Setelah kenyataan pahit yang ia dengar dari Kevin tentang Gilbert, Dina yang masih setengah percaya itu tiba di rumahnya dengan wajah yang tampak begitu lesu.
“Kok malam sekali pulangnya, Na?” Tanya ibunya.
Dina tiba di rumah ketika jam menunjukkan hampir pukul delapan.
“Dina mengobrol dengan Helen dulu sebentar sebelum pulang, Ma.”
“Oh jadi Helen sudah masuk kuliah lagi ya?”
“Iya Ma.”
Dina meletakkan tasnya di kamar dan keluar dengan membawa kimono handuknya yang berwarna kuning menyala.
“Dina mandi dulu ya Ma.” Katanya.
Dina berjalan menuju kamar mandi dan begitu ia tiba di sana, ia segera menutup pintu kamar mandi itu rapat-rapat.
Ia tidak langsung mandi ketika berada di dalam sana. Ia menangis sesenggukan untuk beberapa saat karena menyadari bahwa hubungan cinta yang indah yang hampir saja ia dapatkan kini telah berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dina tidak ingin percaya, namun ia telah bertemu dengan Claudia, korban sekaligus saksi hidup dari kisah masa lalu Gilbert yang kelam.
“Aku bisa saja tetap melanjutkan hubungan dengan Gilbert dan bertingkah seolah-olah aku tidak tahu masa lalunya.” Katanya kepada dirinya sendiri.
“Tapi hati kecilku tidak tega melakukan itu kepada seorang ibu dan seorang bayi!”
“Aku tahu bagaiman sakitnya tumbuh tanpa seorang ayah, bagaimana mungkin aku akan bersikap begitu egois hanya demi mengikuti keinginan hatiku?”
“Apa sikap dingin yang mama tunjukkan waktu itu karena mama punya firasat jelek terhadap Gilbert?”
Berbagai pertanyaan muncul di benak Dina yang ia sendiri pun tidak bisa menjawabnya.
Dina berhenti termenung dan segera menyelesaikan mandinya. Setelah mandi ia segera berpakaian dan bergabung dengan ibunya di ruang makan.
“Bagaimana keadaan Helen?” Tanya Gladys sembari menyajikan menu makan malam di atas meja makan.
“Dia sudah lebih baik, Ma.” Jawab Dina, singkat.
“Kamu kenapa, mukanya kok begitu?”
“Hah?”
“Tidak usah huh hah, mama tahu pasti ada yang kamu sembunyikan!” sanggah Gladys.
“Nanti saja di kamar kalau sudah mau tidur Dina cerita ya, Ma?”
Gladys pun mengangguk menyetujui permintaan Dina.
Ketika mereka sedang makan malam, Oscar tiba di rumah. Gladys segera menyiapkan sepiring makanan untuk Oscar. Ia langsung bergabung dengan mereka dan melahap semua makanan yang ada di piringnya tanpa basa-basi. Ketika makanannya sudah hampir habis, Oscar baru menyadari kalau sejak tadi ibu dan adiknya itu tidak mengobrol.
“Ini kok sunyi banget ya, ada apa nih?” Tanya Oscar yang menyadari kebekuan yang tercipta di ruang makan saat itu.
“Ahh nggak kok!” jawab Gladys, menampik.
“Biasanya kan mama dan Dina berisik banget kalau sedang makan malam.” Balas Oscar.
“Dina hanya sedang capek, kak. Dina juga belum lama sampai di rumah kok.”
“Memangnya kamu ke mana setelah dari kampus, kok malam gini baru sampai rumah?”
“Dia mengobrol sebentar dengan Helen.” potong Gladys. “Sudah ayo makan, Dina-nya jangan diinterogasi begitu dong, kebiasaan di kantor dibawa pulang ke rumah nih!” Canda Gladys untuk mencairkan suasana.
“Eh kapan nih aku dikenalin dengan Helen?” Tanya Oscar kepada Dina sambil menaikturunkan alisnya.
“Helen masih sibuk, kak!” jawab Dina.
“Anak kuliahan memangnya sibuknya sampai di mana sih?” balas Oscar.
“Helen sedang memproses kekasihnya ke jalur hukum.” Jawab Gladys.
