengan senyum terbaiknya. Oscar dapat melihat ada air mata yang ia tahan, ada kesedihan yang tidak dapat ia jelaskan, namun Oscar sendiri tidak dapat membantu banyak. Ia cukup tahu diri dengan keadaannya dan tidak akan memaksakan gadis itu untuk menentang orang tuanya. “Seperti yang aku katakan empat tahun yang lalu, jangan menentang orang tuamu. Aku masih akan tetap mengatakan hal yang sama hari ini. Percayalah, hidupmu akan bahagia jika kamu menuruti orang tuamu!” Karen tertunduk lesu. Ia berharap Oscar dapat kembali ke pelukannya kali ini, sayang sekali ia salah. “Kawin lari, mau tidak?” tiba-tiba ide gila itu muncul di benak Karen dan meluncur begitu saja dari mulutnya. “Kalau orang tuamu melaporkan tindakan itu ke pimpinanku maka karirku akan langsung berakhir saat itu juga. Apa kamu mau hal itu terjadi? Aku mengejar karir ini dengan susah payah, aku mengikuti tes masuk setiap tahun, aku tidak mungkin melepaskannya begitu saja!” “Lalu kamu akan melepaskanku begitu saja?” tanya Karen dengan air mata yang tak terbendung. “Selama aku tahu kamu bersama orang yang tepat maka aku tidak akan khawatir. Kamu pasti akan baik-baik saja.” “Aku tidak akan pernah bersama orang yang tepat, karena orang yang tepat bagiku hanya kamu, Os!” Oscar tersenyum namun menggelengkan kepalanya. “Karen, berhentilah bersikap seperti ini.” Bujuknya. “Atau kamu sudah bersama orang lain?” tanya Karen. Oscar terdiam sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Iya.” Karen terkejut dengan ucapan Oscar itu. “Pantas kamu sudah tidak mau bersamaku. Kamu sudah bersama orang lain ternyata.” “Iya, maafkan aku ya Ren.” Katanya.   Sesungguhnya Oscar berbohong kepada Karen. Ia tidak sedang menjalani hubungan dengan siapapun. Ia bahkan tidak pernah bersama wanita lain mana pun setelah perpisahannya dengan Karen. Ia belum melupakan Karen namun ia konsisten dengan perkataannya kepada Karen agar tidak menentang orang tuanya. Dari dalam kamar, Dina dan Gladys masih tetap menguping pembicaraan itu. “Benarkah kakak sudah punya pacar lagi?” tanya Dina kepada Gladys. “Mama rasa tidak.” Jawab Gladys. “Lalu kenapa kakak berkata seperti itu?” tanya Dina, tidak mengerti. “Ia memilih cara itu agar Karen mau menuruti orang tuanya. Ia tahu ia tidak mungkin mengusir Karen karena gadis itu begitu gigih dan ia pasti akan kembali lagi. Jadi cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mematahkan hati gadis itu agar ia dapat membuat keputusan dengan benar.” Dina mengangguk pelan setelah ia memahami maksud dari tindakan kakaknya.   Sementara itu di ruang tamu Karen sedang menangis tersedu-sedu. “Kenapa kamu tidak bersabar dan menungguku?” tanyanya dengan berurai air mata. “Empat tahun itu lama, Ren. Aku akhirnya jatuh cinta kepada orang lain.” Jawab Oscar dengan sangat meyakinkan untuk melengkapi dustanya. “Wanita seperti apa dia?” “Dia mirip sepertimu, berkulit putih, bermata sipit, gadis keturunan Tiong Hoa.” “Kamu mencintainya?” “Tentu saja!” jawab Oscar dengan meyakinkan. “Aku tidak bisa mempercayai ini.” “Karen, jangan bersikap seperti ini!” bujuk Oscar. “Kalau begitu aku memintamu untuk berselingkuh darinya. Aku hanya tiga hari di sini, jadilah pacarku setidaknya selama aku di sini. Mau ya?” “Aku tidak mau kamu akan terbawa perasaan nantinya dan memintaku untuk melanjutkan hubungan setelah tiga hari itu berakhir.” “Aku tidak akan begitu! Aku akan memegang janjiku.” Oscar mengangguk. “Benarkah?” tanya Karen lagi. Oscar mengangguk sekali lagi. Karen yang sangat bahagia pun segera berlari dan memeluk Oscar yang sedang duduk.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD