Hari yang tragis itu sudah berlalu kira-kira satu bulan yang lalu. Dina tidak pernah membicarakan tentang Gilbert lagi setelah kejadian itu. Dina masih sering melihat Gilbert di kampus namun mereka tidak saling bertegur sapa lagi. Gilbert memperlakukan Dina seperti tidak pernah mengenalnya dan begitu juga Dina memperlakukan Gilbert. Benar-benar seperti dua orang asing.
Persahabatan antara Dina dan Kevin pun mulai terjalin. Dina dan Helen menjadi sering menumpang mobil Kevin untuk pulang. Kevin dengan senang hati mengantar pulang mereka berdua. Helen memberi Dina saran untuk mencoba membuka hatinya kembali untuk Kevin namun Dina mengatakan bahwa Kevin lebih baik menjadi temannya saja, menjalin hubungan cinta mungkin hanya akan membuatnya kecewa lagi.
“Aku sudah kapok untuk jatuh cinta lagi!” Demikian pengakuan Dina kepada Helen.
“Suatu hari nanti kamu pasti bertemu dengan orang yang tepat.” Balas Helen.
“Hey aku ada di sini, tidak adakah yang ingin meminangku?” imbuh Kevin.
Dina dan Helen sontak tertawa mendengar perkataan Kevin itu.
Hari itu adalah hari Sabtu dan mereka bertiga memutuskan untuk keluar jalan-jalan bersama. Helen adalah pencetus idenya dan Kevin menyambutnya dengan senang hati. Sangat aneh memang ketika hubungan mereka dengan Kevin yang semula buruk kini berubah drastis hanya karena kesigapan Kevin membongkar rahasia Gilbert.
Helen mengatakan kepada Kevin bahwa itu seperti kesempatan hidup yang kedua kali dan ia tidak boleh menyia-nyiakannya.
Mereka bertiga berjalan di mall siang itu dan sedang mencari tempat makan untuk disinggahi. Dina sudah berteriak kelaparan sejak tadi, sementara Helen dan Kevin tidak henti-hentinya menertawakan tingkah Dina itu.
Ketika lantas lewat di depan sebuah restoran makanan Korea, Dina tidak sengaja melihat wajah yang familiar di sana. Wanita muda yang cantik dengan kulit putih dan mata sipit yang sedang duduk makan seorang diri. Dina menatap wanita itu berkali-kali dan merasa benar-benar familiar dengan wajahnya namun Dina tidak ingat pernah mengenalnya di mana.
“Makanan Korea mau nggak?” tanya Kevin.
“Aku sih belum pernah mencobanya.” Jawab Helen.
“Aku juga.” Dina menambahkan.
“Ya sudah, aku juga sebenarnya belum pernah.” Kata Kevin kemudian tertawa.
Mereka bertiga kemudian memasuki restoran makanan Korea itu. Mereka duduk berseberangan beberapa meja dari wanita muda yang tadi dirasa familiar oleh Dina itu.
Dina terus mencuri-curi pandang kepadanya sampai akhirnya wanita itu pun menyadari keberadaan Dina. Ia melemparkan senyum kepada Dina.
Ia tiba-tiba berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Dina.
“Dina?”
Dina hanya mengangguk dengan kebingungan.
“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini!” katanya dengan ramah.
Dina masih menatapnya dengan kebingungan.
“Kamu tidak ingat aku?” tanyanya.
Dina tersenyum canggung sambil menggelengkan kepala.
“Aku Karen.” Katanya.
Dina dengan cepat bisa mengingatnya kembali. Wanita itu adalah Karen, mantan kekasih Oscar.
Karen kemudian duduk di samping Dina.
“Aku duduk di sini ya?” izinnya kepada Helen dan Kevin.
Mereka berdua mengangguk sambil tersenyum.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya kepada Dina.
“Aku baik. Kak Karen bagaimana kabarnya?”
“Aku baik juga. Aku baru tiba kemarin dari Jakarta.”
“Selama berkuliah Kak Karen tidak pernah pulang ke mari?”
“Iya,” jawabnya sambil mengangguk. “Mamaku tidak mengizinkanku untuk pulang sebelum kuliahku selesai. Ini sudah tahun ketigaku berkuliah di Jakarta dan aku sangat merindukan kota ini jadi aku nekat untuk pulang dengan meminta dukungan dari papaku.” Katanya kemudian tertawa.
Dina mengangguk, ia memahami situasi Karen yang hidupnya benar-benar dikendalikan oleh ibunya.
“Oscar bagaimana kabarnya?” tanyanya.
“Kakak baik, sekarang dia bertugas di Polsek yang di dekat rumah kami.”
“Aku ingin menemuinya. Apakah dia akan menerimaku?” tanya Karen dengan wajah sedih.
“Datang saja besok ke rumah kami, Kak. Kakakku ada di rumah kok hari Minggu.” Undang Dina.
“Bagaimana jika dia mengusirku?”
“Itu tidak akan terjadi.” Dina memastikan. “Ada mama di rumah, kakak tidak mungkin bersikap buruk selama dalam pengawasan mama.”
Karen tersenyum mendengar perkataan Dina. Ia terlihat senang karena merasa seperti mendapat harapan baru.
“Aku akan datang setelah makan siang. Nanti jangan katakan kepada Oscar ya soal kedatanganku. Aku mau mengejutkannya!”
Dina tersenyum dan mengangguk dengan antusias.
“Berikan nomor teleponmu, aku akan menghubungimu besok jika aku sudah mau berangkat ke tempat kalian.”
Dina kemudian memberikan nomor ponselnya kepada Karen.
Karen lantas pamit dan kembali ke mejanya untuk menyelesaikan minumannya yang masih tersisa. Ia lalu membayar di kasir dan pergi meninggalkan restoran itu.
“Yang tadi siapa, cantik banget?” tanya Kevin.
“Itu mantan pacar kakakku.”
“Dia tidak malu datang mencari kakakmu duluan?” tanya Kevin lagi.
“Dia bahkan yang menyatakan cinta kepada kakakku lebih dulu empat tahun lalu.”
“Wow… benar-benar wanita pemberani!” puji Kevin.
“Dia sedang mengambil kuliah kedokteran di Jakarta. Itulah alasannya putus dari kakakku. Selain itu juga karena tekanan orang tuanya yang menganggap kalau kami tidak sederajat dengan mereka.” Terang Dina.
“Pasti anak orang kaya, ya?” tanya Helen.
“Memangnya dia terlihat bagaimana?” Dina balik bertanya kemudian tertawa.
Mereka kemudian memesan makanan yang belum pernah mereka coba sebelumnya. Wajah Helen berubah cemberut ketika ia mendapati makanan itu tidak sesuai harapannya tepat pada suapan pertama. Sementara Dina tampak makan dengan lahap. Sedangkan Kevin kelihatan sulit untuk menelan makanannya.
“Di antara kita bertiga hanya Dina yang terlihat menikmati makanannya, ya?” kata Kevin.
“Aku menikmatinya bukan karena ini enak, tetapi hanya karena aku lapar saja!” jawab Dina dengan polos.
Perkataan Dina itu memicu gelak tawa dari Kevin dan Helen.
“Ayo makan saja, tidak baik menyia-nyiakan makanan. Selain itu makanan ini juga dibeli dengan uang jajan kita, kan?” ujar Dina kemudian.
“Lain kali jangan biarkan Kevin memberi kita masukan tentang di mana kita harus makan!” ucap Helen lalu menelan makanannya dengan wajah terpaksa.
“Aku terus yang dipersalahkan!” rengek Kevin.
“Ya mau gimana lagi, kamu kan satu-satunya laki-laki di sini. Bukankah perempuan itu selalu benar?” balas Helen.
Kevin mengangguk sambil mengepalkan kedua tanganny berlagak seolah ia sedang marah namun beberapa saat kemudian ia tertawa.
“Oh ya Len, gimana kelanjutan kasusmu dengan Garry?” tanya Dina mengubah topik pembicaraan.
“Belum ada kelanjutan apa-apa.” Jawab Helen dengan lesu.
“Tapi aku sudah jarang melihatnya di kampus, bahkan sudah tidak pernah mungkin.”
“Sepertinya dia sudah pindah.” Kevin ikut menambahkan.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Helen.
“Aku sempat mengikuti kasusmu itu karena sangat ramai dibicarakan di seantero kampus, kan? Setelah itu aku tidak sengaja melihat Garry ada di kantor fakultas, sepertinya sedang mengantri untuk bertemu dengan ketua jurusan. Hanya kali itu saja aku melihatnya, setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi.”
“Jadi kemungkinan dia sudah pindah ya?” tanya Helen.
“Kenapa? Kamu merindukannya lagi?” tanya Dina dengan galak, layaknya seorang ibu yang mau memarahi anaknya yang masih kecil.
“Tidak kok.” Sangkal Helen.
“Kalau begitu jangan tanya-tanya tentang dia lagi, urusan kalian sudah selesai. Aku akan sangat marah jika kamu kembali bersamanya!” tutur Dina dengan tegas.
“Wow… Kamu orang tuanya?” tanya Kevin kepada Dina.
“Aku saksi hidup bagaimana baj*ng*n itu menghancurkan hidup Helen.” Jawab Dina.
“Baiklah, aku bisa memahami kedekatan emosional kalian.”
Dina dan Helen kompak untuk tidak membalas perkataan Kevin lagi agar pembicaraan tentang Garry dapat segera diakhiri.
Setelah menyelesaikan makanan yang mereka makan dengan sangat terpaksa itu, mereka bertiga pun meninggalkan restoran.
“Menonton mau tidak?” Tanya Kevin.
“Nggak ah…” Jawab Dina spontan.
“Masih trauma ya?” Ledek Kevin.
Di bioskop mall itulah tempat Dina dan Gilbert menonton pada waktu itu.
“Aku bisa memahami jika kamu belum mau ke situ lagi.” Ujar Kevin kemudian. “Jadi kita mau ke mana sekarang?”
“Menyanyi saja!” Seru Dina tiba-tiba dengan penuh semangat.
“Memangnya kamu bisa bernyanyi, Din?” Tanya Helen.
Dina menggelengkan kepala dan tersenyum sambil memutar-mutar bola matanya dengan konyol.
“Aku juga tidak bisa sih.” Bisik Helen.
“Apalagi aku, bernapas saja fales gimana mau menyanyi coba?”
“Ya sudah, ayo…” kata Dina sambil menarik tangan Helen dan Kevin menuju ke tempat karaoke.
“Sama-sama nggak bisa nyanyi, kok malah ayo sih?” Protes Kevin namun tetap mengikuti tarikan tangan Dina tanpa perlawanan.
“Untuk membuktikan suara siapa yang paling jelek di antara kita bertiga!” Jawab Dina tanpa menoleh ke arah Kevin.
Mereka memasuki tempat karaoke yang tampak masih sunyi itu. Tidak banyak memang orang yang pergi ke tempat karaoke di sore hari meskipun itu hari Sabtu. Orang cenderung pergi ke tempat karaoke di malam hari hingga lewat tengah malam.
Mereka memesan sebuah ruangan yang tidak begitu besar dan sedikit camilan. Mereka bertiga kemudian berjalan menuju ke ruangan itu sambil tertawa cekikan karena tidak sabar untuk mengetahui suara siapa yang paling tidak enak didengar.
Ketika mereka memasuki ruangan itu, semua peralatannya sudah siap digunakan.
“Dina, ayo kamu duluan! Ini adalah ide kamu kan?” Todong Helen.
“Beres… Beres… Aku susun playlist-nya dulu, okay?”
Dina, Helen dan Kevin mulai menyusun daftar lagu yang akan mereka nyanyikan secara bergantian. Ketika Dina memulai lagu pertamanya, tawa Helen dan Kevin pun pecah tak terkendali. Dina menyanyikan sebuah lagu Korea dengan tempo cepat yang ia sendiri tidak memahami artinya dan kesulitan untuk mengikuti iramanya.
“Dia benar-benar tidak bisa bernyanyi ternyata…” Bisik Kevin di telinga Helen.
“Benar.” Jawab Helen sambil tertawa. “Tapi kamu belum mendengar nyanyianku, aku juga tidak kalah parahnya lho!”
“Benarkah? Kamu membuatku penasaran!”
“Siapkan telingamu!” Helen memberi peringatan.
Ketika lagu Dina berakhir, tiba giliran bagi Helen untuk membawakan lagunya. Ia memilih lagu dari Krisdayanti yang berjudul I’m sorry Goodbye.
Ketika Helen bernyanyi, Dina dan Kevin terdiam. Suara Helen tidak begitu bagus, namun ia bisa menempatkan nada-nadanya dengan tepat. Yang membuat mereka terdiam adalah pilihan lagu Helen yang begitu pas dengan situasi yang dialami oleh Helen dan juga Dina.
Saat Helen selesai bernyanyi, ia mengambil segelas lemon tea yang ada di meja dan segera meminumnya hingga habis dalam satu tarikan napas.
“Lagumu luar biasa!” Puji Dina.
“Luar biasa apanya?” Tanya Helen dengan bingung.
“Luar biasa menyayat hatiku…”
Helen kemudian tertawa. “Itu juga untuk diriku sendiri kok. Kamu tidak terluka sendirian.” Demikian kata Helen kemudian ia tertawa lagi.
Mereka bertiga kemudian tertawa bersama.
“Hey kamu jangan diam saja, sekarang giliranmu!” Ujar Dina sambil menyikut lengan Kevin.