“Lho kenapa memangnya?” Tanya Oscar dengan heran.
“Penganiayaan kak. Helen dipukul sampai matanya lebam dan bibirnya luka.” Giliran Dina yang menjawab.
“Waduh… Sadis ya!”
“Begitulah.” Ujar Dina.
“Makannya sudah selesai?” Tanya Gladys ketika melihat piring makan anak-anaknya sudah kosong, tidak bersisa.
“Sudah, Ma.” Jawab Dina dan Oscar bersamaan.
“Ya sudah…” Gladys bangkit dari kursinya dan membereskan piring-piring kotor yang mereka gunakan untuk makan tadi.
Dina kemudian meninggalkan ruang tamu dan segera masuk ke kamar, sementara Oscar menuju ke kamar mandi untuk mandi.
Dina duduk di ranjang sambil merenung. Ia kebingungan untuk menjelaskan apa yang ia rasakan. Ia sedih dan kecewa, di saat yang sama ia juga marah. Namun ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah.
Kalau dipikir-pikir, Gilbert tidak membohonginya. Gilbert hanya tidak menceritakan masa lalunya kepada Dina. Mungkin ada sedikit unsur kebohongan, seperti yang dipaparkan Claudia perihal Gilbert yang selalu menutupi soal latar belakang keluarganya yang kaya, namun itu bukan sesuatu yang terlalu besar sehingga dapat mempengaruhi perasaan Dina kepadanya. Gilbert kaya atau miskin, Dina sama sekali tidak peduli.
Pergolakan batin yang sedang dialami Dina semata-mata adalah karena ia menyayangkan sikap Gilbert yang tidak mau mengakui bayi Claudia. Bukankah itu menjadi pertanda bahwa Gilbert bukan pria sejati? Pikir Dina. Ia tidak berani untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang ia buat di masa lalu.
Sambil memikirkan semua hal tersebut, air mata Dina menetes lagi.
“Cinta bukan hal yang mudah di dapat.” Katanya dalam hati.
“Aku selalu bernasib sial jika menyangkut urusan cinta.”
Dina kemudian berbaring. Ia benar-benar tidak bisa memahami perasaannya.
Ketika jam menunjukkan pukul 22.15, Gladys memasuki kamar dan mendapati Dina yang sedang berbaring.
“Sudah tidur, Na?” tanyanya.
“Belum, Ma.” Jawab Dina tanpa menatap ibunya.
Gladys berjalan mendekati ranjang kemudian duduk di sana, tepat di samping Dina.
“Mau bercerita kepada mama?” Tanya Gladys.
Dina kemudian bangun dan mengambil posisi duduk. Ia duduk berhadapan dengan ibunya.
“Jadi masalah apa kali ini?”
“Gilbert, Ma.”
“Sudah mama duga.” Balas Gladys. “Sekarang apa?”
“Dia ternyata sudah punya anak.” Jawab Dina dengan lirih.
Mata Gladys terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja meluncur dari bibir Dina. Namun Gladys berusaha untuk bersikap tenang dan tidak menunjukkan keterkejutannya itu kepada Dina.
“Kamu dapat informasi dari mana?” Tanya Gladys kemudian.
“Dari Kevin.”
“Bukankah dia punya alasan tersendiri,” Gladys teringat kalau Kevin punya latar belakang cerita tersendiri dengan Dina.
“Tapi kami sudah melihatnya sendiri!” potong Dina. “Tadi sepulang kuliah kami bahkan pergi ke rumah perempuan yang dihamili oleh Gilbert. Anaknya sudah berumur dua tahun.”
“Apa kamu yakin?” Gladys ingin memastikan. “Bisa saja ini hanya akal-akalan Kevin.”
“Perempuan itu kelihatan sangat mengenal Gilbert, Ma.”
“Bagaimana jika kamu membicarakannya dengan Gilbert dulu?”
“Bagaimana jika ia tidak mengaku?” Dina balik bertanya.
“Hatimu pasti bisa merasakan jika nanti ia berbicara jujur atau tidak!”
“Dina tidak yakin, Ma.”
“Kamu pasti bisa, Na.” Gladys meyakinkan.
“Entahlah, Ma.”
“Malam ini kamu istirahat dulu ya supaya besok kamu bisa berbicara dengannya dalam keadaan yang prima. Saat tubuhmu fit, kamu bisa berpikir dengan lebih rasional.”
“Iya Ma.” Dina menyetujui.
Dina kembali berbaring di ranjang. Ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Pikirannya terus berkelana entah ke mana membuat dirinya kesulitan untuk tidur. Dina terus mengubah-ubah posisi tidurnya hingga entah berapa kali sampai akhirnya ia tertidur.
Keesokan paginya Dina berangkat dari rumah sekitar pukul delapan. Kelasnya hari ini akan dimulai pada pukul sepuluh. Ketika Dina tiba di depan gerbang utama perumahan dinas, ia melihat mobil merah milik Kevin sudah terparkir di sana.
“Ayo berangkat bersamaku!” ajak Kevin.
“Kamu sudah jauh-jauh kemari, apa aku masih berhak menolak?” balas Dina dengan datar.
Dina pun masuk ke mobil Kevin dan laki-laki itu mulai menjalankan mobilnya.
“Aku pelan-pelan saja ya, kan masih dua jam lagi baru kelasmu dimulai.” Katanya.
Dina tidak menjawab, ia hanya mengangguk satu kali.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Tanya Kevin.
“Bagaimana kelihatannya?” Dina balas bertanya.
“Aku tahu.” Jawab Kevin, ia kemudian melanjutkan, “Itu pasti menyakitkan, tapi bukankah lebih baik kamu mengetahuinya di awal ketimbang nanti saat sudah di tengah jalan? Lukanya pasti lebih besar dan dalam lagi.”
Dina hanya membisu sambil menatap ke luar jendela.
“Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari laki-laki pengecut dan tidak bertanggung jawab itu, bisakah kamu berhenti membenciku?”
Dina tetap tidak menjawab.
“Aku memang bersalah kepadamu dulu, aku meminta maaf kepadamu untuk itu. Tetapi meskipun begitu, aku bukan tipe orang yang akan tinggal diam ketika melihat orang lain hampir jatuh ke jurang!”
Dina tiba-tiba berbalik dan menatap Kevin.
“Apa kamu yakin kalau kamu hanya ingin menyelamatkanku saja, bukan karena ada motif lain?” Tanya Dina.
Kevin menjadi salah tingkah. “Aku… Aku… ” Ia pun tergagap.
“Aku ingin menegaskan satu hal,” ucapan Dina mendadak terpotong. Pandangan Dina kemudian teralihkan karena sesuatu. Ia tidak sengaja melihat dari kaca spion tengah boneka kura-kura yang sebelumnya ia berikan kepada Kevin tergeletak di kursi belakang mobil itu.
“Sekarang yang satu ini malah mencoba menarik perhatianku!” kata Dina dalam hatinya.
“Apa yang ingin kamu katakan?” Tanya Kevin karena penasaran dengan apa yang ingin Dina katakan sebelumnya.
“Aku ingin menegaskan satu hal, bahwa meskipun aku tidak melanjutkan hubunganku bersama Gilbert, itu bukan berarti aku akan menjalin hubungan denganmu!” kata Dina dengan tegas.
“Kamu sudah menutup hatimu untukku?” Tanya Kevin.
“Iya, sejak saat itu!”
Yang Dina maksud adalah saat Kevin mengatakan bahwa ia tidak suka Dina sebagaimana ia tidak menyukai hadiah pemberian Dina.
“Tapi kan aku sudah minta maaf setelah itu, bahkan hari setelahnya pun aku masih mengejarmu untuk meminta maaf lagi!”
“Aku menerima permintaan maaf itu, tapi memutuskan untuk tidak memberimu kesempatan.” Terang Dina.
“Aku membuat satu kesalahan dan kamu tidak memberiku kesempatan, agar ini menjadi adil bagiku maka kamu pun harus memberlakukan hal yang sama kepada Gilbert!”
“Jika itu terbukti benar maka aku pun akan bersikap sama kepada Gilbert.”
“Jadi kamu masih belum percaya?”
Dina diam saja.
“Kamu ingin bukti apa lagi?”