Kevin terlihat malu-malu. Ia meraih microphone di atas meja itu dengan ragu-ragu.
“Aku tahu lagu ini…” seru Helen ketika Kevin bahkan belum mulai bernyanyi.
“Jelas kamu tahu, judulnya tertulis di sana kan!” Kata Dina sambil menunjuk ke layar besar di dinding.
“Maksudku bukan itu, aku memang tahu lagu ini. Ini lagu yang sudah cukup lama.”
Saat Kevin mulai menyanyi, Helen pun ikut menyanyi. Di luar dugaan, suara Kevin sangat indah.
“Ternyata dia adalah yang paling bisa menyanyi diantara kita bertiga…” kata Dina.
“Benar, dasar pembohong!” Helen menimpali.
“Aku anggota paduan suara selama di SMA.” Jawab Kevin sambil tertawa geli.
“Okay, itu cukup menjelaskan kenapa kamu bisa bernyanyi dengan baik.”
Setelah dua jam berada di dalam sana, waktu sewa mereka pun berakhir. Mereka bertiga keluar dari sana dan kembali berjalan santai di dalam mall.
Saat jam menunjukkan pukul 20.00, Dina mengajak mereka untuk pulang karena ia tidak boleh berada di luar rumah lagi setelah jam sembilan malam. Helen dan Kevin pun setuju untuk pulang. Mereka sudah cukup lama berada di sana dan mereka mulai merasa lelah.
Kevin mengantar Dina lebih dahulu karena jarak rumah Dina adalah yang terdekat dengan mall. Setelah itu barulah ia mengantar Helen. Mereka berjanji untuk keluar bersama lagi pada hari Sabtu pekan depan.
Keesokan harinya, di pagi hari Dina, Oscar dan ibu mereka pergi mengikuti kebaktian hari Minggu pagi di gereja. Mereka telah lama tidak melakukan hal itu bersama-sama.
Selesai mengikuti kebaktian di gereja, Oscar mengajak ibu dan adiknya itu untuk makan di luar. Ia mengatakan akan mentraktir mereka. Ia punya sedikit uang yang ingin ia nikmati bersama dengan ibu dan adiknya saja. Dina begitu bersemangat. Sementara Gladys merasa sangat bahagia karena melihat anaknya telah memiliki penghasilan sendiri.
Oscar mentraktir mereka makan pizza siang itu. Dina begitu senang karena pizza bukanlah jenis makanan yang bisa selalu ia makan karena harganya yang sedikit mahal. Kali ini karena ia berkesempatan untuk makan pizza, maka ia memutuskan untuk makan sebanyak-banyaknya.
“Na, sudah waktunya untuk berhenti lho, kamu dari tadi sudah makan banyak sekali.” Tegur Gladys.
Setelah kenyang dengan pizza, mereka bertiga pulang ke rumah. Mereka bertiga hendak beristirahat ketika pintu rumah mereka diketuk oleh seseorang.
“Siapa yang datang bertamu hari Minggu begini?” Tanya Gladys kepada Dina.
Dina baru teringat kejadian kemarin di restoran makanan Korea.
“Ma, biarkan kakak yang membuka pintunya.” Bisik Dina. “Itu tamu untuk kakak.”
Mendengar pintu yang terus diketuk, Oscar pun pergi untuk membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, Oscar mendapati seorang wanita bertubuh kecil yang sangat familiar baginya tengah berdiri di depan pintu.
“Hai Os, lama tidak bertemu…” katanya.
“Karen?” Oscar terperangah, tidak percaya.
“Aku datang untuk menemuimu.” Kata Karen.
Oscar seketika menarik Karen masuk dalam pelukannya. Ia mendekap Karen erat-erat.
“Aku sangat merindukanmu.” Bisik Oscar.
“Aku juga!” Balas Karen kemudian membalas pelukan Oscar.
Dina dan ibunya mengintip dari balik tirai penutup pintu kamar dan sama-sama tersenyum melihat pemandangan yang ada di depan mata mereka.
“Yang saling mencintai pasti akan bertemu lagi…” kata Dina.
“Itu tidak selalu terjadi.” Bantah Gladys. “Kadang yang saling mencintai adalah mereka yang tidak punya kesempatan untuk saling bertemu lagi.”
Dina mencoba memahami maksud perkataan ibunya namun ia tidak bisa.
Oscar kemudian mengajak Karen masuk dan duduk bersamanya di ruang tamu. Oscar bahkan sampai kehilangan kata-kata karena terlalu terkejut dengan tamu yang secara tiba-tiba datang mencarinya hari itu.