“Aku hanya tinggal menunggu pengakuan dari Gilbert.”
“Dia tidak akan mengakuinya!” ujar Kevin dengan lantang.
“Semua bukti yang aku berikan kepadamu bukankah sudah cukup menjelaskan situasi yang sebenarnya? Menunggu Gilbert memberi pengakuan itu berarti kamu masih ingin bersamanya, karena dia pasti tidak akan mengakui hal itu selamanya!”
Tidak berapa lama kemudian mereka tiba di kampus. Kevin memarkirkan mobilnya di bawah pohon untuk menghindari paparan sinar matahari.
“Kelasmu masih sejam lagi kan? Menunggu saja di sini bersamaku, ya?” Kevin menawarkan.
“Baiklah.” Dina mengiyakan karena Helen juga belum sampai di kampus sehingga ia tidak punya teman untuk menunggu.
“Dina, kamu harus membuat keputusan dengan benar kali ini. Gilbert memang terlihat sangat baik tetapi kamu sendiri sudah tahu kan rahasia kelamnya, jadi aku harap kamu jangan sampai salah membuat keputusan sebab jika kamu salah maka kamu membawa dirimu sendiri dalam masalah yang lebih besar lagi!”
Dina mengangguk namun pandangannya lurus ke depan. Ia enggan untuk menatap Kevin.
“Aku akan bicara dengan Gilbert hari ini.”
Dina kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Gilbert. Dalam pesannya, ia mengajak Gilbert untuk bertemu. Dengan cepat Gilbert merespon pesan Dina itu dan menyetujui untuk bertemu di jam empat sore nanti ketika kelas mereka sama-sama telah selesai.
“Mau aku temani?” Kevin menawarkan diri.
“Tidak perlu.”
“Akan lebih aman jika aku dan Helen menemanimu.” Kevin berkeras.
“Bahkan Helen tidak akan aku ajak!” tolak Dina.
“Tapi jika kamu membutuhkanku, telepon saja aku ya?”
Dina kembali mengangguk.
“Aku hanya seorang perempuan bertubuh besar, berwajah pas-pasan, wajahku jerawatan dan bruntusan. Lantas apakah aku tidak pantas untuk bahagia?” Ucap Dina dengan lirih kemudian.
Kevin terkejut dengan perkataan Dina itu.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanyanya.
“Aku menggambarkan diriku apa adanya, bukan?”
“Kamu tahu, kamu mungkin tidak mencintai dirimu sendiri itulah alasannya mengapa kamu belum menemukan orang yang tepat untuk mencintai dirimu.”
Dina terdiam untuk sesaat. Dalam hatinya ia pun bertanya hal yang sama.
“Aku mau masuk kelas!” kata Dina ketika melihat jam di dashboard mobil Kevin menunjukkan kalau itu hampir pukul sepuluh.
“Ah benar, aku juga!”
Kevin kemudian mematikan mesin mobilnya dan mereka berdua keluar dari sana. Mereka menuju ke arah yang berbeda tanpa saling mengucapkan salam perpisahan.
Dina mengikuti dua kelas secara berturut-turut dan ketika jam makan siang ia bertemu dengan Helen untuk makan siang bersama.
“Jadi bagaimana, sudah membuat keputusan?” Tanya Helen sambil mengaduk makanannya.
“Aku akan berbicara dengan Gilbert sore nanti seusai kelas terakhir.”
“Perlu aku temani?”
“Tidak perlu.”
“Aku akan menungguimu dari jauh ya?” Helen menawarkan.
“Baiklah.” Dina menyetujui.
Setelah makan siang, mereka kembali ke kampus untuk mengikuti kelas selanjutnya. Dina diliputi kebimbangan tentang apa yang harus ia katakan kepada Gilbert nanti. Gilbert adalah laki-laki pertama yang membuat Dina merasa begitu istimewa, tidak peduli seperti apa keadaan fisiknya, namun orang yang Dina yakini sebagai yang terbaik baginya justru adalah orang dengan rahasia paling kelam yang pernah Dina kenal.
Dina berusaha meyakinkan dirinya agar bersikap rasional. Kali ini ia harus membuat keputusan berdasarkan logika dan jangan lagi mengandalkan perasaannya. Hal ini terlalu serius untuk kemudian salah diputuskan.
Jam kuliah Dina pun berakhir. Ia memenuhi janjinya untuk bertemu dengan Gilbert di pelataran parkir begitu kelasnya berakhir. Dina menuruni anak tangga dengan langkah gontai seakan tidak siap untuk pertemuan ini.
Dina tiba di pelataran parkir dan melihat Gilbert sudah duduk di bawah pohon ketapang dan sedang tersenyum ke arahnya.
“Sudah lama menunggu di sini?” Tanya Dina begitu ia tiba di sana. Dina lantas duduk di samping Gilbert.
“Belum lama.” Jawab Gilbert sembari tersenyum. “Mau membicarakan apa?” Gilbert lalu menyentuh pipi Dina dan mengelusnya dengan lembut.
Senyuman dan sentuhan lembut Gilbert benar-benar menggoyahkan hati Dina.
“Aku ingin tahu, apakah kamu mengenal seseorang bernama Claudia?”
Gilbert seketika melotot ketika mendengar pertanyaan Dina itu. Ia segera menurunkan tangannya yang tadi berada di pipi Dina.
“Aku tidak kenal.” Jawab Gilbert namun ekspresi wajahnya menunjukkan hal yang berbeda. Ia tampak seperti sedang gugup atau ketakutan.
“Kamu yakin tidak mengenalnya?” tanya Dina lagi.
“Tidak!” bantah Gilbert dengan keras.
“Kamu yakin tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang bernama Claudia?”
Gilbert menjadi salah tingkah namun ia tetap berkeras pada jawabannya semula.
Dina kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menunjukkan kepada Gilbert foto yang dia temukan di halaman f*******: milik Claudia yang menunjukkan kedekatan mereka berdua.
“Eng… Itu…” Gilbert tergagap.
“Dia mantan pacarmu?” tanya Dina.
Gilbert pun mengangguk.
“Bagaimana dengan ini?” Dina kemudian menunjukkan foto Claudia yang sedang menggendong bayi yang menurut Kevin serta pengakuan Claudia adalah anak Gilbert.
“Itu hanya gossip murahan dari masa lalu, jangan terpengaruh!” bantah Gilbert.
“Jika bayi itu bukan anakmu, lantas anak siapa?” tanya Dina.
“Aku tidak tahu. Claudia mungkin menjalin hubungan dengan laki-laki lain selain aku!” Gilbert berkeras.
“Tapi orang tuamu menafkahi anak itu secara rutin!” kata Dina, pelan.
Gilbert tampak begitu terkejut dengan pernyataan Dina itu. Keringat tampak membasahi dahinya. “Dari mana kamu tahu?” tanyanya.
“Claudia mengatakannya sendiri.”
“Kamu menemui perempuan itu?”
Dina mengangguk pelan.
“Siapa yang membawa gossip murahan ini kepadamu?” tanya Gilbert dengan marah.
“Kamu tidak perlu tahu itu.” Kata Dina sambil mempertahankan nada bicaranya tetap rendah. Ia tidak ingin terdengar seperti orang yang sedang marah.
“Dina, jika kamu tidak ingin menjalin hubungan denganku, kenapa kamu menolakku dengan cara seperti ini?” Gilbert mulai memutar cerita. “Kamu tinggal menolakku saja bukan, itu akan lebih mudah untuk kita berdua!”
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku!”
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu.”
Gilbert lalu bangkit dari tempatnya duduk. Ia kemudian melangkah pergi tanpa memberi jawaban yang pasti.
“Gilbert,” panggil Dina.
Ia menghentikan langkahnya namun enggan untuk berbalik dan menoleh kepada Dina.
“Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Tetapi kamu tidak perlu khawatir, aku hanya akan menyimpan kenangan yang baik-baik saja tentang kamu di dalam ingatanku.”
Gilbert tampak mengangguk, kemudian ia melanjutkan langkahnya dan pergi menghilang dari pandangan Dina.
Dina tertunduk lesu dan menangis di tempat itu. Helen dan Kevin tiba-tiba muncul, entah di mana mereka berdua bersembunyi tadi namun kemunculan mereka sangat tepat pada waktunya.